Oleh: JAY YANTI
(Pengamat Masalah Sosial)
Sebagaimana diketahui, KPK dibentuk dan diundangkan dengan Undang-Undang nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan berpedoman pada UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka KPK berwenang menindak siapapun yang dipersangkakan melakukan tindak pidana korupsi (Tipikor). Secara tegas, UU No 30 tahun 2002 menyatakan, KPK dalam tugasnya berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.
KPK menangani 178 kasus korupsi selama 2018. Sebanyak 152 di antaranya kasus penyuapan. Pada awal tahun 2019 ini menetapkan Bupati Kotawaringin Timur sebagai tersangka kasus korupsi. Supian Hadi, dikutip dari CNN. Setelah sebelumnya Setnov dinilai telah menyalahgunakan wewenang dan kedudukannya di DPR untuk meloloskan besaran anggaran proyek e-KTP menjadi senilai RP 5,9 triliun. Ia juga meminta pengusaha peserta konsorsium pengerjaan proyek memberikan komisi sebesar 5 persen untuk beberapa anggota DPR.
Negara pun diperkirakan telah merugi sekitar Rp 2,3 triliun adanya penyelewengan dana pembangunan Hembalang. Beberapa pejabat dinilai telah memasukkan uang anggaran ke kantong pribadinya. Oleh karenanya beberapa orang ditetapkan sebagai tersangka. Beberapa diantaranya adalah Andi Malarangeng dan Ketum Demokrat saat itu Anas Urbaningrum. Kerugian yang dialami negara mencapai Rp 706 miliar. Dan masih banyak kasus yang telah ditangani KPK.
Namun hal mengejutkan terjadi. Secara tiba-tiba dan berproses dengan cepat adanya revisi UU KPK. Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan pemerintah telah sepakat mengesahkannya dalam rapat paripurna. Atas hal itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menganggap upaya melemahkan KPK benar adanya.
Dari isi revisi tersebut sangat memungkinkan untuk menghilangkan independensi KPK. Seperti dengan menjadikan pegawainya sebagai ASN dan KPK menjadi lembaga pemerintah/ eksekutif. Selanjutnya adalah KPK perlu meminta ijin untuk melakukan penyadapan, penyitaan dan penggeledahan kepada dewan pengawas. Jika hal ini dilakukan dikhawatirkan ada intervensi dari dewan pengawas. Terlebih jika penyidik KPK terdiri dari jajaran kepolisian, kejaksaan dan ASN. Sangat besar kemungkinan akan terjadi kebocoran informasi. KPK tidak berwenang untuk penuntutan, karena harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung. Untuk penanganan kasus korupsi dibawah 1M akan sulit, karena ada ketentuan perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi dijadikan kriteria. Selanjutnya KPK diberi kewenangan untuk mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara). Dengan dipilihnya pimpinan KPK yang baru maka akan dengan mudah menghentikan perkara korupsi besar seperti kasus e-KTP, Hembalang dan lainnya.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seseorang, secara internal sangat dipengaruhi oleh tingkat keimanannya. Kesadaran tiap individu untuk menjaga agar tetap dalam kondisi bertakwa dipengaruhi juga oleh lingkungan. Sistem yang melingkupi. Jika budaya suap sudah menjadi tradisi, lemahnya iman melengkapi untuk terjadinya suap menyuap. Bahkan mulai berani untuk mengambil sebagian uang proyek untuk masuk rekening istri. Disamping tuntutan hidup yang serba materialistis menghimpit.
Dibutuhkan pengawasan masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Anggota masyarakat yang masih berpegang teguh kepada tali agama. Sehingga menjadikan agama sebagai landasan untuk menyeru kepada kebenaran. Untuk menguatkan iman dan tidak tergoda oleh nafsu duniawi yang serba materialistis.
Dalam Islam, syarat yang harus dimiliki oleh setiap wakil rakyat. yakni, sifat adil terhadap siapa saja, senantiasa memelihara wibawa dan nama baik (muruah), pengetahuan yang memadai tentang seluk-beluk negara dan ketatanegaraan) sehingga mampu menentukan pilihan dengan membedakan siapa yang paling berhak untuk menerima amanah) dengan berbagai ketentuan, wawasan luas dan kebijaksanaan.
Peran negara yang vital. Karena mampu untuk menerapkan aturan sekaligus sanksi bagi pelanggaran. Negara yang memberlakukn aturan Allah inilah yang mampu untuk menjadikan sanksi atas pelanggaran itu menjadi penebus dosa dan menjerakan.
Saat ada khilafah Islam.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?
Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan jalan batil, dan jangan pula kamu serahkan harta itu sebagai suapan kepada para penguasa supaya kamu dapat memakan sebagian harta dengan cara berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 189).
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang kami pekerjakan pada suatu jabatan, kemudian kami beri gaji, malahan yang diambilnya selebih dari itu, berarti suatu penipuan.” (HR. Abu Dawud).
Dalam riwayat Imam At-Turmudzi, Rasulullah saw bersabda, “Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap” (HR. Tirmidzi). Imam Ahmad dan Hakim juga meriwayatkan hadits: “Rasulullah saw melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara.”
Maka sudah sangat jelas bahwa korupsi dan sejenisnya tidak di benarkan dalam Islam, sehingga kita ummat Islam harus meninggalkan segala bentuk larangan Allah. Diberlakukannya seperangkat hukuman pidana yang keras, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku.
Dalam sistem Islam, korupsi (ikhtilas) adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain. Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul, yakni tindakan mendapatkan harta secara curang atau melanggar syariah, baik yang diambil harta negara maupun masyarakat. Berbeda dengan kasus pencurian yang termasuk dalam bab hudud, korupsi termasuk dalam bab ta’zir yang hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi diserahkan kepada khalifah atau qadhi (hakim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. bersabda, ”Perampas, koruptor (mukhtalis) dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu Hibban). Bentuk ta’zir untuk koruptor bisa berupa hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor; misal diarak keliling kota atau di-blow up lewat media massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, pernah menetapkan sanksi hukuman cambuk dan penahanan dalam waktu lama terhadap koruptor (Ibn Abi Syaibah, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, V/528; Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209).
Adapun Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menyita seluruh harta pejabatnya yang dicurigai sebagai hasil korupsi (Lihat: Thabaqât Ibn Sa’ad,Târîkh al-Khulafâ’ as-Suyuthi).
Jika harta yang dikorupsi mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara, bisa saja koruptor dihukum mati. Sistem Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak.Selain itu keteladanan pemimpin juga penting, dalam upaya pencegahan korupsi.
Bisa di ambilkan contoh, khalifah Umar Bin Abdul Aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Beliau juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara. Tampaknya hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negeri ini, ketika rakyatnya banyak yang lagi kesusahan, para pejabatnya justeru banyak bergelimang kemewahan.
إرسال تعليق