Oleh : Darni Salamah


Pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas)  2020 yang telah disepakati oleh Menkumham, Bileg DPR, dan Panitia Peropancang UU DPD RI tentang penerapan metode Omnibus Law yang  disebut sebagai  salah satu solusi jitu untuk memperbaiki pembangunan Indonesia dengan memby-pass hukum-hukum yang sudah ada. Salah satu fokus pembahasan dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ini menyoal investasi dan perizinan, dimana satu diantaranya mengenai penyederhanaan pedirian Perseorangan Terbatas (PT) hingga berdampak pada peraturan-peraturan lapangan kerja lainnya.  Omnibus Law merujuk pada RUU perpajakan, RUU UMKM dan RUU Cipta Lapangan Kerja yang digadang-gadang merupakan solusi mutakhir untuk memperbaiki pembangunan negara sebagai pengganti dari sistem Civil Law yang dianut kini. 

Dengan dalih meningkatkan pembangunan faktanya menjadi penyakit yang jelas  mematikan para pekerja dengan perlahan. Bagi pekerja, aturan ini begitu merugikan. Bagaiamna tidak, banyaknya hak buruh yang tercabut seperti dimudahkannya PHK, dihapuskannya cuti-cuti penting misalnya cuti melahirkan dan haid, jumlah pesangon yang diturunkan, diperluasnya sistem pekerjaan dengan sistem kontrak sehingga menjadi alih daya rentannya kontrak kerja yang diputus juga membatasi para pekerja untuk berserikat karena harus terus menerus  menjadi robot uang yang dikontrol oleh sistem yang otoriter di era revolusi industri 4.0 ini untuk mempermudah investasi asing sehingga menyebabkan terbuka lebar pintu penjajahan secara kapital.

Tak hanya itu, Omnibus Law seakan menjadi monster kapitalis yang begitu nyata, adanya perubahan upah yang dihitung per jam, menjadikan para pekerja menjadi mesin pencetak uang bagi penguasa. Jelas, sistem Omnibus Law membuat rakyat tercekik  dan terikat oleh sistem yang tidak memanusiakan manusia juga membunuh hak-hak kehidupan yang dimiliki rakyat. Usulan dalam draf RUU Omnibus Law ini mengakomodasi para investor untuk memudahkan mereka membuat usaha dengan mengabaikan isu sosial, investor dapat berkelit dari banyak aturan tanpa takut dipidanakan karena dalam RUU ini, pekerja tidak lagi bisa melaporkan perusahaaan dengan delik pidana karena sanksi yang diatur dalam sistem Omnibus Law adalah sanksi administratif. Sebuah kerugian besar dan merupakan sistem yang tentunya tidak adil jika kita lihat dari objek manapun.

Sebuah kezaliman yang nyata dengan mengorbankan rakyat sebagai tameng untuk mendapatkan keuntungan. Menurut Presiden Joko Widodo, Omnibus Law merupakan jawaban dari keluh kesah para investor yang selama ini tidak bebas dalam berekspresi. Jika demikian, mengapa kita harus mencari jawaban keluh kesah investor jika subjek dan objek Negara adalah rakyat. Tentu hal ini merupakan pandangan manipulatif yang mementingkan kepentingan investor ketimbang kebutuhan para pekerja khususnya rakyat, bukankan hal tersebut merupakan sebuah kesesatan RUU.

Secara histori Indonesia kini memang masih menganut  Civil Law, meski tak lama akan tergeser dengan hadirnya Omnibus Law. Apapun RUU nya namun Islamic Law System  adalah hukum yang bersumber dari Allah, sudah tentu yang terbaik ketimbang hukum buatan manusia. Meski bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, sejatinya tidak akan terlaksana secara fitrah. 

Jika kita telusuri sejarah, selama khilafah dan sistem Islam berjaya, peradaban dunia berdiri tak hanya dari sektor sosial, namun teknologi, sains, hingga ekonomi secara  merata tidak hanya bagi mereka yang muslim tapi juga non muslim. 
Islamic Law System adalah yang terbaik dan  memiliki sistem yang secara eksplisit mengatasi dan mengentaskan problematika sosial secara otomatis bahkan  penguasa yang notabenenya merupakan  pemangku amanah dan sosok pemimpin yang mememiliki wewenang menyelenggarakan kekuasaannya yang terikat oleh hukum-hukum Allah yang bersumber dari Quran, sunnah, Ijma' dan qiyas, berkewajiban untuk membela rakyatnya ketimbang pihak asing. 

Negara memiliki tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyat secara individu. Dalam politik islam, tidak ada keleluasaan membuat undang-undang untuk kepentingan elite tertentu seperti halnya pemerintah yang mementingkan pengusaha tetapi  tujuan pemerintah menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama  negara dengan mengentaskan probelamtika rakyat  secara kasuistik dan tidak menimbulkan konflik anyar seperti prinsip Omnibus law yang malah menguntungkan sepihak. 

Sementara dalam Islam kesetaraan pekerja dan majikan adalah sama. 
Islam telah menentukan bahwa yang bertanggung jawab menjamin pendidikan, kesehatan dan pekerjaan adalah Negara baik muslim ataupun non muslim. Dalam islam penguasa hanyalah sebatas pengawas dan  penengah antara pengusaha dan rakyat bahkan jika terjadi persoalan antara pekerja dan pengusaha melalui ijarotul ajir (kontrak kerja) dibuat kesepakatan yang menguntungkan dan menjauhkan pihak dari penzaliman satu sama lain. 

Dalam sistem kapital, rakyat yang ingin sejahtera mau tidak mau harus bekerja dengan keterikatan yang tidak manusiawi sebagai jongos di rumah sendiri dengan menjadikan orang asing sebagai tuan dan majikan di tanah sendiri. Hal tersebut berasal dari sistem yang dibuat dengan tujuan memenuhi kepentingan sendiri. Sehingga problematika rakyat tak pernah kunjung selesai. Ketika kita meyakini bahwa hukum Allah yang hikiki lantas mengapa masih menjadi pengikut hukum manusia yang menyesatkan dan membuat sengsara.
Wallahu a'lam bishshawwab.

Post a Comment

أحدث أقدم