Oleh : Lia Aliana 
Aktivis Muslimah


Sejak kasus corona merebak di Indonesia, sebagai bentuk upaya pencegahan dalam menghadapi bencana nasional terikait wabah covid-19 yang telah menjadi pandemi, beberapa aktivitas atau kegiatan diluar ruangan dengan menghadirkan banyak masa mulai dibatasi. Maka sejumlah kepala daerah berinisiatif mengambil kebijakan untuk meliburkan sekolah.

Terhitung sejak Senin (16/3) kegiatan belajar mengajar untuk sementara dipindahkan ke rumah, siswa tetap wajib mengerjakan tugas pelajaran secara online. Pembelajaran jarak jauh ini tentunya harus di dukung dengan melibatkan peran orang tua khususnya ibu, sehingga selama itu pula seorang ibu berperan sebagai guru di rumahnya. 

Kebijakan ini menimbulkan pro kontra, terutama bagi para ibu pekerja atau wanita karir, karena beberapa kantor hingga kini belum melakukan WFH (work from house). Jika kondisinya seperti ini, bagaimana mungkin bisa memantau dan memastikan proses pembelajaran sesuai harapan. Seandainya bekerja dari rumah pun rasanya tidak maksimal dalam menemani putra putrinya belajar, terbayang betapa repotnya berperan ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus guru, belum lagi tumpukan pekerjaan menjadi kewajiban yang harus ditunaikan.

Tak sedikit masyarakat yang protes, terlebih emak-emak berdaster (baca : ibu rumah tangga) merasakan langsung dampaknya. Seperti dikutip dari Republika.co.id, “Ini anak-anak belajar di rumah, jadi orang tua juga ikut sibuk. Aku stres banget nih jadi pengawas. Materinya banyak banget,” ujar Mesya, seorang wali murid, hal serupa juga dirasakan oleh Inung “Ibunya teriak-teriak, soal jam tadarus sekolah. Eh anaknya belum selesai sarapan, belum mandi, menjadi pengawas bagi anak memiliki tantangan tersendiri” ujar Inung.

Banyaknya keluhan dari wali murid bahkan hingga stres, menunjukan adanya permasalahan mendasar yang harus segera dibenahi, jika ditelaah maka terdapat dua faktor. 

Pertama lemahnya sistem pendidikan, sebagai negara yang berasaskan kapitalisme liberal maka tak heran jika tolak ukur dalam proses pembelajarannya bertumpu pada manfaat materialistik. Pendidikan akhirnya lebih menitik beratkan pada penguasaan sains, teknologi dan keterampilan. Disamping itu, prestasi hanya diukur dari nilai akademis, secara tidak langsung telah menjadikan anak didik menjadi “robot”, terampil mengerjakan sesuatu tapi tidak memiliki kepribadian khas, apalagi kepribadian Islam. 

Secara global, sistem pendidikan Islam menjadikan akidah Islamiyah sebagai dasarnya. Sekolah dalam rangka menuntut ilmu untuk menambah ketaatan pada Allah. Outputnya bukan sebatas akademis, tapi melahirkan generasi bersyaksiyah Islam, berjiwa pemimpin, terdepan dalam Saintek. Proses belajarnya aplikatif karena prinsipnya ilmu lil amal yakni adanya ilmu untuk diamalkan dan bermanfaat bagi orang lain. Tidak seperti saat ini dimana sekolah hanya sebatas transfer ilmu, akibatnya siswa dan wali murid stress, merasa tertekan dengan beban pelajaran, hafalan serta tugas yang tak kunjung usai.      


Kedua hilangnya peran orang tua sebagai guru, ketidak mampuan serta kurang siapnya dalam mendidik anak menjadi salah faktor penyebabnya. Pepatah arab mengatakan “Al-ummu madrasatul ula”. Ibu adalah sekolah pertama, sosok yang sangat dekat dan bersama perempuan inilah interaksi awal seorang anak dimulai. Maka tak salah jika di bahunya dititipkan amanah mencetak genarasi berkualitas.
  
Namun saat ini, kehidupan sekuler yang menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan telah menggerus peran ibu. Fungsinya sebagai pendidik telah bergeser, mereka disibukan dengan upaya mencari nafkah karena dorongan ekonomi dan gaya hidup, sebagian lagi termakan propaganda kesetaraan gender.

Seorang ibu menjadi minder, merasa tidak produktif jika tak bekerja dan menghasilkan uang, menganggap peran ibu di sektor domestik sebatas dapur, sumur, kasur menjadi penghambat karir. Akibatnya, beramai-ramai menyerbu sektor publik untuk mengejar puncak karir. 

Pendidikan anak dalam keluarga pun tidak berjalan sempurna. Orang tua berbondong-bondong menitipkan anak di sekolah, menyerahkan sepenuhnya serta mencukupkan proses pembelajaran kepada guru. Hal ini terjadi karena tidak adanya gambaran tentang fungsi, tugas dan tanggung jawab sebagai orang tua terhadap anaknya. Mereka menikah lalu memiliki anak seolah-olah sebagai sebuah skenario yang harus dijalani layaknya seperti air, tidak ada target apalagi rasa takut akan dimintai pertanggung jawaban Allah swt. 

Rasulullah saw bersabda “Tidaklah seorang anak yang lahir itu kecuali dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR.Muslim). Tentunya dengan menyadari bahwa buah hati ini merupakan amanah dari Allah swt, kelak suatu saat akan dimintai pertanggung jawabannya, seharusnya ini menjadi langkah awal menuju pendidikan berkualitas di tengah keluarga.

Di tengah kondisi pandemi, kita para ibu, harus mampu memanfaatkan masa physical distancing ini untuk mengingat kembali fitrah wanita yang sesungguhnya yakni sebagai ummu wa robatul bait, ibu dan pengatur urusan rumah tangga. Dengan mendekatkan diri kepada keluarga kemudian tanamkan nilai-nilai keislaman dalam rangka mewujudkan generasi pejuang.  
Wallahu a'lam bishshawwab.
 

Post a Comment

أحدث أقدم