Oleh: Lilis Iyan Nuryanti, S.Pd
Komunitas Pena Islam


Tidak terasa tahun 2020 telah berganti jadi tahun 2021. Perayaan malam tahun baru 2021 di DKI Jakarta tampak berbeda. Tak ada gegap gempita kemeriahan konser musik, konvoi, maupun pesta kembang api layaknya perayaan malam pergantian tahun-tahun sebelumnya.

Semua warga Ibukota 'dipaksa' untuk berdiam diri di rumah akibat pandemi Covid-19. Pemerintah provinsi DKI Jakarta berkoordinasi dengan Polda Metro Jaya secara tegas melarang warga menggelar kerumunan.

Sejumlah jalan protokol seperti Jalan Jenderal Sudirman hingga Jalan MH Thamrin harus ditutup dari kendaraan bermotor, pesepeda, dan pejalan kaki.

Tercatat 95 lokasi di Ibukota, mulai dari ruas jalan protokol hingga fasilitas publik harus ditutup dan dijaga ketat Kepolisian. Tujuannya adalah memastikan tidak ada kerumunan yang berpotensi menjadi klaster penyebaran Covid-19.

Mal dan restoran harus tutup lebih awal yakni pukul 19.00 WIB. Jam operasional transportasi umum juga dibatasi hingga pukul 20.00 WIB, sementara KRL beroperasi hingga pukul 22.00 WIB.

Seluruh warga Ibukota bahkan diimbau tidak bepergian ke luar kota. Bagi mereka yang ingin keluar kota menggunakan kereta api atau pesawat, maka mereka harus memiliki hasil negatif rapid test antigen.

Ruas jalan perbatasan Jakarta dan kota-kota penyangga juga disekat oleh Kepolisian agar tak ada warga yang merayakan malam tahun baru 2021 di Ibukota.

Jakarta menjelma menjadi kota sepi. Tak ada pesta kembang api, kemeriahan konser musik, kawasan Bundaran Hotel Indonesia tampak lengang, bahkan semua warga harus beradaptasi untuk merayakan malam Tahun Baru di rumah. (Kompas.com, 01/01/2021)

Pemerintah melarang perayaan tahun baru ini semata-mata karena adanya Pandemi bukan karena syariat Islam yang jelas-jelas mengharamkan.

Padahal sudah jelas perayaan tahun baru Masehi bukan hari raya umat Islam, melainkan hari raya kaum kafir, khususnya kaum Nashrani. Penetapan 1 Januari sebagai tahun baru yang awalnya diresmikan Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM), diresmikan ulang oleh pemimpin tertinggi Katolik, yaitu Paus Gregorius XII tahun 1582. Penetapan ini kemudian diadopsi oleh hampir seluruh negara Eropa Barat yang Kristen sebelum mereka mengadopsi kalender Gregorian tahun 1752. (wikipedia.org)

Bentuk perayaannya di Barat bermacam-macam, baik berupa ibadah seperti layanan ibadah di gereja (church servives), maupun aktivitas non-ibadah, seperti parade/karnaval, menikmati berbagai hiburan, berolahraga, menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan keluarga (family time), dan lain-lain. (wikipedia.org)

Namun hari ini, penanggalan secara umum tidak hanya dari kalender masehi. Ada penanggalan hijriah yang berasal dari Islam dan juga memberikan sumbangsih tersendiri dalam metode penetapan waktu, hari, bulan, dsb. Tentu saja akhirnya ada juga yang dinamakan tahun baru Hijriah atau tahun baru Islam yang ditandai saat Rasul hijrah dari Mekkah ke Madinah.

Persoalan kemudian bukan hanya pada aspek adanya penanggalan ini saja, melainkan juga pada budaya dan kebiasaan. Penanggalan masehi pada sebagian orang islam dianggap tidak sesuai dengan islam. Namun, dilemanya pada banyak orang di belahan dunia manapun menggunakan penanggalan ini sebagai patokannya. Begitupun perusahaan, dalam berbisnis, proses evaluasi dan tutup buku. Selalu berdasarkan pada penanggalan Masehi.

Lantas bagaimanakah jika tahun baru masehi ini menjadi patokan umat Islam dalam keseharian. Dan bagaimanakah hukum merayakan tahun baru masehi dalam Islam? Untuk menjawab lebih jelas mengenai masalah tersebut, tentu diperlukan pendekatan yang lebih integral melalui ayat, hadis dan dasar-dasar hukum Islam yang lainnya.

Apalagi jika di dalamnya terdapat unsur unsur hedonisme, hura-hura atau berfoya-foya. Perayaan tahun baru ini ada dasarnya adalah bukan hari raya umat islam melainkan perayaan dari para orang-orang non muslim khususnya kaum nasrani.

Dalil keharamannya ada 2 (dua); Pertama, dalil umum yang mengharamkan kaum Muslimin menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar). Kedua, dalil khusus yang mengharamkan kaum Muslimin merayakan hari raya kaum kafir (tasyabbuh bi al kuffaar fi a’yaadihim).

Dalil umum yang mengharamkan menyerupai kaum kafir antara lain firman Allah Swt. yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) ‘Raa’ina’ tetapi katakanlah ‘Unzhurna’ dan ‘dengarlah’. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al Baqarah: 104)

Ayat ini ditafsirkan oleh Imam Ibnu Katsir bahwa Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai orang-orang kafir dalam ucapan maupun perbuatan. Orang yahudi sering menggunakan kata ru’uunah yang memiliki arti bodoh sekali sebagai ejekan kepada Rasulullah Saw. Padahal maksudnya adalah raa’ina yang artinya perhatikanlah kami. Penafsiran ini berasal dari Tafsir Ibnu Katsir.

Selain itu, terdapat juga dalam ayat lain yang menerangkan hal serupa, yaitu:

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al Baqarah : 120)

Hal ini menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi akan berbuat apapun hingga umat Islam mau mengikuti mereka. Sedangkan, mereka selalu dalam keadaan sesat dan memberikan ejekan bagi umat Islam. Jika umat Islam mengikutinya dan berbuat hal yang sama seperti mereka, tentu Allah sangat membencinya.

Di dalam hadis, Rasulullah juga memberikan peringatan kepada umat Islam. Hal ini diantaranya adalah dari hadis berikut, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud). Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani bahwa hadis ini tergolong pada hadis hasan.

Larangan merayakan tahun baru dan dalilnya, menjadi penerang kembali bahwa umat islam dilarang untuk mengikuti dan melakukan hal-hal yang sebagaimana tradisi kaum kafir. Apalagi jika aktivitas atau tradisi tersebut mengandung unsur ibadah dan pemujaan, atau mensakralkan aspek tertentu pada agama mereka. Maka hal ini yang membuat ulama melarang untuk umat Islam melakukan perayaan tahun baru masehi yang bukan merupakan hari raya atau tahun baru dari ajaran Islam.

Larangan merayakan tahun baru masehi juga para ulama mendasarkannya pada hadist yang ada berikut.  ”Rasulullah SAW datang ke kota Madinah, sedang mereka (umat Islam) mempunyai dua hari yang mereka gunakan untuk bermain-main. Rasulullah Saw. bertanya, ’Apakah dua hari ini?’ Mereka menjawab, ’Dahulu kami bermain-main pada dua hari itu pada masa Jahiliyyah.’ Rasulullah Saw. bersabda, ’Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Abu Dawud)

Hadist ini jelas bagi ulama adalah pelarangan umat islam untuk merayakan hari raya orang kafir termasuk tahun baru masehi yang bukan berasal dari tradisi islam. Untuk itu termasuk aktivitas di dalamnya yang menyerupai kaum kafir, seperti meniup terompet, menyalakan kembang api, melakukan pesta, hiburan, dsb adalah haram karena termasuk pada yang menyerupai kaum kafir.

Bagaimanapun tahun baru islam tetaplah tahun baru hijriah. Hal ini ditandai dengan hijrahnya Rasulullah dari Mekkah ke Madinah. Peristiwa ini mengandung sejarah dan makna terdalam untuk itu, hikmah dan evaluasi ini adalah lebih baik dibanding hanya sekedar tahun baru masehi yang umat Islam pun tidak dapat menghayati bagaimana sejarahnya.

Semoga pemerintahan Islam cepat terwujud, sehingga penerapan syariat Islam benar-benar ditegakan. Dengan begitu akan menjadikan kehidupan yang rahmatan lil alamin. 
Wallaahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

أحدث أقدم