Oleh : Farida Nur Rahma, M.Pd Dosen Ilmu Komunikasi dan Penyiaran Islam


Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) tentang Pemberian THR 2021, disambut kecewa pekerja. Pasalnya, pekerja menilai surat edaran tersebut justru memberikan peluang kepada perusahaan yang mampu untuk mencicil pembayaran THR 2021. Sehingga, jauh-jauh hari para buruh justru mengharapkan surat edaran Menaker tidak keluar, cukup merujuk pada Undang-undang Ketenagakerjaan saja.

Adapun isi surat edaran Menaker tersebut memuat dua skema pembayaran THR. Pertama, dibayar penuh tujuh hari sebelum hari raya. Kedua, menunda pembayaran sampai 1 hari sebelum hari raya dengan menempuh dialog berlandaskan laporan keuangan yang transfaran dengan pemerintah daerah dan pekerja. Pengusaha pun pesimis menanggapi kebijakan THR 2021. Karena penangguhan waktu pembayaran THR dianggap sempit. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai bahwa  pengusaha masih butuh kebijakan mencicil THR karena  banyak sektor ekonomi belum pulih (cnnindonesia.com, 21/3/2021)

Bisa dipahami bahwa penolakan pekerja atas Surat Edaran Menaker timbul karena trauma atas dampak dari Surat Edaran Pembayaran THR 2020. Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit (SP TSK SPSI) Roy Jinto mengungkap bahwa sampai sekarang masih ada perusahaan yang belum bayar THR 2020 (liputan6.com,21/3/2021).

Dikuatkan oleh data dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) bahwa ada sekitar 54 perusahaan sektor industri tekstil, garmen, dan sepatu yang belum melunasi THR 2020. Total karyawan dari 50 perusahaan penunggak THR ini bisa mencapai 10.000 pekerja. (money.kompas.com,5/4/2021).

Adalah ketidakadilan pemerintah dan keserakahan pengusaha jika sampai kebijakan mencicil atau menunda THR bergulir kembali. Karena pada dasarnya, atas nama Pandemik-19 pemerintah telah memberikan berbagai insentif kepada perusahaan. Sekretaris Eksekutif II Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi (KPCPEN) mengungkap bahwa pemerintah telah menanggung PPN industri otomotif sehingga mengalami kenaikan penjualan sampai 143%. Pemerintah juga menanggung PPN untuk properti atau perumahan sehingga mengalami kenaikan penjualan. Bahkan, pemerintah telah melakukan restrukturisasi dan penjaminan kredit sehingga diharapkan perusahaan mampu bayar THR . 

Lebih dari itu, pemerintah telah mengeluarkan berbagai aturan yang dinilai merugikan kaum pekerja melalui Omnibus Cipta Kerja. Sampai disini, pemerintah terlihat memprioritaskan kepentingan pengusaha dan menekan bahkan mengorbankan hak rakyat umum. Semua kebijakan atas nama pemulihan ekonomi nasional telah memberikan banyak kesempatan perusahaan untuk tetap bertahan dan meraup keuntungan di satu sisi. Di sisi lain banyak hak rakyat pekerja yang dihilangkan dengan legitimasi pemerintah. Maka, teori cipratan kesejahteraan kapitalisme terbukti hanya ilusi.

Dalam tataran syariat Islam, THR seperti hadiah hukumnya boleh. Harus dipahami bahwa dalam sebuah negara yang menerapkan sistem pemerintahan Islam atau khilafah, kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan akan dipenuhi negara secara tidak langsung, melalui pengadaan lapangan pekerjaan untuk para laki-laki pencari nafkah. Adapun kebutuhan pokok seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan, maka negara melayani secara langsung dengan pembiayaan dari negara hasil pengelolaan sumber daya milik rakyat.

Seiring dengan peran aktif khilafah dalam menjaga kestabilan harga sandang, pangan dan papan. Perusahaan harus menggunakan perjanjian kerja yang sesuai syariat Islam salah satunya memberikan upah tepat waktu dan layak dalam arti memenuhi biaya sandang, pangan dan papan pekerja sesuai standar kelayakan masyarakat setempat. Termasuk ketika ada budaya mudik hari raya yang membutuhkan biaya tambahan, maka jika negara sudah menetapkan perusahaan untuk membayarnya, maka perusahaan harus mentaatinya.

Idealnya tak ada kata mencicil apalagi menunda pembayaran karena syariat Islam memerintahkan untuk memberikan upah pekerja sebelum keringatnya kering. Dalam sistem Islam, perjuangan kesejahteraan pekerja tidaklah diserahkan kepada organisasi-organisai buruh, karena hakikatnya itu adalah kewajiban khalifah dalam mengurusi urusan rakyatnya. 

Wallahu a’lam bishawwab.

Post a Comment

أحدث أقدم