Oleh : Indi Lestari


Isu reshuffle kabinet kembali digaungkan, banyak tanggapan bermunculan mulai dari mempertanyakan akankah reshuffle jilid ke-2 di periode kedua Bapak Jokowi menjabat benar-benar sesuai esensinya. Dimana orang-orang yang terpilih mempunyai kredibilitas akseptabilitas yang memadai bukan asal akomodasi politik. 

Reshuffle bongkar pasang kabinet sudah menjadi hal yang biasa dalam pemerintahan demokrasi, pergantian bisa dilakukan untuk mendapat kepercayaan kembali dari masyarakat karena penguasa yang terjerat korupsi maupun pelanggaran lainnya, padahal mereka sendiri yang giat menyuarakan anti korupsi,  akhirnya jabatannya dicabut dan diganti.

Ketika dirasa kinerja menteri yang stagnan tidak adanya perubahan yang signifikan, munculah istilah 'tak becus' jabatan pun dicopot dan diganti. Bahkan yang terjadi dengan Rizal Ramli yang pernah menjabat sebagai Menko Maritim dicabut jabatannya karena menolak proyek reklamasi. Dirasa sudah tidak sejalan dengan kebijakan yang sudah ditetapkan, maka tidak perlu menunggu lama masa jabatannya berakhir. 

Bongkar pasang kabinet juga bisa direncanakan untuk proses bagi-bagi kursi balas budi, yang akhirnya bukan lagi penilaian atas kemampuan, karena dalam sistem demokrasi tidak akan mengenal mana kawan mana lawan, selamat datang bagi yang menguntungkan selamat jalan bagi yang tidak diperuntukan. Inilah roda pemerintahan dalam sistem demokrasi kapitalisme. 

Akan tetapi apakah dengan adanya reshuffle menunjukkan perubahan? Mustahil, karena titik poinnya bukan terletak pada pergantian orangnya semata, tetapi pada sistem yang diterapkan, jika sistem yang diterapkan masih sistem demokrasi kapitalisme tidak akan ada perubahannya. Selama dua periode sudah hampir lima kali reshuffle, lantas adakah perubahan? 

Selama asas yang mendorong mereka bekerja adalah asas manfaat dan nilai materi semata,  hanya ada kepentingan politik kekuasaan para oligarki bukan kepentingan masyarakat. Dan disaat amanah menjabat hanya dimaknai sebagai usaha untung-rugi dapat dipastikan rakyat hanya difungsikan sebagai pendulang suara bahkan hanya objek pencitraan semata. Sistem yang menyatakan dari, oleh dan untuk rakyat hanya ilusi karena faktanya adalah dari, oleh dan untuk kapitalis. 

Terbukti dengan adanya menteri investasi bagai keran mengalir deras, disaat investasi jatuh pada yang jelas haram (khamr) tapi adanya kepentingan rezim, akhirnya menjadi sebuah pilihan untuk diprioritaskan, karena korporasi tentu menguntungkan rezim. Belum lagi kasus omnibus law yang jelas-jelas pengusaha yang diuntungkan, lebih diutamakan dari pada kepentingan rakyat. 

Tidak ada sistem yang paripurna selain sistem Islam, tinta emas dunia pernah mencatat selama lebih dari 13 abad pemerintahan Islam menguasai dunia. Sistem yang berlandaskan Al-Qur'an dan sunnah, sistem politik yang dijalankan dengan konsep 'riayah suunil umah' mengurusi urusan umat, semua aspek kehidupan diatur sesuai Syariat Islam, dengan sistem ekonomi non ribawi, bukan tipu-tipu, meninggalkan keharaman lainnya dan hukum yang dijalankan berlandaskan hukum Allah swt, sangat jauh dengan sistem yang dijalani negeri saat ini. 

Oleh karena itu, tidak akan pernah cukup hanya reshuffle kabinet yang tidak menyentuh pada akar permasalahannya, tetapi harus resistem yaitu mengganti sistem negeri ini dari kapitalisme menjadi Islam. 

Wallahu a'lam bishawab.

Post a Comment

أحدث أقدم