Oleh: Rizka Adiatmadja
Penulis dan Praktisi Homeschooling


Segala kebijakan yang diambil oleh sistem sekuler diwacanakan untuk kepentingan rakyat, tetapi pada faktanya semua bias. Menyimpang dari tatanan yang ada, merugikan, dan tak bisa dikendalikan. Seperti halnya kasus penjara yang terbakar dan memanggang sedikitnya 41 orang dan sekitar 8 orang napi yang terluka. Kondisi yang tewas, sulit dikenali identitasnya,  butuh proses dan waktu untuk menangani semua hingga selesai.

Data dari situs Ditjen PAS menyebut Lapas Kelas 1 tangerang dihuni oleh 2.072 orang, padahal seharusnya dihuni oleh 600 tahanan dan narapidana. Di sini berarti terjadi kelebihan kapasitas sebesar 245 %. Kakanwil Kemenkum HAM, Agus Toyib mengatakan bahwa di blok tersebut  ada 122 orang napi, karena sel yang terkunci menyebabkan beberapa orang tewas terbakar. (CNN Indonesia, 8/9/2021).

Ini menjadi peristiwa mengerikan yang bukan rahasia lagi. Disebabkan karena kelebihan kapasitas. Pemerintah hanya berkomentar akan membuat gedung baru dan memperbaiki sistem lapas.

Hal yang kemudian menjadi pertanyaan adalah mengapa lapas bisa kelebihan kapasitas? Berarti jumlah orang yang melakukan pelanggaran semakin banyak. Apakah hukuman tak membuat efek jera? Bahkan ada beberapa yang seakan-akan keluar masuk penjara menjadi perbuatan yang biasa.

Ini tentunya menjadi sebuah tragedi yang tragis dan memilukan, para napi dan tahanan adalah manusia yang seharusnya memang diperlakukan layak sebagaimana mestinya, sekalipun di dalam penjara. Sebab, efek jera tidak lahir dari siksaan yang bertubi-tubi tetapi dari sistem yang benar dalam menangani kejahatan. Bukan juga dari perlakuan yang tidak manusiawi, seperti kelebihan kapasitas yang terjadi.

Pemerintah selalu berdalih bahwa untuk perbaikan penjara-penjara tersebut butuh dana yang tidak sedikit. Tentunya ini menjadi sangat krusial, karena pejabat negara yang kerap bersembunyi di balik sulitnya anggaran. Ini sebuah kondisi yang paradoks, jika kita melihat SDA yang begitu melimpah ruah, tentu tak akan terjadi kas negara yang pailit.

Dari penerapan sistem ekonomi kapitalistik ini menjadi hal yang teramat ironis, ketika SDA itu dimanfaatkan hanya untuk memperkaya segelintir orang, hingga membuat rakyat semakin tak berdaya. Jangankan untuk alokasi dana menyejahterakan rakyat, untuk fokus pada permasalahan perbaikan penjara saja selalu berakhir di kata tak berdaya karena tidak ada dana.

Selain dari itu, hukum yang disandarkan pada sekularisme tentu akan menghadirkan permasalahan yang kian hari semakin bertumpang tindih. Mengapa demikian? Sebab, sekularisme hanya berbasis pada akal manusia belaka–yang tentunya serba terbatas dan tidak sempurna. Memisahkan kehidupan dari aturan agama dan tidak menyandarkan keputusan hukum pada setiap kehendak-Nya.

Menurut Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY), ia mengatakan bahwa problematika besar negeri ini yaitu peningkatan pelaku kriminalitas yang terus bertambah. Seharusnya dilakukan sebuah upaya, di mana bukan hanya sekadar meningkatkan kualitas dan kapasitas yang memadai dari lapas, tetapi tentu harus berupaya mengurangi kejahatan, dan memberikan hukuman yang berefek jera. Selama ini banyak pelaku kejahatan  yang lahir karena beberapa faktor, di antaranya: tentu karena ada niat, kesempatan, dan hukuman yang ringan. Solusinya tentu harus ada upaya besar untuk membangun masyarakat yang bertakwa agar bisa meminimalisir niat-niat kejahatan. 

Selain itu tentu harus menutup gerbang dan peluang kejahatan. Negara wajib menjamin setiap kebutuhan rakyatnya agar terpenuhi dengan seimbang, sehingga kebutuhan pokok cukup dan tidak menjadi jalan untuk membuka kesempatan berbuat jahat.

Hal terakhir yang ia ungkapkan adalah tentang penegakkan hukum yang benar bagi para pelaku kriminalitas seperti halnya uqubat  yang sesuai syariat Islam. Bila hukuman seperti ini diterapkan, bisa dipastikan efek jera akan terwujud dan kejahatan akan menurun dengan signifikan. (Media Umat, 13/9/2021).

Semua yang diungkapkan oleh UIY tersebut tentu hanya akan bisa terwujud ketika sistem yang tegak adalah sistem Islam. 
Penjara  dalam sistem Islam disebut takzir yang hukumannya ditetapkan oleh kepala negara. Tidak bisa mnegatur dirinya sendiri secara bebas dan benar-benar geraknya terbatas, tidak diperkenankan ada komunikasi dengan siapa pun dan hal-hal lain yang biasanya dilakukan dalam kehidupan sehari-hari termasuk hiburan. Dilakukan semata-mata agar melahirkan efek jera. Bahkan untuk masyarakat lain menjadi hikmah agar tidak melakukan kejahatan. Bagi si pelaku pun menjadi sarana tobat, sehingga setiap hukuman benar-benar berfungsi untuk penebusan dosa-dosa yang telah dilakukan agar mendapatkan ampunan dari Allah. Semua bisa meringankan di penghisaban. (Kitab Nizhamul Uqubat Syekh Abdurahman Al Maliki).

Penjara dalam sistem Islam pun sangat manusiawi. Tidak ada keistimewaan atau penindasan. Semua hukuman adil sesuai dengan kesalahan yang dilakukan. Tidak memilah yang lemah atau memilih yang kuat dengan berbagai manipulasi dan dalih, seperti yang terjadi saat ini. Miskin, kaya, rakyat, pengusaha hebat, semuanya sama di hadapan hukum.

Dalam sistem Islam di masa pemerintahan Umar bin Khattab mengalokasikan dana sebesar 8000 dirham untuk merenovasi penjara, sekalipun mengupayakan efek jera tetap dimaksimalkan. Tidak melepaskan satu hal demi satu bagian lain, atau memanipulasi bagian yang lain untuk kepentingan segelintir orang. 

Sistem Islam tentu menegakkan keadilan dengan memberikan tempat yang layak sekalipun untuk para pelaku kejahatan, serta tetap tegas dalam memberi hukuman agar kejahatan bisa diminimalisir. Sudah saatnya kita semua bersama-sama kembali kepada sistem yang diciptakan oleh Sang Penguasa yang keadilan-Nya Maha Luas, bukan memercayakan hukum pada sistem yang bias.
Wallahu a’alam bishshawab.

Post a Comment

أحدث أقدم