Oleh : Lilis Iyan Nuryanti
Komunitas Pena Islam


Lagi-lagi penistaan agama terjadi, di tengah pemerintah menyuarakan toleransi. Apa yang salah dengan negeri ini, kenapa bisa terjadi seperti ini?

Seperti yang diberitakan baru-baru ini tentang Muhammad Kece karena ucapannya dalam sejumlah video di YouTube dinilai telah menistakan agama.

Muhammad Kece yang menyebut kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren menyesatkan dan menimbulkan paham radikal. Muhammad Kece juga menyebut ajaran Islam dan Nabi Muhammad SAW tidak benar sehingga harus ditinggalkan.

Selain soal kitab kuning dan ajakan meninggalkan ajaran Islam, Muhammad Kece menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai pengikut jin. Dia bahkan menyebut Nabi Muhammad SAW tidak dekat dengan Allah.

"Karena memang Muhammad bin Abdullah ini pengikut jin," ujarnya dalam tayangan di akun YouTube Muhammad Kece berjudul 'Kitab Kuning Membingungkan' yang diunggah pada 19 Agustus 2021.

Dalam video lainnya yang berjudul 'Sumber Segala Dusta', Muhammad Kece juga menyebut "Muhammad ini dekat dengan jin, Muhammad ini dikerumuni jin, Muhammad ini tidak ada ayatnya dekat dengan Allah."

Dia lalu menyelewengkan ucapan salam dan mengubah kata 'Allah' menjadi 'Yesus'. Tak hanya dalam ucapan salam saja, Muhammad Kece juga mengubah beberapa kalimat dalam ajaran Islam yang menyebut nama Nabi Muhammad SAW.

"Assalamualaikum, warrahmatuyesus wabarakatu. Alhamduyesus hirabbilalamin, segala puji dinaikkan ke hadirat Tuhan Yesus, Bapa di surga yang layak dipuji dan disembah," ucap Muhammad Kece di dalam video yang diunggahnya di channel YouTube. Hal itu diucapkan Muhammad Kece layaknya seorang muslim sedang menyampaikan khotbah. (detikcom, 25/08/2021).

Mengapa penistaan agama ini terus berulang? Sungguh miris, di negeri yang mayoritas penduduknya muslim justru terjadi kasus penistaan dan penodaan agama berulangkali. Setiap kalimat yang dilontarkannya mencitraburukkan umat dan ajaran Islam.

Berulangnya kasus penodaan agama ini, membuktikan bahwa negara gagal menjamin dan melindungi agama. Undang-undang buatan manusia yang ada, tentang penodaan agama tidak mampu menghentikan semua itu. Bahkan penegakan hukumnya seringkali tidak memenuhi rasa keadilan. Pelaku bisa bebas hanya karena meminta maaf. Ini yang membuat orang tidak jera menista agama, justru malah menambah daftar nama penista agama.

Penistaan agama termasuk dalam kejahatan yang serius. Tapi ironisnya, tidak cepat ditindak dan kasusnya jarang terurus. Inikah bukti dari pengamalan toleransi beragama? Jika nonmuslim yang mengalami kerugian, begitu cepat suara mengatakan “intoleran”. Berbeda jika muslim yang dihinakan, diminta untuk tetap bersabar dan si penista masih bebas berkeliaran.

Sistem demokrasi kapitalis yang ada di negri ini yang mengatasnamakan HAM, seseorang bisa bebas bertindak sesuai dengan keinginannya. Meski menyinggung atau mengolok-olok agama lain. Sah-sah saja bagi mereka, tanpa takut ditindak aparat. Cukup mengatakan, “Setiap warga negara dijamin atas hak berpendapat dan berperilaku.”

Liberalisme dalam sistem demokrasi kapitalis mengajarkan empat kebebasan yang sangat destruktif, yaitu kebebasan beragama, berpendapat, kepemilikan, dan berperilaku. Empat kebebasan inilah yang saat ini mencengkeram kuat negeri ini, yang menjadi biang keladi munculnya berbagai macam pemikiran dan tingkah laku yang menyimpang.

Kebebasan berpendapat telah melahirkan orang-orang yang berani menyimpangkan kebenaran Islam, menghina dan menghujat ajaran Islam yang sudah pasti kebenarannya, seperti kebenaran Al-Qur'an dan kemaksuman Nabi ﷺ. Mereka bebas melontarkan pemikiran atau pendapatnya sesuai hawa nafsunya, tanpa berpikir apakah pemikiran atau pendapatnya itu benar atau tidak.

Maka, telah sangat jelas mengapa kasus penistaan agama masih ada dan terus berulang. Di samping karena diterapkannya sistem demokrasi kapitalisme, di sisi lain tidak adanya daya negara dalam memberikan sanksi yang membuat efek jera pada mereka, bahkan terkesan didiamkan dan dilindungi.

Aturan kehidupan yang diterapkan atas masyarakat di negeri ini sangat mempengaruhi cara pandang penguasa dalam menyelesaikan berbagai masalah. Jika masih menggunakan aturan selain Islam, wajar saja tidak akan didapatkan keadilan dan keamanan bagi warga negaranya.

Ketika umat Islam menuntut keadilan dari pemerintah atas tindakan para penista, hal ini dianggap terlalu berlebihan. Beginilah jika negara tak menjadikan Islam sebagai sumber aturan. Semua perkara susah diselesaikan, serba salah.

Islam sebagai dien yang sempurna, tidak akan membiarkan tersebarnya pemikiran yang bertentangan dengan Islam. Setiap orang boleh memberikan pendapatnya, selama tidak bertentangan dengan akidah dan hukum-hukum Islam, bahkan berkewajiban mengoreksi penguasa ketika ia melihat ada kebijakan yang menyimpang dari syariat.

Satu-satunya sistem yang mampu melindungi umat dan ajaran Islam dari penistaan agama hanyalah sistem Islam. Kehidupan antar sesama pemeluk agama dapat berjalan harmonis, saling menghormati, dan menghargai ajaran masing-masing. Tidak ditemukan penguasa yang lemah menghadapi penista agama.

Negara adalah institusi yang bertugas mewujudkan pandangan ini. Atas dasar itu, negara tidak akan menoleransi pemikiran, pendapat, paham, aliran atau sistem hukum yang bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Negara juga tidak akan menoleransi perbuatan-perbuatan yang menyalahi akidah dan syariah Islam.

Para Khalifah telah memberi teladan kepada umat Islam dalam menyikapi para penista agama. Khalifah Abu Bakar ash- Shiddiq misalnya, yang memerintahkan untuk membunuh penghina Rasulullah saw. (Lihat: Abu Daud rahimahullah dalam Sunannya hadis No. 4363)

Hal yang sama juga dilakukan Khalifah Umar bin Kaththab ra., beliau pernah mengatakan, “Barang siapa mencerca Allah atau mencaci salah satu Nabi, maka bunuhlah ia!” (Diriwayatkan oleh Al-Karmani rahimahullah yang bersumber dari Mujahid rahimahullah).

Inilah sikap para pemimpin Islam, tegas dalam menindak para penista agama demi menjaga kemuliaan dien Allah, pantang berkompromi atau bersikap lemah di hadapan penista. Sebab, salah satu maqashid syariat (tujuan-tujuan syariat) adalah hifdzhu ad-din (menjaga agama).

Marilah kita tinggalkan sistem demokrasi kapitalisme yang hanya akan membawa kesengsaraan dan malapetaka bagi umat. Sudah tiba waktunya untuk menerapkan hukum Allah dan Rasul-Nya secara kaffah. Dengan penegakan syariat Islam, umat Islam tidak akan terhina dan syariat-Nya senantiasa terjaga. 
Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

أحدث أقدم