Oleh Nur Syamsiah Tahir
Praktisi Pendidikan, Pegiat Literasi, dan Member AMK


Kura-kura dalam perahu. Peribahasa ini cocok untuk menggambarkan sikap Presiden AS Joe Biden yang mengundang Jokowi untuk hadir dalam Global Covid-19 Summit di tengah-tengah pertemuan PBB, Rabu (22/9/21) malam (SuaraPemerintah.ID).

Undangan yang disampaikan secara pribadi oleh Joe Biden ini bertujuan untuk meminta saran pada Jokowi dalam hal penanggulangan virus Covid-19. Padahal kenyataannya di Indonesia permasalahan ini belumlah tuntas. Bahkan sudah menjadi rahasia umum tentang bagaimana pemerintah dalam menangani virus Covid-19. Pakar epidemolog pun menyatakan bahwa pemerintah tidak becus dalam menanggulangi wabah ini. 

Faktanya kurva perkembangan Covid-19 memang mengalami penurunan sehingga pemerintah mulai mengambil kebijakan tentang pembelajaran tatap muka, pembukaan kawasan wisata, termasuk mengaktifkan kegiatan perekonomian.
Hanya saja jika ditelusuri sejak awal, praktek penanganan Covid-19 di Indonesia amatlah buruk, mulai dari kebijakan lockdown, PPKM, penetapan biaya swab, biaya PCR, penggiringan legalisasi sebagai pasien Covid-19, penanganan atas pasien positif Corona di rumah sakit, sampai pada pengurusan jenasah Covid-19 beserta biayanya. Seringkali terjadi kekisruhan antara keluarga pasien dengan nakes. Belum lagi Indonesia yang pernah berada di posisi terbanyak jumlah penderita Covid-19. Ini tentu saja bukan prestasi yang membanggakan sehingga layak dimintai saran dalam tataran dunia.

Di sisi lain pemerintah memutuskan untuk menghapus angka kematian dari indikator penanganan Covid-19.(pikiranrakyat@com, 21/8/2021)

Menurut Luhut Binsar Pandjaitan, permasalahan tersebut menimbulkan adanya distorsi dalam penilaian level kedaruratan Covid-19 bagi daerah.

Dengan dikeluarkannya angka kematian dari indikator penanganan Covid-19 ini, 26 kota dan kabupaten pun mengalami penurunan level PPKM dari level 4 menjadi level 3.

Meski dihapus dari indikator penanganan Covid-19, Luhut menekankan bahwa Pemerintah terus berupaya menekan angka kematian di seluruh wilayah.

Terhadap penghapusan angka kematian dari indikator penanganan Covid-19 tersebut dokter Tirta pun memberikan ‘sindiran’ kepada Pemerintah melalui akun media sosial pribadinya pada Selasa, 10 Agustus 2021.

Menurut dr. Tirta, penghapusan angka kematian dari indikator membuat Pemerintah ingin terlihat 'sukses' menangani pandemi Covid-19.


Lalu, inikah yang dinamakan keberhasilan sehingga layak dijadikan rujukan? Lantas, ada tujuan apa di balik kepura-puraan Joe Biden ini??

Jika ditelaah, para pengusung kapitalis sekuler tidak akan pernah menyuguhkan makan siang gratis. Segala sesuatu pasti ada hitungan nominalnya. Karena asas yang mendasari sistem ini adalah manfaat. Jadi apa pun akan dilakukan bahkan akan diperjuangkan sekalipun harus ada yang dikorbankan

Begitu pula dengan undangan yang ditujukan pada Presiden RI  pada Global Covid-19 Summit tersebut. Apalagi Jokowi didaulat untuk memberikan saran bagi penanggulangan Covid-19 di Indonesia. Bersamanya ada pula Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa. Ketiga pimpinan dunia ini dipilih secara pribadi oleh mantan Wakil Presiden Obama itu.

Didaulatnya Jokowi tidak lain karena Biden ingin mewujudkan komitmen bersama dari seluruh dunia untuk segera memvaksin umat manusia sesegera mungkin. Hal ini juga erat kaitannya dengan ajakan untuk mempersiapkan seluruh alat kesehatan, obat-obatan dan lainnya dalam menghadapi pandemi. Mulai dari oksigen, sarana testing dan tracing serta vaksin dan obat.

Tak kalah pentingnya adalah ajakan Biden agar pemimpin dunia membangun arsitektur ketahanan kesehatan global. Intinya, bagaimana pembiayaan kesehatan dunia bisa ditata lebih baik sama seperti ketika ada negara yang tengah kesulitan keuangan yang bisa dibantu badan internasional seperti IMF.

Bak gayung bersambut, maka dalam kesempatan itu, Jokowi menekankan pentingnya menyusun mekanisme baru penggalangan sumber daya kesehatan dunia. Termasuk untuk pembiayaan darurat kesehatan dunia mulai dari pembelian vaksin, obat dan alat kesehatan. Termasuk tentang standar protokol kesehatan global harus segera disusun agar sama di semua negara. Standar tersebut antara lain mengatur tentang perjalanan lintas batas negara.

Di samping itu, Jokowi juga menyerukan agar negara berkembang menjadi bagian dari solusi. Kapasitas manufaktur lokal harus dibangun agar kebutuhan vaksin, obat-obatan, dan alat kesehatan bisa tersedia secara cepat dan merata di seluruh dunia.

Bertolak dari fakta ini, maka keinginan-keinginan yang disampaikan Biden dan direspon positif oleh Jokowi semata-mata urusan komersial alias materi. Apalagi Jokowi jelas-jelas menyatakan kesanggupannya untuk menjadikan Indonesia sebagai lahan pasokan dunia. Artinya Indonesia lagi-lagi menjadi tujuan pasar bagi semua produk yang dihasilkan oleh negara-negara Barat. 

Demikianlah tabiat negara pengusung idiologi kapitalis. Penguasa alias pemilik modal akan memroduksi secara besar-besaran semua kebutuhan manusia. Di sisi lain penguasa alias negara berlepas tangan dari kewajibannya untuk melayani urusan rakyatnya. Rakyat dibiarkan memenuhi urusannya sendiri. Bahkan negara tidak peduli dengan kelayakan hidup rakyatnya. Sehingga wajar bila kelaparan terjadi di mana-mana, di sisi lain segelintir orang hidup bergelimang harta.

Alhasil, akankah kita menutup mata dengan kepura-puraan Biden dan menikmati kehidupan ini? Atau akan bergerak bersama rakyat dan ulama  untuk mengadakan perubahan hakiki mencapai predikat umat terbaik?Wallahu a'lam bishshawab. 

Post a Comment

أحدث أقدم