Oleh. Wening satriyati
Aktivis Dakwah Muslimah


Cinta kasih dan pengorbanan seorang ibu sangatlah besar dan kuat. Ibu merupakan wujud yang memantulkan kasih sayang Tuhan lebih sempurna dari ciptaan lainnya. Sifat keibuan merupakan suatu kualitas yang sangat mulia dan istimewa dalam Islam. 

Seorang ibu memiliki peran yang sangat luar biasa. Beliau mengerjakan berbagai aktivitas dengan setulus hati. Berperan pentung dalam proses mengandung, melahirkan, dan menyusui anaknya. Sebuah naluri alamiah yang tidak mungkin dapat digantikan oleh seorang ayah. 

Ketika Ibu Merasa Berjuang Sendiri

Dalam sebuah keluarga, peran ibu dan ayah haruslah seimbang dalam mengasuh buah hatinya. Bahkan seorang ayah harus berusaha lebih baik dalam mengimbangi peran seorang ibu. Ayah yang juga merupakan sosok seorang suami, harus penuh kasih dan cinta, berlaku adil dalam keluarga, serta bertanggung jawab kepada keluarga. 

Peran ayah di dalam keluarga tentu akan memberikan pengaruh dalam pembentukan karakter sebuah keluarga. Selain sebagai tulang punggung keluarga, ayah juga sebagai pemimpin dan pelindung rumah tangga. Ini menjadi berat ketika seorang ibu yang juga merupakan seorang istri kehilangan peran sosok seorang suami yang sekaligus seorang ayah. Beban pengasuhan anak tidak seharusnya dilimpahkan kepada ibu saja. 

Lebih-lebih jika ibu harus merangkap peran sebagai seorang ayah sekaligus. Secara psikologis hal tersebut akan sangat mempengaruhi pola asuh anak. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab tidak optimalnya peran ayah atau suami dalam keluarga, sehingga menyebabkan ibu merasa berjuang sendiri. Salah satunya adalah faktor ekonomi, kebutuhan hidup yang semakin banyak dan biaya hidup yang semakin tinggi memaksa keluarga berjuang lebih. 

Selain faktor ekonomi, perlakuan suami terhadap istri juga mempengaruhi kejiwaan istri ketika menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu. Minimnya peran seorang suami bisa mengakibatkan seorang istri menjadi kehilangan partner dalam membina rumah tangganya, menjadi penambah beban psikisnya. Beban yang bertubi-tubi bisa mengikis mental kejiwaannya. 

Sebagai contoh pada kasus yang menimpa seorang ibu bernama Kanti Utami (35 tahun) asal Brebes, Jawa Tengah, yang menggorok leher anak kandungnya sendiri yang berusia 6 tahun, dan melukai 2 anak kandungnya yang lain. (Republika.co.id, 20/3/2022). 

Di situ dijelaskan bahwa menurut pengakuan sang ibu, ia hanya ingin menyelamatkan anak-anaknya dari kesulitan hidup dan ekonomi yang kekurangan yang mendera mereka. Berita ini menggegerkan masyarakat. Sebabnya, ibu muda yang dikenal pendiam, ternyata tega menghabisi darah dagingnya sendiri dengan sadisnya. Kematian anak-anaknya diyakininya sebagai jalan yang terbaik untuk keluar dari beratnya beban hidup.

Kurangnya kasih sayang dan ketidaksanggupan yang dirasakan dalam menanggung hidup dengan ekonomi yang pas-pasan telah membuat ibu muda ini hilang akal sehatnya. 

Beratnya Tekanan Mental dan Hidup dalam Sistem Kapitalisme

Dalam kehidupan kapitalisme dan sekuler, tidak mudah untuk membentuk kepribadian yang beriman dan bertakwa. Tidak mudah pula untuk menjadi pribadi yang sehat dan kuat mental. Kapitalisme dan sekuler telah menciptakan kemiskinan dan kebodohan terstruktur yang berdampak buruk di segala lini kehidupan manusia. 

Begitu mudahnya orang membunuh atau pun bunuh diri. Bahkan orang tua yang seharusnya menjadi pelindung bagi anak-anaknya justru menjadi orang yang mencabut nyawa anak-anaknya sendiri. Rumah yang seharusnya menjadi surga bagi penghuninya berubah bagaikan neraka, dikarenakan pernikahan yang tidak harmonis.

Kondisi rumah tangga yang terpuruk akibat tekanan hidup berdampak pada moralitas seorang istri dan ibu dalam pola asuh anak-anak mereka. Menjadi mudah rapuh, jatuh dan depresi, sehingga tak bisa menjalankan tanggungjawabnya dengan baik dan benar. 

Kondisi depresi seorang ibu seharusnya tidak dinilai sebagai bentuk kurangnya iman dan rasa syukur. Namun harus ditelaah lebih dalam bahwa tanggung jawab dan beban sebagai seorang istri sekaligus seorang ibu tidaklah mudah. Terlebih jika sang ibu harus berperan sekaligus sebagai  ayah dengan berjuang dan berusaha mencari rejeki sendiri demi menghidupi anak-anaknya.

Lebih parahnya, negara tidak peduli dengan kondisi masyarakat, kapitalisme yang diadopsi negeri ini tak memberikan kemudahan kepada rakyatnya. Hal ini semakin menyulitkan dan membuat kehidupan keluarga terasa sekarat. 
Sistem kapitalisme memaksa para kaum ibu untuk tidak mengenal hukum-hukum Islam sehingga mudah diberdayakan dan dieksploitasi tanpa adanya penjagaan kehormatan. 

Pemerintah Islam Memberikan Perlindungan dan Penjagaan Bagi Kaum Ibu

Kaum ibu adalah mahkotanya negara. Ibu adalah pencetak generasi peradaban. Memiliki status terhormat dimata negara dan dimata masyarakat. 
Pemerintahan Daulah Islamiyah akan membuat regulasi dan norma-norma yang menghormati para kaum ibu. Memberikan perlakuan yang baik serta memenuhi semua hak-haknya. 


Pemerintahan negara dengan sistem Islam akan memberikan keamanan dan pelayanan penuh ketika kaum ibu hendak menuntut ilmu dan membutuhkan pekerjaan, serta menikmati apa yang dianugerahkan oleh Allah SWT. Negara mengurusi dan memahami betul bahwa sehat tidaknya sebuah keluarga adalah tergantung bagaimana kondisi sang ibu.

Oleh sebab itu, sebelum menginjak pernikahan, para wanita dibekali nilai-nilai moralnya, sehingga ketika tiba waktunya mereka memiliki tanggungjawab memerankan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu menjadi kuat dan tidak mudah putus asa. 

Menjadi pribadi yang sabar dan banyak bersyukur, pergaulan antar tetangga yang terjalin baik, dan tahu bagaimana bersikap baik dengan orang tua dan suami. Dalam berumah tangga pun menyadari betul bahwa menjadi suami dan istri tentunya membutuhkan waktu panjang pembelajaran selama kehidupan berlangsung. Hanya Islamlah yang bisa mewujudkan sebuah keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. 
Wallahu a'lam bissawab. 

Post a Comment

أحدث أقدم