Oleh. Suviyanti 
Pemerhati Masalah Sosial


Terdakwa pembunuhan anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI), Ipda M Yusmin Ohorella dan Briptu Fikri Ramadhan divonis bebas. Briptu Fikri dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan kematian akan tetapi dalam rangka pembelaan. Hakim pun memerintahkan jaksa penuntut umum untuk melepaskan terdakwa dan memulihkan hak-hak terdakwa. (CNNIndonesia) 

Pilu, begitulah yang tergambar dalam benak kita, ketika kita melihat fakta kondisi kehidupan yang sedang berlangsung saat ini. Terasa bahwa tak ada lagi keadilan yang diharap bisa melindungi tiap individu masyarakat, bagaimana bisa seorang pembunuh dengan alasan pembelaan dapat vonis bebas dari hakim. Padahal jika ditelisik lebih jauh pembelaan macam apa, karena banyak diketahui bahwa pada saat terjadinya bentrok Laskar Front Pembela Islam (FPI) tak bersenjata seperti kebanyakan oknum polisi.

Tidak usah berpikir secara logika yang sulit saja bisa terbentuk sebuah persepsi bahwa keputusan pembebasan oknum polisi benar-benar menggambarkan bahwa hukum yang ada saat ini "tumpul ke atas tajam ke bawah".

Di negara yang mengadopsi sistem demokrasi liberal seperti negeri kita Indonesia ini, ketidakadilan seolah sudah menjadi bagian dari hal yang dianggap wajar karena sebelumnya pun jika bermasalah dengan orang yang punya kepentingan bisa dipastikan tak akan ada keadilan yang diharap sekali pun secara kasat mata bisa dilihat siapa yang salah atau benar.

Tegaknya keadilan tidaklah penting bagi penguasa yang melanggengkan sistem kapitalis. Lebih penting bagaimana menggerakkan roda-roda perekonomian karena di dalamnya banyak keuntungan materi yang bisa memuaskan nafsu birahinya terhadap kenikmatan dunia. Tanpa peduli apakah setiap perbuatannya diharamkan atau tidak oleh agama. Pemerintahan dengan sistem demokrasi liberal tidak memedulikan moral atau agama sebagai pijakan. 

Kita  bisa melihat dengan jelas bahwa negeri kita tidak sedang baik-baik saja. Tidak berdayanya hukum yang ada menjerat pelaku korupsi yang makin menjadi-jadi, penguasaan lahan beserta sumber daya alamnya oleh segelintir pemilik modal, BUMN yang bangkrut, harusnya menjadi pertanyaan. Inikah hasil diterapkannya sistem demokrasi? atau kita harus tetap bertahan dengan sistem yang semakin hari semakin tidak manusiawi. Jargon indah dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat nyatanya jika sang pengusung demokrasi bermasalah, maka akan ada ancaman label radikal, intoleran, bagi orang atau kelompok yang dianggap musuhnya. 

Sistem demokrasi tak lebih merupakan kepanjangan sistem kapitalis sekuler yang sejak beralihnya perang fisik menjadi perang pemikiran dipaksa diberlakukan di negeri ini. Alhasil semua kebijakan yang ada menyesuaikan keinginan para kapitalis hingga musuh-musuh Islam suka-suka ingin menjadikan negeri sekehendaknya. Tak heran muncul sosok muslim yang kemudian menolak syiar Islam semisal azan jika bersuara. maka dicekal, dipenjara kemungkinan terburuk kehilangan nyawa.

Harga nyawa dalam sistem kapitalis begitu murah, berbagai peristiwa yang begitu memilukan yang menimpa kaum muslimin di berbagai belahan dunia susul-menyusul terjadi tak terhitung berapa nyawa telah terenggut. 
Lalu, bagaimana Islam memberikan nilai sebuah nyawa? Nilai nyawa dalam Islam begitu tinggi. Nyawa bahkan dalam ranah Ushul Fiqih masuk dalam kategori “al-Dharūriyāt al-Khamsah” (lima hal primer yang wajib dipelihara). Artinya, pada asalnya, nyawa manusia tidak boleh dihilangkan begitu saja tanpa ada alasan yang jelas. Tak peduli, nyawa orang muslim maupun kafir.
Terkait masalah ini, ada firman Allah:
مَن قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعاً‎
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 32)

Dalam ayat ini dengan sangat jelas bahwa orang yang menghilangkan nyawa seseorang tanpa ada kesalahan yang jelas sesuai syariat, maka seolah-olah seperti membunuh semua manusia. Meski ayat ini terkait dengan Bani Israil, namun pesannya tetap berlaku hingga akhir zaman.
Bahkan, jika yang dibunuh adalah orang beriman dengan sengaja tanpa ada alasan jelas, maka diancam dengan hukuman neraka jahannam, kekal di dalamnya dan dimurkai Allah:
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً‎
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa [4]: 93)

Tidak berlebih-lebihan jika Nabi pernah bersabda:
أوَّلُ مَا يقضَى بينَ الناسِ يومَ القيامةِ في الدِّماءِ‎
“Pertama kali yang akan dituntut pada hari kiamat adalah masalah (pertumpahan) darah.” (HR. Bukhari, Nasa`i, Ibnu Majah dan Ahmad) Maka, urusan menghilangkan nyawa seseorang dalam Islam bukanlah hal sederhana.
Dalam hukum Islam, masalah penghilangan nyawa ini masuk bab “Jinayāt” (tindak kejahatan atau kriminal). Dalam buku “Minhāj al-Muslim” (404, 405) dijelaskan ada 3 macam tindakan kriminal dalam jenis ini.

Pertama, membunuh secara sengaja dengan berbagai cara. Pembunuhan semacam ini hukumannya adalah qishash. Berdasarkan Al-Ma`idah ayat 45, orang yang melakukan tindakan demikian harus diqishash (dihukum sesuai dengan kejahatan yang dilakukan). Kecuali, pihak keluarga memaafkan, maka si pembunuh wajib membayar tebusan (diyat).

Kedua, pembunuhan semi sengaja. Yaitu orang yang menyakiti seseorang tapi tidak berniat sampai membunuhnya. Orang demikian –ketika korban terbunuh—maka wajib membayar diyat dan kaffarah (tebusan).  Ini sesuai dengan surah An-Nisa ayat 92. 
 
Ketiga, pembunuhan tak sengaja. Misalkan orang berburu dengan tembak, lalu pelurunya mengenai orang hingga tewas. Pembunuhan yang tak sengaja semacam ini, hukumnya sesuai dengan semi sengaja, namun diyatnya lebih ringan. Perbedaan yang lain, yang semi sengaja, berdosa. Sedangkan yang tak sengaja, tidak berdosa. Dari beberapa keterangan di atas, jelaslah bahwa nyawa dalam perspektif Islam sangat-sangat berharga. Begitu tingginya nilai nyawa sampai-sampai ada hukum tersendiri mengenainya.

Hanya dengan diberlakukannya sistem Islam lah kemudian keadilan akan terwujud, hak manusia akan tertunai rahmatan lil alamiin akan diraih karena sejatinya Islam lah yang sudah menorehkan tinta emasnya hingga peradaban Islam mencapai kemuliaan selama kurun waktu 13 abad. Wallahu'alam bissawab.

Post a Comment

أحدث أقدم