Oleh. Leihana
Ibu Pemerhati Umat 


"Hingga habis air mata, kumenangis, kuingin berteriak, aku yang tersakiti ...."

Lirik-lirik lagu sendu yang biasa menggambarkan beratnya dikhianati kekasih, tidak dapat mengalahkan betapa sakit hati, sedih, sengsara, dan menderitanya rakyat yang dikhianati penguasa. Penguasa yang dipilih oleh suara rakyat, setelah berkuasa bahkan berdiri, kemudian menginjak-injak rakyat hingga ke dasar bumi.
 
Bagaimana tidak, di awal tahun 2022 yang sangat berat karena pandemi tak kunjung berakhir, rakyat Indonesia terus diserang secara bertubi-tubi oleh kenaikan juga kelangkaan barang kebutuhan pokok, minyak goreng, gula pasir, bahan bakar solar, pertamax, LPG, dan tarif dasar listrik. Namun, semua inflasi harga barang itu seolah tak cukup untuk membebani rakyat, pemerintah terus melahirkan keputusan yang memberatkan.

Di tanggal 1 April 2022 ini pemerintah memutuskan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 10% menjadi 11%.  Kendati masyarakat dan pengamat ekonomi menolak kenaikan PPN pemerintah tetap tidak menunda waktu kenaikannya tepat tanggal 1 April 2022 bersamaan dengan kenaikan pertamax dari Rp9.000 menjadi Rp12.500/liter, meskipun masyarakat lebih banyak menggunakan bahan bakar jenis pertalite,  jika pertalite menjadi langka masyarakat terpaksa membeli pertamax yang harganya jauh lebih tinggi. 

Rasa keadilan  terhadap rakyat itu tiada,  karena selain PPN naik menjadi 11% dari sebelumnya 10%, di saat yang sama pajak penghasilan (PPh) badan/perusahaan diturunkan dari 25% menjadi 22%. sehingga ekonom senior Faisal Basri menolak keras kenaikan PPN karena menganggap kebijakan tersebut tidak adil terhadap rakyat.
(Cnbcindonesia.com, 25/3/2022).

Meskipun ramai penolakan, kebijakan ini dinilai objektif, adil, dan urgen untuk kemajuan bangsa bagi pemerintah. Seperti pendapat Menteri Perekonomian Sri Mulyani bahwa kenaikan PPN di Indonesia ini masih dinilai rendah dibandingkan dengan PPN di negara-negara maju yang mencapai 15%, menurutnya juga PPN dinaikkan itu adil karena yang membayar PPN tidak mengenal tingkat sosial masyarakat, baik masyarakat kaya maupun miskin,  membayar PPN dari nilai kebutuhan pokok yang mereka beli dan menurut pemerintah kenaikan PPN ini penting untuk membangun fundamental pembangunan bangsa ke depannya. (Jawapos.com, 22/3/2022).

Bak menutup mata, pemerintah tetap mengesahkan kenaikan PPN tersebut.  Berdasarkan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tarif PPN yang diberlakukan adalah 11%, lebih tinggi dibandingkan saat ini yaitu 10%. Padahal berbagai pihak tokoh dan masyarakat ramai-ramai menolak kenaikan tersebut, atau paling tidak ditunda jangan diberlakukan di tengah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Menaikkan PPN di tengah pemulihan ekonomi sekarang ini tidak tepat. Apalagi saat ini inflasi dalam tren meningkat. Kenaikan PPN akan menambah tekanan inflasi," terang Ekonom CORE Pitter Abdullah. (Cnbcindonesia.com, 15/3/2022).

Pendapat pemerintah bahwa PPN di Indonesia itu rendah adalah keliru, karena nilai pajak juga harus dibandingkan dengan nilai pendapatan rakyat. Jika membandingkan nilai pajak dengan negara maju, maka harus membandingkan pendapatan rakyatnya. Pemerintah Indonesia selalu mengacu dan membandingkan dengan negara maju, bahkan alasan kenaikan minyak goreng, gas LPG, BBM juga karena alasan harga di negara maju jauh lebih tinggi, padahal daya beli dan pendapatan rakyat 
Indonesia sangat rerndah jika harus dibandingkan dengan negara maju. 

Jika mengacu pada negara maju, seharusnya pemerintah belajar dari pengalaman negara maju seperti Jepang. Jepang di tahun 1998 menaikan PPN dari 3% menjadi 5% maka secara serta-merta daya beli masyarakat menurun dan pertumbuhan ekonomi juga menurun, efek yang ditimbulkan bagi masyarakat dan negara jauh lebih merugikan daripada tidak menaikkan pajak.
 
Apalagi pendapatan masyarakat Indonesia belum cukup tinggi sampai dibandingkan dengan negara macam Amerika Serikat (AS) atau negara-negara maju lainnya di G20. Bahkan dibandingkan dengan Malaysia saja masih tertinggal. 

Inilah gambaran nyata sistem ekonomi kapitalisme, bukan sebagai periayah (pengatur) yang melayani rakyatnya, tetapi jadi pemalak yang memeras ekonomi rakyatnya. Sebab, dalam sistem kapitalisme pajak adalah sumber pendapatan negara yang utama. dengan jargon pajak dari rakyat dan untuk kepentingan rakyat, nyatanya di Indonesia aturan pajak pun lebih menguntungkan para pengusaha dan para kapital. 

Terlebih di Indonesia pemerintahannya terkenal korup sehingga dana pajak yang diharapkan untuk kepentingan rakyat pun banyak dikorupsi dan alokasi anggaran pemerintah saat ini juga lebih memprioritaskan pembangunan yang tidak urgen seperti IKN.

Jelaslah negara berwujud sebagai pemeras yang mengambil keuntungan dari rakyat untuk dipersembahkan kepada kepentingan para pengusaha kapital. Sangat jauh berbeda dengan sistem Islam, baik mengatur sumber pendapatan dan anggaran pengeluaran sama sekali tidak merugikan rakyat. 

Pendapatan negara dalam Islam selain dari jizyah dan kharaj pemerintah tidak mudah memungut pajak dari rakyat, tetapi memaksimalkan potensi negara seperti sumber daya alam dikelola oleh negara, semua pendapatan ini dianggarkan untuk kepentingan rakyat semata. Pengelolaan pendapatan dan pengeluaran negara di masa Rasulullah Saw diatur langsung oleh Rasulullah Saw sebagai kepala negara di Madinah. 

Rasulullah menarik jizyah (semacam pajak yang diambil dari nonmuslim yang menginginkan perlindungan dan fasilitas di negara Islam saat itu) juga kharaj (yaitu pembayaran dari tanah yang dibebaskan oleh negara Islam melalui jalan jihad atau perang), selain itu juga ada pendapatan dari warga negara muslim seperti berbagai jenis Zakat. 

Adapun pajak (dharibah) hanya diberlakukan dalam kondisi mendesak yaitu saat kas negara kosong dan dharibah juga hanya diwajibkan pada muslim yang kaya. Seperti ketika pertama kali negara Islam berdiri untuk membangun pusat pemerintahan,  Rasulullah meminta kerelaan dari muslim yang kaya  dan muncullah Abu Bakar ra yang bersedekah untuk membeli tanah anak yatim piatu di Madinah yang kemudian dibangun Masjid Nabawi. 

Dikarenakan ekonomi negara Islam pertama kali berdiri dan belum stabil, Rasulullah menstabilkan ekonomi rakyat terlebih dahulu dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Keadilan pengaturan ekonomi Islam terus bersinar sepanjang penerapan Islam di masa kekhilafahan yang berpendarkan kesejahteraan rakyat dan gemerlap keadilan yang tak surut hingga khilafah itu diruntuhkan di tahun 1924 oleh Mustafa Kamal Laknatullah. 

Untuk mewujudkan kembali keindahan keadilan pengturan negara pada rakyatnya hanya bisa terwujud dengan penerapan syariat Islam di bawah naungan khilafah. Untuk itu ganti sistem kapitalisme yang memalak rakyat dengan sistem Islam yang menyejahterakan.
Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

أحدث أقدم