Oleh. Suaibatul Islamiyah 
Aktivis Muslimah Pengubah Peradaban

Bak masuk jebakan tikus, tak bisa bergerak pun harus merasakan sakitnya jepitan perangkap. Kurang lebih seperti itu nasib di berbagai negara saat ini. Ketika negara adidaya pemegang kekuasaan dunia dengan membawa sistemnya yang berkiblat pada barat yakni sekuler kapitalis.

Tak tanggung-tanggung mereka senantiasa melakukan hegemoninya kepada setiap negeri yang dikuasainya termasuk negeri yang memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) bahkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang melimpah serta dikuasainya dengan cara liberalisasi kapitalisme. Hingga memperluas penjajahannya dengan cara memberikan pinjaman modal utang sebanyak-banyaknya kepada negeri yang memiliki potensi besar tersebut. Semakin banyak utang pinjaman modal maka akan semakin mudah penjajah menguasai negeri itu. Yang artinya apabila negeri itu gagal bayar maka rugilah negeri itu.

Indonesia, negara yang terkenal kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat melimpah namun hanya bisa menggigit jari. Pasalnya sistem pengelolaan yang diambil negeri bergantung kepada sistem ekonomi kapitalisme, bahkan tak mau ketinggalan ikut serta bergabung dalam forum ekonomi dunia. Apalagi semenjak terjadi badai pandemi Covid-19 banyak perubahan pada ekonomi dunia, kemerosotan bahkan kerugian.

Berbagai upaya yang dilakukan oleh setiap negeri untuk bangkit dari keterpurukan dalam segala bidang, ditambah utang luar negeri yang semakin menggunung oleh sebab watak kapitalisme yang mengakibatkan kerusakan dari hulu ke hilir. Alih-alih keluar dari permasalahan, faktanya hanya menambah masalah semakin runyam.

Seperti halnya sekarang ini yang pada faktanya dunia global hendak mengadakan forum besar dan yang pasti setiap forum  menghasilkan perjanjian. Sebutlah G20.

Apa itu G20?

G20 merupakan forum kerja sama ekonomi multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa. G20 merepresentasikan lebih dari 60 persen populasi bumi, 75 persen perdagangan global, dan 80 persen PDB dunia.

G20 tidak memiliki pemimpin atau ketua tetap, karena kepemimpinan dijalankan fungsi presidensi yang dipegang oleh salah satu negara anggota selama setahun.

Dan ternyata Indonesia merupakan negara berkembang pertama yang telah resmi memegang presidensi G20 dalam setahun penuh yakni mulai 1 Desember 2021 hingga KTT G20 pada November 2022.

Alhasil Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada November 2022 di Bali. Serangkaian acara digelar guna membahas masalah yang dihadapi dunia pasca pandemi Covid-19. Acara berlangsung dengan tema besar “Recover together, Recover stronger”. Di tengah masa pemulihan ekonomi pasca Covid-19.

Ada dua jalur isu yang diangkat yakni Finance track dan Sherpa track. Finance track (jalur keuangan), isu yang dibahas yakni ekonomi dan keuangan, seperti kebijakan fiskal dan moneter, investasi infrastruktur, dan lain lain. Sedangkan sherpa track, isu yang dibahas bidang ekonomi non-keuangan, seperti pariwisata, ekonomi digital, energi, pembangunan, pertanian, pendidikan, industri, investasi, antikorupsi, lingkungan, dan perubahan iklim.

G20, Bagian Penjajahan Kapitalisme

Sudah jelas sekali G20 arahnya mau menyasar kemana jikalau tidak kepada negeri yang memiliki lahan basah atau sumber kekayaan yang melimpah terutama negeri ini. Apalagi Indonesia memiliki bonus demografi yang sangat besar yakni pemuda, dan inilah yang nantinya mereka perankan juga jikalau semua sumber sudah dikuasai para kapitalis.

Berdasarkan pertemuan yang ada, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) angkat bicara terkait desakan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk membahas penyelesaian utang negara-negara G20 di Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) 2022.

Staf Ahli Bidang Makro dan Keuangan Internasional Wempi Saputra menyebutkan dalam acara yang akan berlangsung pada 14-15 Juli 2022 di Bali tersebut, tidak ada pembahasan mengenai utang negara-negara G20.

Menurutnya pembahasan financial track akan berjalan sesuai dengan yang telah disusun jauh dari sebelumnya. Dalam hal ini, agenda prioritas adalah pemulihan ekonomi dunia yang merata, sistem pembayaran digital hingga perpajakan internasional.

"Ini (terkait utang-utang negara G20) sebetulnya tidak dibahas di FMCBG di Bali dan untuk saat ini tidak memungkinkan (dimasukkan dalam pembahasan), karena sudah aggreed sebelumnya ke members," ujarnya kepada CNN Indonesia, Senin (11/7).

Namun, ia memperbolehkan IMF untuk menyampaikan terkait permasalahan utang negara-negara G20 tersebut pada saat menjadi pembicara utama.

"Kemungkinan IMF bisa menyampaikan isu tersebut saat intervensi. Dalam sesi I global economy di FMCB, IMF akan diundang sebagai lead speaker. Jadi bisa disampaikan saat itu," kata dia.

Sebelumnya, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mendesak Presiden Joko Widodo (Joki) dan China untuk membicarakan pelunasan utang negara-negara G20.

Sebab, Georgieva melihat makin banyak negara yang berutang besar. Ia khawatir ini akan ada kegagalan pembayaran dari utang-utang tersebut. Oleh karenanya, Georgieva menilai sangat penting untuk mulai membahas langkah yang harus dilakukan bersama-sama untuk menekan utang di berbagai negara terutama di forum internasional seperti G20.

G20, Wujud Hegemoni Barat

Beginilah potret negeri hari ini, selama aturan main sistem ekonomi dunia berpegang kepada kapitalisme. G20 sejatinya hanya mengokohkan hegemoni negara-negara lain terhadap tanah air. Indonesia sekadar menjadi sumber bahan baku dan pasar potensial bagi perusahaan-perusahaan raksasa multinasional. Belum lagi di balik agenda besar itu ternyata Indonesia hanya sebagai penggerak ekonomi para korporat maupun asing. Pasalnya penjualan aset, kepemilikan sawit yang kian membesar, serta berbagai tambang pun dimiliki asing. Yang semua ini merupakan kebijakan kapitalistik mengikis sumber devisa negara.

Alhasil dalam menjalankan perekonomiannya Indonesia sangat sulit bergerak karena ketiadaan sumber besar yang sejatinya menjadi tumpuan kesejahteraan negeri. Di sisi lain apabila sumber kekayaan itu hilang otomatis akan menyasar bidang lain seperti halnya ekonomi digital yang digadang-gadang akan membantu perekonomian global.

Dan kalaupun berbicara masalah ikut serta dalam persoalan mengentaskan masalah ekonomi global, ibarat panggang jauh dari api dan itu mustahil terjadi. Jangankan memulihkan perekonomian global, faktanya ekonomi bangsa sendiri saja jauh dari kata sejahtera bahkan tertinggal, kalaupun bangkit pasti mengandalkan sokongan dana ala kapitalis. Belum lagi tuntutan-tuntutan utang yang kian menggunung akan menyebabkan munculnya permasalahan baru yang sangat membahayakan nasib negeri sebagaimana Sri langka yang terjerat utang luar negeri menggunung akibat mengikuti resep IMF, diseret bergantung impor dan dihantam devaluasi mata uang yang menyebabkan kerugian.

Belum lagi kerusakan dari hulu ke hilir hingga rakyat kelaparan sedangkan penguasa asyik hidup bermewah-mewah hingga membuat kekacauan politik. Karena tidak mengambil pelajaran dan meninggalkan kepercayaan pada kapitalisme global.

Berharap Khilafah Bukan G20

Kerusakan pada berbagai lini disebabkan karena tangan-tangan manusia itu sendiri. Tak mau berhukum dengan aturan Ilahi sehingga mengabaikan rambu-rambu syariat yang sudah Allah Swt. tetapkan. Umat butuh penyelesaian global secara luas dan sesuai fitrah yakni sistem Islam.

Sistem Islam akan melakukan kebijakan yang sudah ditentukan oleh syarak. Pun terkait regulasi pengelolaan sumber daya alam, Islam mengharamkan penguasaan SDA ala kapitalistik (dikelola swasta, pemilik modal maupun asing).

Apabila negara terbebas dari cengkeraman asing maka negara leluasa mengambil kebijakan untuk mengelola SDA maupun SDM sesuai hukum Islam, tak hanya sesuai fitrah, kas negara pun melimpah ruah.

Berlimpahnya kas negara inilah yang menjadikan salah satu kekuatan ekonomi Islam. Peran sentral negara yang menjamin seluruh kebutuhan umat akan menjadikan kesejahteraan dan keadilan yang nyata dalam segala bidang tanpa harus utang. Apalagi berharap kepada forum G20 untuk menyelesaikan persoalan, yang ada hanyalah masalah baru yang menimbulkan kehancuran negeri bahkan bisa menjerumuskan generasi anak bangsa menjadi tumbal para kapitalis.

Saatnya umat sadar betapa pentingnya kembali kepada hukum Islam yang sesuai fitrah manusia serta rahmat bagi seluruh alam. Hukum Islam akan terwujud apabila ada institusi yang menaunginya yakni Khilafah. Wallahualam bissawab.

Post a Comment

أحدث أقدم