Oleh. Sulandari, ST
Guru PAUD


Acara peringatan hari kemerdekaan di komplek istana kenegaraan yang sedari awal berlangsung sangat sakral, berubah ambyar setelah penampilan Arya menyanyikan lagu Ojo Dibandingke.

Siapa yang tak mengenal lagu Ojo Dibandingke yang viral saat ini. Mungkin vibrasinya masih akan terasa beberapa bulan ke depan.
Yang jadi pertanyaannya, seistimewa apa sih pesona Arya dengan ojo dibandingke nya itu sampai-sampai masuk acara kenegaraan?

Apa tidak ada tim penasehat istana yang memberikan masukan terkait acara apa saja yang boleh ditampilkan sebagai hiburan istana yang disaksikan live oleh masyarakat Indonesia khususnya dan internasional pada umumnya.

Pepatah Jawa mengatakan, "Ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono." Dalam konteks kepemimpinan bisa diartikan bahwa wibawa pemimpin bisa dilihat dari kemampuannya menempatkan diri sebagai seorang pemimpin sesuai dengan busananya (situasinya) dan harga diri seseorang tergantung ucapannya. Jadi bagaimana orang lain menghargai kita, sedangkan kita saja tidak menghargai diri sendiri.

Entahlah apa juga yang menjadi dasar keputusan Menkumham Yasonna Laoly, ketika menobatkan Farel Prayoga sebagai duta kekayaan intelektual pada malam perayaan hari Dharma Kayadhika di Kementrian Hukum dan Ham pada kamis, 18/8/22. Apa karena musik koplonya itu yang membuat semua terhipnotis sehingga ikut berdendang dan bergoyang? 

Jika hanya itu saja alasannya sungguh naif dan memprihatinkan sekali nasib bangsa ini ke depan, 5 atau 10 tahun mendatang bangsa ini akan benar-benar kehilangan jati dirinya, marwahnya sebagai bangsa dengan penduduk muslim terbesar, tidak akan terlihat dalam kehidupan lagi. Akan tergantikan dengan generasi yang alay, hedon dan maunya serba instan mengambil manfaat materi tanpa berfikir mafsadatnya. 

Akar masalah sesungguhnya, dari bermunculannya video-video viral sejenis yang remeh seperti Arya dan Keke tidak lepas dari rendahnya taraf berfikir masyarakat dalam menyikapi masalah, dan standar kebahagiaan yang mereka yakini adalah terpenuhinya materi belaka, sehingga latah memviralkan konten-konten yang jauh dari tuntunan dan panutan yang baik, bermodal iseng dan menganggap lucu, tanpa memikirkan akibat buruknya jika konten seperti itu digandrungi masyarakat luas. 

Mereka akan berfikir tidak usahlah kerja keras toh dengan modal viral saja bisa kok menghasilkan cuan yang jutaan bahkan milyaran. Tidak heran makanya ketika ditawari akan dibiayai pendidikan hingga perguruan tinggi malah ditolak karena yang dipikirkan cuma pundi-pundi materi. 

Selain itu juga disebabkan bercokolnya sistem kapitalis sekuler yang diadopsi negara dalam menetapkan aturan, pada akhirnya menjadi alasan bagi masyarakat mendapatkan legalisasi karena didukung pemerintah secara langsung. 

Sangat disayangkan jika bentuk dukungan pemerintah hanya ditujukan untuk hal-hal seperti itu, padahal besar harapan, pemerintah mendukung kegiatan-kegiatan positif dan edukatif yang dilakukan masyarakat meskipun tidak diviralkan. 

Akibatnya mereka mengukur segala sesuatu hanya dengan landasan materi dan asas manfaat semata. Mereka tidak lagi peduli kontennya itu akan menjadi dosa jariyah atau sebaliknya. Jika hanya individu atau masyarakat yang melanggar norma masih mudah untuk diluruskan kembali dengan aturan negara yang mengikat. Tapi kalau sudah level negara yang menggandrungi, maka kerusakan itu sudah sistematis. 

Ayo dibandingke, sistem kehidupan yang diatur dengan Islam dengan kehidupan kapitalis sekuler yang saat ini menguasai negeri ini. Dalam sistem Islam, setiap individu akan didorong agar menjadi pribadi yang bertakwa, memiliki rasa malu yang tinggi untuk berbuat dosa, karena meyakini bahwa setiap detiknya selalu diawasi oleh CCTV Allah yang tidak pernah mati merekam setiap perbuatan kita. Setiap muslim akan terdorong untuk beramal pahala jariyah bukan beramal dosa jariyah. 

Masyarakat dalam sistem Islam akan menjadi pengontrol jika terjadi penyimpangan di tengah masyarakat baik individu atau negara. Bukan yang cuek bebek menyaksikan kemungkaran, tapi masyarakat yang memiliki kesadaran dan kepedulian yang tinggi untuk saling mengingatkan. 

Sedangkan pada level negara, maka akan memaksimalkan perannya dalam menetapkan aturan Islam dalam kehidupan bernegara, menjatuhkan sanksi bagi yang melanggar aturan. Negara akan hadir sebagai pelopor kebaikan dan mendukung penuh. Sehingga suasana fastabiqul khairat akan benar benar terwujud. Inilah yang akan membawa marwah suatu bangsa dan negara hanya dengan aturan Islam. []

Post a Comment

أحدث أقدم