Oleh. Ummu Syakira 
Muslimah Peduli Negeri


Pemerintah resmi meluncurkan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berlaku mulai 14 Juli 2022. Penggunaan NIK sebagai NPWP tersebut akan ditransisikan sampai dengan 2023, dan berlaku 1 Januari 2024 secara penuh.

Lalu apakah ini artinya mereka yang memiliki NIK otomatis menjadi wajib pajak dan membayar pajak? Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menegaskan, setiap orang pribadi yang memiliki NIK tidak otomatis menjadi wajib pajak dan tidak diharuskan membayar pajak.

Dia menuturkan dalam Undang-Undang Perpajakan telah mengatur dengan jelas bahwa wajib pajak orang pribadi adalah mereka yang bertempat tinggal di Indonesia dan mempunyai penghasilan melebihi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) Rp54 juta setahun atau Rp4,5 juta per bulan. Penghasilan di bawah angka tersebut, tentu tidak wajib mendaftarkan diri sebagai wajib pajak. (Bisnis.com, 24/07/2022)

Beban Rakyat Kian Berat

Padahal sebelumnya, rakyat sudah dikagetkan dengan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang resmi naik menjadi 11 persen sejak 1 April 2022. Kenaikan tarif tersebut merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Sesuai amanat dari UU HPP kenaikan tarif PPN akan berlangsung secara bertahap hingga 2025.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa alasan utama dinaikannya tarif PPN 11 persen yaitu menambah pemasukan penerimaan negara guna memperbaiki kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang secara berturut-turut mengalami defisit selama pandemi. Agar kondisi APBN bisa pulih dan surplus kembali dibutuhkan terobosan baru yang dapat memulihkannya.

PPN dipilih pemerintah sebagai space yang tepat untuk pemulihan APBN karena tarif PPN di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain. Jika melihat tarif PPN negara-negara anggota G20 dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) rata-rata tarif PPN di negara tersebut sebesar 15–15,5 persen. Sehingga di sini terdapat peluang yang tepat agar tarif PPN Indonesia bisa setara dengan negara lainnya sekaligus memperbaiki kondisi APBN. (Pajak.com, 18/04/2022)

Pajak Mencekik

Dalam sistem kapitalisme yang dianut negeri kita saat ini, pajak memang menjadi salah satu dari pemasukan APBN yang paling utama. Maka wajar jika akan terus dicari dan digenjot capaiannya, apalagi saat ini APBN kita yang selalu minus, dan pengeluaran terbesarnya adalah untuk bayar utang dan maupun membangun infrastruktur.

Realitas miris yang harus diterima rakyat karena pastinya merekalah yang terdampak. Lantas mengapa negara kita menjadikan pajak sebagai pemasukan utama APBN? Tidak adakah yang lebih menghasilkan daripada memeras rakyat dengan pajak atas dalih sumbangsih pada pembangunan negara?

Menurut Pakar Ekonomi Islam Dwi Condro Triono, Ph.D., ciri-ciri APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) negara kapitalis adalah pendapatan utamanya bersumber dari pajak. Indonesia membuktikan hal itu dengan 80 persen pendapatan utamanya dari sektor pajak. Ada pajak penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Cukai, Bea Masuk, Pajak ekspor, Pajak Kendaraan Bermotor, pajak reklame, retribusi, dan sebagainya.

Nyaris semua bidang usaha dan segala aktivitas dikenakan pajak, sampai-sampai orang yang mau pergi haji pun ongkos membayar hajinya dipajaki. Selain itu, pajak mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, harga barang meningkat karena di dalam mata rantai proses produksi setiap tahapannya dikenakan pajak.

Sungguh ini merupakan bentuk nyata kezaliman dari sistem kapitalisme yang harusnya segera dihentikan.

Pajak dalam Islam

Istilah pajak dalam fikih Islam, dikenal dengan dlariibah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara’.” [Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256].

Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum mendefinisikannya dengan, “Harta yang diwajibkan Allah kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal kaum muslim untuk membiayainya.” [al-Amwaal fii Daulati al-Khilafah, hal. 129].

Dalam APBN negara Islam (Khilafah), sumber pendapatan tetap negara yang menjadi hak kaum muslim dan masuk ke Baitulmal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan.

Sedangkan pajak adalah pemasukan tidak tetap yang bersifat insidental saat dibutuhkan. Syarak telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitulmal tetap harus berjalan. Jika di Baitulmal ada harta, maka dibiayai oleh Baitulmal. Jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharaar (bahaya) bagi seluruh kaum muslim.

Dalam rangka menghilangkan dharaar di saat Baitulmal tidak ada dana inilah, maka Khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitulmal mempunyai dana untuk mengcovernya.

Meski beban tersebut menjadi kewajiban kaum muslim, tetapi tidak semua kaum muslim menjadi wajib pajak, apalagi nonmuslim. Pajak juga hanya diambil dari kaum muslim yang mampu. Dari kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (makruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Karena itu, jika ada kaum muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Pajak juga wajib diambil darinya. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya.

Karena itu, pajak dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syarak. Negara Khilafah juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain.

Kembali kepada Islam

Selain itu, Khilafah juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis dan terbaik. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi, termasuk denda layanan publik, seperti PLN, PDAM, Telkom, dan sebagainya. Termasuk, tidak memungut biaya pembuatan SIM, KTP, KK, surat-menyurat dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya.

Sungguh berbanding terbalik dengan negara saat ini, yang berlaku bak drakula yang menghisap darah rakyatnya dengan pajak pada segala lini. Maka saatnya kita kembali pada sistem Islam yang menyejahterakan.

Sebagaimana kabar gembira yang disampaikan Rasulullah, Dari Abu Naḍrah, ia menuturkan, "Kami berada di sisi Jabir bin Abdullah lalu ia berkata, "Hampir saja Irak tidak dipunguti takaran bahan makanan dan dirham (zakat)." Kami bertanya, "Kenapa?" Ia menjawab, "Karena orang-orang 'Ajam (Non Arab), mereka mencegahnya." Kemudian ia berkata, "Hampir saja penduduk Syam tidak dipunguti dinar dan takaran bahan makanan." Kami bertanya, "Kenapa?" Ia menjawab, "Karena bangsa Romawi." Kemudian ia diam sebentar, selanjutnya berkata, "Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Akan muncul di akhir umatku nanti seorang khalifah yang membagi-bagikan harta (kepada rakyatnya) tanpa perhitungan." Ia berkata, "Aku bertanya kepada Abu Naḍrah dan Abu 'Alā`, "Apakah kalian berdua menganggap khalifah tersebut adalah Umar bin Abdul Aziz?" Keduanya menjawab, "Bukan." (Hadis sahih-Diriwayatkan oleh Muslim). []

Post a Comment

أحدث أقدم