Oleh Candelaria Athaya
Penulis


"Sebab penjara terbaik adalah terpenjara dalam surga-NYA."

Bagimu, mungkin terpenjara adalah hal paling menyiksa. Bagimu, mungkin penjara hanya sebatas ruang persegi hampa, sedikit sekali kebebasan atau bahkan tak ada, menjengkelkan hingga melahirkan jenuh dan depresi berkepanjangan. Tapi, tidak bagiku. Bagiku, penjara kadang memberi ruang baru untuk sedikit merasa, menelaah dan bibit menabur bahagia.

Era sekuler katanya, menyuguhkan sepiring besar ide feminis yang dibumbui dengan dalil yang manis dan dalih yang nikmat, sedikit dipercantik dengan warna-warni keberagaman. Sangat indah, menggiurkan dan terlihat amat lezat. Sulit rasanya untuk diri ini tak mencicipi, sulit untuk tak menerima dan sulit untuk tak berkata "ya" bahwa dia adalah cantik yang berkilau dalam lumpur nista.

Nyatanya, mereka yang memiliki gelar "ayu" kini terhipnotis olehnya. Bukan apa-apa, adalah wajar jika sedemikian rupa. Sebab mereka memandang diri mereka berada dalam kubangan nista bernama sekularisme, maka sesuatu yang berkilau sebagaimana feminisme adalah keistimewaan. 

Yah, nyatanya dekrit kata kesetaraan adalah angin segar dari kotornya pemahaman patriarki dalam kehidupan. Ah, ini akan banyak menyinggung para pemerhati, para pendukung yang simpati, terlebih mereka yang meratapi nasib dan berbahagia dengan hal ini.

Menjadi sebaik-baiknya diri bukanlah hal mudah. Sebab, nilai penghargaan dan ke-aku-an pun masih melekat dengan erat untuk didapat. Bukan karena berpasung ego, tapi memang kita telah lama kehilangan penghargaan pada nilai diri tanpa melihat materi. Tersebab kaki terjerembab dalam fitnah keji bernama kapitalisasi, maka sudut pandang penghargaan bukan lagi pada kualitas diri, melainkan kuantitas materi.

Tak dapat dimungkiri, masih banyak di luar sana yang mencapai kuantitas dari kualitas. Hanya saja, terlalu sulit untuk menafikan kenyataan bahwa manusia berdarah kapitalis akan lebih sibuk memfokuskan pandangan pada kuantitas materi. Ah, ini cukup menggelikan tapi juga menyeramkan bukan?

Kegilaan zaman kini di depan mata. Sulit bagi kita untuk berpaling darinya, terlebih untuk sekedar berpura-pura buta. Akhir zaman istilahnya, dimana fitnah-fitnah keji dalam pandangan kebajikan telah merajalela, mulai dari usia belia hingga yang bau tanah. Bukan apa-apa, jika kita ingin menyibak sedikit saja fakta dunia, maka kengerian yang membuat kita takut untuk keluar rumah akan memenuhi pandangan mata. Hanya saja, kita masih berpura-pura buta bukan?

Humm.. Sulit memang menjadi power dalam gaungan, tulisan dan pandangan. Dikarenakan kungkungan diktator varian baru menghantui setiap tindakan. Banyak sekali kegamangan dan ketakutan dalam menyampaikan kebenaran, bukan hanya nyawa taruhannya, sebab ada keluarga dan bahkan kehormatan yang tak terbeli oleh nyawa. Dan itu benar adanya.

Kesetaraan adalah isu paling segar untuk menyirami tandusnya keinginan hewani manusia dalam bertingkah. Jangankan aturan negara, aturan agama pun dilabrak tanpa sisa. Jika hanya mencampakkannya, maka kita akan mendapati ia pengkhianat negara atau agama. Sialnya, mereka justru mencampuradukkan segalanya, mengambil sepenggal aturan negara yang berpihak padanya lalu mengabaikan sebagian lainnya, mencampurkannya dengan aturan agama sebagai dalil atas dalih pembenaran keserakahannya. Begitupun sebaliknya. Lantas apakah mereka adalah pengkhianat negara atau agama? Jikalau mereka menyampaikan dan menampakkan diri dalam balutan agama, dan taat akan aturan negara. Sekalipun telah mencampakkan sebagian yang lainnya? Ah Tuhan, maafkan keserakahan ini.

Sejak keterpurukan dan masa kelam menyelimuti kehidupan perempuan di abad pertengahan, bahkan mungkin sebelumnya. Saat kehadirannya hanya sebagai pajangan dan pemuas nafsu kaum adam. Saat kehadirannya tak ubahnya alat pencetak generasi yang tak memiliki nilai. Saat nyawa mereka lebih rendah dari nyawa budak anak lelaki. Saat dimana hidup segan, mati tak ingin, ikut menghantui. Saat itulah lahir perempuan-perempuan yang mencetuskan kesetaraan. Tentang pengangkatan kehormatan, tentang pemberian nilai dalam kehidupan, tentang kegunaan yang akhirnya kebablasan. Sebab aturan lahir dari keterpurukan.

Ketika ide kesetaraan menderas di antara mereka yang diselimuti lumpur kotor dan bau, memberikan kebahagiaan adalah hal yang wajar, setelah terpenjara mereka seperti mendapatkan kebebasan. Hanya saja, ini adalah sejuk bagi mereka yang tandus. Lantas bagaimana dengan kita? Iya, kita yang beda dengan "mereka".

Baiklah, langsung saja. Tidaklah setelah Islam datang dan membawa kompleksitas yang mumpuni dalam aturan yang tak pernah ada sebelumnya. Datang dengan 'kesombongan' mengangkat derajat perempuan 3 kali lebih tinggi dari kedudukan kaum Adam. Ini adalah oase, pembawa angin segar setelah di negeri padang pasir itu, perempuan juga tak lebih bernilai dari domba ternak, ini dapat dibuktikan saat anak-anak perempuan baru lahir akan dikubur hidup-hidup tanpa beban. Sementara domba betina dielu-elukan sebagai penerus dalam memperbanyak ternak di kemudian hari. 

Hadirnya Islam yang memuliakan perempuan dalam segala aspek, baik dari penjagaan, pendidikan, kesehatan, kehormatan bahkan dalam sosial dan kebudayaan. Diberikan proporsi terproporsional mungkin sebagaimana fitrahnya. Didukung dengan dalil-dalil yang menjauhkannya dari dalih-dalih tak berfaedah. Dijadikannya fitrah pada dirinya sebagai ladang kebaikan dan kemuliaan atas hidupnya. Inilah esensi kehormatan tertinggi sebenarnya. Tidak ada patriarki, yang ada adalah kedudukan mulia yang tinggi.

Sayangnya, setelah pondasi keteraturan Islam dirobohkan di awal abad ke-20 oleh kaum munafik dan konco-konconya, Islam hanya tersisakan simbol dan ritual belaka. Eksistensinya yang menebar cahaya hampir 14 abad lamanya di 2/3 dunia hilang ditelan kegemilangan sekuler kapitalis masa itu.

Jika telah hilang eksistensinya, maka generasi selanjutnya hanya akan meneruskan gemilang eksistensi yang kini terpancar. Maka, sekalipun ia tak lahir dari abad pertengahan, ataupun generasi dari abad pertengahan sebagai cikal bakal munculnya isu kesetaraan, sekalipun ia adalah generasi dari generasi pemuka mulia yang diangkat kedudukannya. Kapitalis sekuler telah mendarah daging dalam hidupnya. Dan lahirlah pemahaman baru dalam meniti hidup. Dengan diri beridentitaskan Islam, dalam waktu yang sama berdarah daging sekuler kapitalis. Maka, ia menghinakan dirinya dengan mengambil sudut pandang sekuler untuk melihat realita Islam hari ini. Pun mengambil sudut pandang Islam untuk melihat realita kehidupan sekuler hari ini. 

Melahirkan generasi mental tempe, yang melihat segala perihal agamanya adalah abu-abu. Menjadikan kebebasan adalah tujuan hidupnya. Menyodorkan diri untuk terhina dan dihina atas nama kesetaraan dan kebebasan. 

Padahal, dahulu saat gelap menyelimuti abad pertengahan di Eropa sana, perempuan-perempuan “dipaksa” untuk terhina, dieksploitasi dengan derai air mata dan darah. Hingga lahirlah para pencetus keadilan dalam penyetaraan. Namun kini, yang ada mereka justru menawarkan diri untuk dihina dan terhina, mengeksploitasi diri untuk mendapat nilai dan eksistensi diri, nilai materi dan materi lagi. Dan ini dilakukan dalam keadaan sukarela. Tanpa dipaksa. Padahal mereka lahir dari generasi termuliakan, yang diangkat derajatnya jauh lebih tinggi dan mulia. Kacau bukan?

Kenapa kita harus mengambil peraturan yang lahir dari kelamnya kehidupan? Jika nyatanya kita memiliki pilihan untuk hidup dalam kemuliaan sebagaimana dahulu Islam datang dalam kegagahan dan kegemilangan?

Adakah kita merasa terpenjara? Merasa bahwa mereka yang menggaungkan kebebasan di luar sana adalah segalanya dan sebagai acuan hidup kita? Adakah dengan mengeksploitasi diri kita seliar-liarnya adalah bagian dari kemuliaan dan penghargaan hidup di dunia? Lantas itukah akhir hidup yang akan kita temui? Menghabiskan sisa usia untuk sekadar eksistensi diri? 

Fun, food, fasion, freedom, faith seakan adalah tujuan hidup. Seolah setelah hidup takkan ada apa-apa. Seakan hidup hanya untuk itu semua, tidak ada tujuan untuk hidup selanjutnya, tentang pertanggungjawaban hasil akhir dari penghidupan. 

Sederet penjagaan dicap sebagai penjara model baru, pakaian yang dijulurkan adalah pengekangan atas eksistensi diri, lahirlah tren berpakaian ala pocong ketat sana-sini. Keperawanan yang terjaga adalah pemasungan kebebasan berekspresi -maka aborsi dan kawin lari tak jadi masalah lagi, malu dan martabat hilang tak terkendali-. Makanan halal adalah pemutus eksplorasi rasa, penasaran terpenuhi, perut dikenyangi.  Bersahaja adalah tembok penghalang dari berpamer ria. Adakah kau merasa terpenjara?

Saat sederet aturan itu datang untuk mencegah. Mencegah dari diganggunya kehormatanmu oleh manusia bermental binatang, mencegah dari kerusakan susunan keturunan, mencegah dari mendarah-dagingnya keburukan dari makanan, dan mencegah dari kesombongan atas nikmat yang Tuhan berikan.

Adakah kau merasa terpenjara? Sedangkan aturan Tuhan bertujuan untuk menjaga? Bahwa apa yang telah Ia tetapkan atasmu, adalah kemuliaan tak berujung hingga kau mampu bersua dengan-NYA. Oh ayolah, aku pun menginginkannya, itulah mengapa tulisan ini tercipta. Berharap, apa yang kuharap mampu sampai pada ruang harapmu, sisakan sedikit pada rak penyimpanan harapanmu. Agar kau dan aku memiliki harap yang sama. Mulia dengan pengaturan terbaik, memiliki tujuan hidup terbaik. Hidup mulia dan mati menjadi kebaikan yang mengikat. Maka, terpenjaralah dalam surganya .... Terpenjara dalam syariatnya, terpenjara dalam pencegahannya, terpenjara dalam memilih untuk dimuliakan, dan terpenjara dalam cintaNYA.

Tidakkah yang menjaga adalah ia yang mencinta? Masihkah kau ragu bahwa Tuhanmu amat mencintaimu?

Jeneponto, 24 oktober 2022
Bersama malam yang menyelimuti kegamangan keyakinan. Aku ingin menjadi mulia. Cukup itu saja. []

Post a Comment

أحدث أقدم