Oleh Tutik Haryanti 
Aktivis Dakwah dan Pegiat Literasi AMK


Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan yang luhur dan sakral. Ikatan ini mempunyai tujuan mulia, yakni sebagai bentuk ibadah kepada Allah dalam menyempurnakan setengah agamanya, serta untuk melestarikan keturunannya. Pasangan yang akan menikah sangat dituntut memiliki kesiapan ilmu dan mental yang kuat. Karena dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang terpanjang dalam hidup ini, dibutuhkan keikhlasan, tanggung jawab dan mampu mengikuti hukum yang telah ditentukan. Agar dapat menjadi keluarga yang SaMaRa (Sakinah, Mawadah, Warahmah).

Kebahagiaan dalam pernikahan akan semakin terlihat saat hadirnya buah hati di tengah keluarga. Namun sayangnya, munculnya fenomena Baby Blues Syndrome telah meniadakan kebahagiaan tersebut. Gangguan kesehatan mental yang dialami wanita pascamelahirkan yang disebut juga dengan baby blues ini, kini angkanya semakin meningkat. Dalam penelitan Adrianti di tahun 2020, sekitar 32 persen wanita hamil mengalami depresi sedangkan 27 presen mengalami depresi post partum atau pasca persalinan. Angka ini menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat tertinggi ketiga di Asia. (healty.detik.com, 12/05/2023)

Ciri- ciri dari Baby Blues Syndrome ialah ditandai adanya rasa ketakutan, kesedihan, kebencian, rasa cemas yang mendera pada wanita pascamelahirkan. Kasus Baby Blues ini sering dijumpai pada wanita yang melakukan pernikahan dini, wanita yang hamil di luar nikah, wanita yang rumah tangganya tidak harmonis dan sering mengalami KDRT, dan masih banyak lainnya. Mengapa kasus baby blues ini bisa terjadi, dan apa yang menjadi penyebabnya?


Penyebab Baby Blues 

Kasus Baby blues disebabkan oleh dua faktor yakni internal dan eksternal. Penyebab internal datang dari diri ibu itu sendiri. Pertama, Menurunnya hormon progesteron pasca melahirkan, yang berpengaruh terhadap pengendalian emosi, menurunnya mood, semangat dan konsetrasi. Perasaannya menjadi lebih sensitif dan mudah terpancing emosi. Kedua, perubahan aktivitas membuat berkurangnya waktu istirahat, karena harus terjaga di malam hari, sehingga fisiknya pun akan melemah. Yang ketiga, kurang cepat beradaptasi ke masa peralihan menjadi seorang Ibu. Gagap akan tugas seorang ibu, karena masih terbawa suasana dahulu sebelum ia menikah dan melahirkan.

Kemudian penyebab eksternalnya ialah, pertama berasal dari perekonomian yang makin sulit, sedangkan biaya hidup semakin tinggi. Namun tidak didukung dengan pendapatan yang mencukupi, tentu saja ini menjadi dilema bagi sang ibu. Padahal bagi ibu pascamelahirkan membutuhkan nutrisi dan gizi yang cukup, untuk dirinya sendiri dan bayi yang disusui, serta untuk keperluan lainnya. Kedua, keadaan lingkungan yang kurang mensupport, baik dari suami, keluarga maupun masyarakat sekitaran. Ini sangat berpengaruh terhadap kondisi psikisnya yang butuh penyemangat, perhatian dan kasih sayang. Alhasil, kejiwaan ibu pascamelahirkan menjadi terguncang, merasa sendiri dan seakan tidak ada yang peduli. Lengkap sudah penderitaan yang dirasakan sang Ibu sehingga munculah fenomena baby blues. Sampai ada yang tega tidak mau mengurus bahkan meninggalkan bayinya. Bila hal ini tidak segera ditangani dengan serius, maka keselamatan ibu dan bayi akan terancam.  


Baby Blues Dampak dari Sistem Rusak

Dari sekian penyebab Baby Blues tersebut, membuktikan adanya ketidaksiapan seorang wanita setelah melahirkan, dan menjalani fitrahnya sebagai ibu sebagai ummu warabatul bait.Tentu ini sangat dipengaruhi dari kurangnya pemahaman/ilmu pada pasangan suami istri dalam mempersiapkan pernikahan, dan membina rumah tangga. Begitu juga tidak adanya dukungan dari negara yang memberikan edukasi dan pelayanan yang maksimal dalam pengurusan rakyatnya. Terutama bagi mereka yang ingin menikah dan membangun rumah tangga. Dimana mereka membutuhkan pembinaan ilmu pranikah dan lapangan kerja bagi para suami guna menafkahi keluarganya.

Ini semua dampak yang ditimbulkan, akibat dari penerapan sistem kapitalis sekuler liberal hari ini. Yang telah merusak tatanan kehidupan masyarakat, sehingga memiliki pemikiran pragmatis tanpa memikirkan akibat dari setiap tindakannya. Karena setiap tindakan lebih mengedepankan asas manfaat dan berorientasi kesenangan duniawi saja. Akhirnya pernikahan berjalan begitu saja tanpa ada visi dan misi dari tujuan pernikahan itu sendiri. 

Demikian pula dipisahkannya agama dari kehidupan (sekuler), makin melemahkan keimanan seorang ibu. Sehingga tidak kuasa menerima takdir/ketetapan Allah Swt. Dikarenakan tidak memahami betapa penting dan mulianya peranan seorang ibu dalam pengurusan  keluarga.  Alhasil setelah melahirkan, mereka tidak mengerti harus berbuat apa. Bahkan menjadikan anak sebagai beban hidupnya saja, dan menambah masalah keluarga. Sedangkan lahirnya anak merupakan anugerah Allah Swt. Amanah yang harus dijaga, dididik dan dilindungi dengan sebaik mungkin. Bukan sebaliknya, anak dijadikan sasaran ketidaksiapan orangtuanya.

Negara juga tidak peduli dengan urusan rakyatnya dalam pemenuhan hajat hidup. Dimana beban hidup yang tinggi dan sulitnya lapangan kerja, membuat para suami kesulitan untuk memberikan pelayanan terbaik bagi istri dan anaknya. Yang terjadi segala carapun dilakukan, tidak peduli lagi halal atau haram, asal kebutuhan keluarga dapat tercukupi. Beginilah bila sistem kapitalis sekuler yang diterapkan, maka akan melahirkan berbagai krisis dan kesulitan hidup di tengah masyarakat. 


Islam Mampu Mengatasi Baby Blues

Islam mempunyai mekanisme aturan yang sangat komperhensif. Yang di dalamnya mengatur akan ketakwaan individu, kerjasama masyarakat, dan fungsi dari negara. Untuk itu, dalam penanganan kasus fenomena Baby Blues ini, tidak bisa terlepas dari tidak elemen tersebut. Cara pertama Islam dalam mengatasi kasus Baby Blues yakni, setiap individu akan dibekali ilmu sebelum mengarungi bahtera rumah tangga. Negara akan benar-benar mempersiapkan dari awal pranikah, akan pentingnya edukasi mengenai seputar pernikahan dan bagaimana mengurus keluarga. Ini diawali dengan adanya penguatan akidah pada setiap individu, dalam rangka membangun dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt. melalui kurikulum pendidikan yang berbasis Islami. Sehingga nantinya setiap perempuan sudah siap akan tugasnya menjadi seorang ibu dan istri baik di dalam keluarganya. Begitupun dengan suami yang sudah siap menjadi qowam (pemimpin) yang menjadi tulang punggung keluarga. Masjng-masing kewajibannya dapat berjalan dengan baik tanpa menjadikan beban, namun semata-mata hanya mengharap rida Allah Swt.

Kedua, adanya kerjasama masyarakat Islami yang senantiasa memberikan semangat, perhatian, bantuan dan perlindungan bagi ibu pascamelahirkan untuk tetap dapat terjaga kewarasan dan kesehatan mentalnya. Ketiga, negara sangat berperan penting dalam urusan keluarga. Dengan menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi kaum laki-laki agar dengan mudah menghidupi keluarganya. Pun memastikan rakyatnya terjamin akan kebutuhan asasi, baik pangan, sandang, maupun papan. Begitu juga dengan kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan keamanan.

Sebagaimana kisah pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra. Beliau mengeluarkan kebijakan, bahwasannya bagi ibu yang sudah menyapih bayinya, akan diberikan subsidi gratis dari pemerintah. Kemudian suatu ketika, saat Beliau keliling dari kampung ke kampung, tendengar oleh Beliau suara tangisan bayi yang cukup lama. Beliau pun menghampiri dan menanyakan perihal tangisan bayi tersebut. Ternyata si bayi menangis akibat rasa lapar karena tidak disusui ibunya. Kebijakan yang dikeluarkan khalifah membuat Sang ibu tergiur mendapatkan subsidi tersebut, dengan cara mempercepat penyapihan bayinya. Dari kejadian ini, akhirnya Khalifah Umar bin Khattab ra. mencabut kebijakannya dan menggantinya dengan kebijakan baru yakni, bagi ibu yang memiliki bayi baik yang sudah disapih maupun belum, semua akan mendapatkan subsidi secara gratis dari pemerintah. 


Khatimah 

Demikian dimuliakannya seorang Ibu, bila negara menerapkan Islam secara kafah, dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Seorang pemimpin akan senantiasa memperhatikan kondisi dan menjamin kehidupan seluruh rakyatnya, sehingga menjadikan keluarga harmonis dan ibu pun terhindar dari kasus baby blues. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Kepala negara adalah pengurus rakyat, dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR. Bukhari)

Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

أحدث أقدم