Oleh Alfaqir Nuuihya 
Pemerhati Sosial

Akhir-akhir ini publik dikejutkan dengan podcast close the door yang tayang di kanal YouTube. Podcast tersebut berisikan pernyataan seorang publik figur berinisial DC, yang menyatakan bahwa ketika dia memiliki anak, maka pengasuhannya diserahkan kepada istrinya secara keseluruhan. Di dalam podcast tersebut, selain DC sempat membentak istrinya, dia pun memberi pernyataan bahwa dia telah memecat tiga karyawannya karena tugas tersebut bisa diambil alih oleh sang istri.

Tayangan tersebut lantas menuai kontroversi di kalangan publik. Masyarakat menilai, bahwa suami seperti itu adalah tipikal suami yang patriarki, atau lelaki sebagai pemegang kekuasaan mutlak. Bahkan sebagian menilai bahwa laki-laki seperti ini adalah tipikal red flag yang wajib dihindari karena kelak akan menimbulkan masalah yang serius dalam rumah tangga.

Figur lelaki seperti ini akan menjadi figur yang fatherless, atau peran ayah dalam keluarga hanya ada sekadar bentuk fisik, tidak ada dalam bentuk periayahan (pemeliharaan) terhadap anak dan anggota keluarga lainnya. Sebab, mereka menyerahkan seluruh tanggung jawab keluarga terhadap istri. Baginya, ketika materi untuk keluarga terpenuhi, maka kewajiban dan tanggung jawab sudah cukup.

Lelaki dengan kepribadian semacam ini, sering kali menjadi pribadi yang individualis, termasuk terhadap keluarganya sendiri. Baginya, meskipun telah terikat pernikahan, tetapi kebebasan tetap menjadi hak mereka, tergantung keinginannya.
 
Orang-orang yang telah terjebak dalam sekuler kapitalis, sering kali mengabaikan kriteria dalam mendapatkan pasangan. Baginya, cukup dengan saling mencintai maka akan lahir rasa nyaman.

Pernikahan adalah sebuah hubungan mushahabah (persahabatan) tetapi bukan berarti istri menghilangkan rasa respek atau hormat kepada suami. Sehingga dari hubungan seperti ini akan melahirkan ketenteraman jiwa dan kebahagiaan hidup dalam rumah tangga. 

Dari sini dapat dipahami bahwa kebahagiaan pernikahan bukan hanya terpenuhinya sandang, pangan, atau fisik secara materi, tetapi terpenuhi rasa kasih sayang, ketenteraman jiwa, kedekatan emosional, dan aspek ruhiah.

Suami sebagai qawwam adalah mutlak ketetapan Allah, bukan berdasarkan kapasitas atau kemampuan kepemimpinan suami. Bukan juga jika istri bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga maka otomatis kapasitas kepemimpinan beralih ke tangan istri. Bukan juga seperti pemahaman kaum feminis, yang menyatakan bahwa kepemimpinan keluarga adalah tanggung jawab bersama. Seperti konsep mereka yang mengedepankan "keluarga maslahah yang mengedepankan kesalingan atau mubadalah".

Dalam Islam, suami adalah pemimpin di dalam rumah tangga, seperti firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 34, "laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan" dalam konteks ini mengandung makna bahwa laki-laki sebagai pemimpin memiliki kewajiban terhadap seluruh anggota keluarga.
 
Pemenuhan kebutuhan anggota keluarga secara materi, bahkan keadaan psikologis, iman, ilmu, dan rasa nyaman keluarga adalah tanggung jawab suami. 

Ayat ini tidak berarti kepemimpinan yang instruksional dan penguasaan atau patriarki karena kepemimpinan suami dalam Islam, istri tetap bisa memberikan masukan atau gagasan atas setiap keputusan suami. Jadi, suami sebagai qawwam adalah bentuk amanah dan tanggung jawab yang berat dalam rumah tangga sehingga Allah berikan amanah tersebut kepada suami.

Kehidupan suami istri adalah kehidupan yang penuh ketenangan, kasih sayang, dan harus tegak di atas pilar tolong menolong, tidak kaku, dan formalistik. Seyogianya, lelaki dalam rumah tangga harus mampu memahami dan mengaplikasikan makna qawwam secara maksimal. Begitu pun fungsi dan peran strateginya dalam mengarungi rumah tangga. Secara ringkas, memaknai makna qawwam adalah mengembalikannya kepada aturan Allah.

Sebagai pemimpin, suami memiliki wewenang memberikan sanki dengan cara yang ahsan (baik) jika istri melakukan pelanggaran syariat. Ini adalah bentuk implementasi suami sebagai penanggung jawab atas pengaturan dan periayaan (pemeliharaan) urusan rumah tangganya. Di saat itu pula, istri tidak diperbolehkan menaati suami jika meyelesihi syariat. Di sinilah peran istri dibutuhkan untuk selalu mengingatkan dan memberi masukan kepada suami. Di dalam Islam istri hanya diwajibkan taat kepada suami dalam batas-batas yang telah ditetapkan syariat.

Dapat disimpulkan, bahwa laki-laki adalah qawwam dalam rumah tangga. Sebuah tugas mulia dari Allah kepada laki-laki. Sehingga suami memiliki kewajiban untuk terus meng-upgrade diri agar layak dan memiliki kemampuan dalam memimpin keluarga dengan baik. Begitu pun istri memiliki kewajiban terhadap suami sesuai syariat.

Ketika hak dan kewajiban setiap anggota keluarga berjalan secara proposional dan harmonis, tentu akan terbentuk keluarga yang tegak di atas syariat. Tidak akan menimbulkan suami yang patriarki dan anak-anak yang fatnerless. Justru akan tercapai sebuah keluarga yang sakinah, mawadah,   dan rahmah.
Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

أحدث أقدم