Oleh Suci Halimatussa’diah
Ibu Pemerhati Umat


Pemerintah resmi meluncurkan sertifikat tanah elektronik secara nasional (Kompas, 4/12/2023). Digitalisasi itu diklaim sebagai upaya memberi kemudahan kepada masyarakat dan menekan terjadinya kasus konflik lahan. Namun, apakah digitalisasi sertifikat tanah bisa mengatasi kasus konflik lahan yang terjadi di negeri ini?

Maraknya Kasus Konflik Lahan

Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), sebanyak 2.701 konflik agraria meletus sepanjang periode 2015 hingga 2022, kasus konflik lahan di Indonesia melibatkan lahan yang sangat luas, yakni sekitar 5,8 juta hektare. Sebanyak 252 konflik di antaranya terjadi pada 2015. Kemudian 2016 sebanyak 450 konflik, tahun 2017 sebanyak 659 konflik dan tahun 2018 sebanyak 410 konflik pada 2019 terjadi 279 konflik pada 2020 sebanyak 241 konflik tahun 2021 sebanyak 207 konflik dan 2022 sebanyak 212 konflik. 

Imbas dari 2.701 konflik Agraria yang terjadi sepanjang 2015–2022 KPA mencatat 1.934 warga dikriminalisasi, 814 dianiaya, 78 warga tertembak, dan 68 meregang nyawa. Konflik lahan juga kerap kali diwarnai kekerasan yang berujung pada kriminalisasi, bahkan memakan korban jiwa. Sungguh menyedihkan.

Dampak Buruk dari Konflik Lahan

Bagi warga miskin yang tinggal di perkotaan, tidak punya lahan dan tempat tinggal menjadi persoalan, mereka makin tergusur dan terpinggirkan. Selain lahan, masih ada persoalan berikutnya, misalnya harus tinggal di rusunawa yang efeknya juga cukup kompleks, yakni ruang privat menjadi sempit. Dua keluarga satu dinding, membuat dinding rusun seolah mempunyai telinga dan bersuara. 

Begitu pula persoalan air bersih dan sampah, cukup meresahkan bagi kalangan perempuan yang bertanggung jawab dalam urusan keluarga. Sampah menggunung memunculkan rasa khawatir para ibu akan ancaman kesehatan bagi anggota keluarga.

Ditambah lagi ruang bermain anak yang kurang, menjadi ancaman bagi tumbuh kembang mereka ke depan. Batas ruang yang makin hilang membuat anak mudah menyerap berbagai pola tingkah laku di lingkungan tempat tinggal mereka. Penanaman pendidikan ideal yang dibangun oleh keluarga bisa hancur hanya dalam hitungan jam.

Mirisnya lagi adalah ancaman keamanan. Dengan penghuni dari aneka ragam latar belakang daerah, pendidikan, dan pekerjaan memungkinkan terjadinya cekcok yang bisa berujung pada tindak kriminal. Pendidikan juga akan terhambat akibat orang tua menjadi korban penggusuran. Ini merupakan masalah besar yang harus segera diselesaikan. 

Mengingat dampak jangka panjangnya adalah kehilangan generasi sebagai calon pemimpin. Anak kesulitan melanjutkan sekolah karena dana yang terbatas, biaya pendidikan yang tinggi, adaptasi lingkungan baru yang membutuhkan energi juga waktu tambahan untuk belajar dengan rasa nyaman, lokasi tinggal yang jauh dari sekolah dan sebagainya.

Konflik lahan marak terjadi bukan semata-mata karena persoalan sertifikat tanah. Munculnya konflik lahan adalah buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang melahirkan keserakahan dan kebebasan dalam kepemilikan. Alhasil, lahirlah kebijakan serampangan yang tidak melindungi hak individu rakyat sebagai pemilik yang sah. 

Kerja sama antara penguasa dan pengusaha dalam menyukseskan program dan proyek, semata-mata demi keuntungan materi dengan mengorbankan masyarakat kecil.
Tidak bisa dimungkiri bahwa konflik lahan yang terjadi hari ini merupakan konflik struktural. 

Pemicu utamanya adalah kebijakan negara yang berpihak pada kepentingan pemilik modal. Kebijakan-kebijakan seperti ini lazim terjadi karena negeri ini menganut sistem kapitalisme yang lahir dari rahim sekularisme yang tidak kenal nilai moral dan halal haram.

Dalam sistem ini, para pemilik modal yang notabene jumlahnya kecil malah diberi ruang sangat besar untuk menguasai berbagai lini kehidupan, termasuk menguasai sebagian besar sumber daya alam.  Perusahaan-perusahaan besar terus melakukan akumulasi modal dengan menguasai sektor hulu hingga ke hilirnya. Sementara posisi mayoritas rakyat benar-benar sangat lemah. Mereka hanya bisa berebut remah-remah kekayaan dan hidup di bawah belas kasih para pemilik modal.

Sistem ini benar-benar mereduksi fungsi kepemimpinan negara. Negara dan penguasa dalam sistem ini justru berposisi sebagai jongos bagi para pemilik modal. Bahkan tidak jarang pula pengusaha berperan ganda sebagai penguasa. Hasilnya, kebijakan-kebijakan negara justru mewakili kepentingan para pemilik modal.

Maka wajar, ketika terjadi kasus konflik lahan, pemerintah cenderung berseberangan dengan rakyatnya. Bahkan tidak jarang pendekatan represif dilakukan hanya demi membela kepentingan para pemilik modal. Ujung kasus konflik lahan bisa dipastikan, pengusahalah yang menang, sedangkan rakyat hanya bisa bermimpi mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Mereka bahkan harus siap-siap kehilangan lahannya. 

Islam mengizinkan individu baik muslim ataupun kafir untuk memiliki lahan. Baik untuk keperluan tempat tinggal, usaha, atau pertanian. Kepemilikan lahan dalam Islam tidak ditentukan oleh surat kepemilikan tanah, tetapi dengan cara menghidupkannya, seperti mematoknya atau mengelola lahan yang memang tidak ada pemiliknya. Islam juga menetapkan ambang batas penelantaran lahan, yakni tiga tahun. 

Bila lahan yang telah dimiliki itu tidak dikelola atau ditelantarkan selama tiga tahun, maka negara akan menyita lahan tersebut dan memberikannya kepada individu yang sanggup mengelolanya.

Dalam Islam, negara tidak berhak merampas tanah milik warga muslim maupun kafir sekalipun mereka tidak memiliki surat kepemilikan lahan. Selama ia bisa membuktikan bahwa tanah itu telah dipatok atau dikelolanya, serta tidak ditelantarkan lebih dari tiga tahun maka perampasan terhadap tanah rakyat walaupun atas nama pembangunan, apalagi untuk diberikan kepada investor, adalah kezaliman dan dosa besar.

Apabila memang tanah warga itu dibutuhkan untuk kepentingan negara dan publik untuk kepentingan mendesak, maka negara wajib memberikan ganti, baik dengan membeli tanah dan seluruh bangunan atau tanaman yang ada padanya dengan harga yang layak atau melakukan tukar guling dengan tanah yang sepadan dan keridaan pemiliknya. 

Haram hukumnya negara memaksa warga menjual tanahnya apalagi dengan harga yang murah. Maka, sudah saatnya negara ini mengambil solusi konflik lahan ini dari sistem Islam. Satu-satunya sistem yang memberikan solusi secara komperhensif untuk semua problematika hidup termasuk sengketa lahan ini. 

Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

أحدث أقدم