Oleh Leihana
Ibu Pemerhati Umat


"Hal tersulit untuk dipelajari dalam hidup adalah jembatan mana yang harus diseberangi dan mana yang harus dibakar." (David Russell).
Tampaknya filosofi hidup yang diambil dari kutipan milik David Russel di atas bukan hanya berlaku bagi manusia kebanyakan, tetapi juga bagi rezim baru terpilih dari Pilpres 2024.

Sebab, rezim baru pasangan presiden terpilih Prabowo Gibran dalam proses politiknya menggandeng banyak partai politik dengan koalisi yang sangat gemuk. Maka, tidak menutup kemungkinan proses bagi-bagi kekuasaan dalam pembentukan kabinet menjadi ajang politik kepentingan penguasa semata bukan lagi politik untuk kepentingan rakyat. 

Telah beredar wacana kabinet yang akan dibentuk pada pemerintahan Prabowo-Gibran–setelah pelantikan di Oktober 2024 nanti–adalah sebanyak 44 menteri.  Berarti bertambah sepuluh dari kementerian sebelumnya yang berjumlah 34 menteri saja. (Antaranews.com, 18/9/2024)

Wacana tersebut tentu cukup berdasar karena beberapa waktu yang lalu telah disahkan RUU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undang resmi. Terdapat enam poin penting perubahan undang-undang kementerian sebelumnya dengan yang baru disahkan tersebut.  

Salah satunya adalah adanya jumlah batasan menteri berdasarkan kebutuhan presiden. Sebelumnya dibatasi sampai dengan 34 itu dihapuskan menjadi sesuai kebutuhan presiden terpilih saat ini yakni Prabowo yang memiliki overkoalisi yang cukup gemuk. 

Sehingga menurut Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah "Castro" sudah menjadi rahasia umum bahwa presiden terpilih nanti Prabowo Subianto akan mengakomodasi seluruh koalisi yang cukup banyak tersebut dengan menambah jumlah kementerian.  (Cnnindonesia.com, 20/9/2024)

Meskipun hal ini belum resmi diumumkan, tetapi saat rumor tersebut bocor dari tokoh politik yang tidak diragukan perkataannya yaitu Ketua MPR RI sekaligus Politikus Senior Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet). Dari perkataannya yang bernada candaan, tetapi tendensius. 

Saat ia memberikan sambutan dalam acara pembukaan Turnamen Bulu Tangkis DPR dan MPR di GOR Kompleks Parlemen, Jakarta. Ia telah mendengar pembicaraan meski belum resmi dari pasangan presiden terpilih Prabowo-Gibran yang akan mengakomodir koalisinya dengan menambah jumlah menteri menjadi 44 pos. (Cnbcindonesia.com, 15 September 2024)


Menteri Baru, Beban Baru atau Dampak Baru?

Meskipun rezim terpilih nanti pasti beralasan bahwa penambahan jumlah menteri ini ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Dengan menambah jumlah profesional dan tenaga ahli yang menjabat menteri nanti akan membawa dampak lebih baik. Namun, apakah sebanding penambahan jumlah menteri tersebut dengan dampak yang mereka berikan dan beban yang diberikan kepada rakyat?
 
Banyaknya kementerian jelas membutuhkan orang yang tak sedikit. Tentu ini membutuhkan dana besar untuk menggaji para menteri. Hal ini berisiko bertambahnya utang negara dan naiknya pajak.

Namun di sisi lain, jobdesk tiap kementerian bisa jadi makin tidak jelas, bahkan besar kemungkinan akan tumpang tindih. Termasuk dalam membuat kebijakan, sehingga tidak efektif dan efisien. Bahkan menurut Castro  jumlah menteri  sebelumnya yang 34 saja sudah berlebih dan tidak efisien apalagi jika tidak  ditambah. Maka, kementerian yang ada semakin tidak ideal. 

Selain itu juga ada risiko memperbesar celah korupsi. Sebab, sudah menjadi rahasia umum di balik adanya kewenangan dan jabatan di Indonesia, kerap menjadi lahan bagi para tikus berdasi untuk melakukan tindak korupsi. Sehingga alih-alih jaminan kepentingan rakyat makin menjadi perhatian justru korupsi yang semakin besar merajalela. 
 
Hal ini tentu terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut bangsa ini yaitu kapitalisme sekuler yang justru banyak berpihak kepada para pemilik modal. Semakin banyak jobdesk kementerian justru memperlebar peluang pemilik wewenang memberikan keberpihakan kepada para pengusaha atau para pemilik modal. 

Islam Mengutamakan Kepentingan Rakyat 

Tentu saja sistem kapitalisme sekuler berbeda dengan  sistem Khilafah sebagai institusi penerapan aturan Islam kafah. Dalam sistem Islam, khalifah sebagai pemimpin negara yang bertanggung jawab karena amanah kepemimpinan ada padanya bukan sebagai ajang politik balas budi atau untuk mengembalikan modal–saat memperjuangkan kontrak politik terpilih dalam pemilihan umum. 

Dalam sistem Islam, seorang khalifah juga boleh mengangkat pembantu/pejabat untuk membantu tugasnya. Khalifah akan memilih pejabat dengan efektif dan efisien, dengan jobdesk dan tanggung jawab yang jelas, baik dalam urusan kekuasaan maupun non-kekuasaan.
 
Pertimbangan khalifah dalam menentukan wuzara atau para pembantu dalam bidang-bidang yang menjadi kewajiban, khalifah mengurusnya dan dipilih berdasarkan kepentingan rakyat bukan atas dasar kepentingan balas budi dukungan politik yang diberikan sebelumnya. 

Sebagaimana hadis Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, "Jika sebuah urusan diberikan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancuran itu." Sehingga jelas pertimbangan seorang pemimpin negara atau khalifah dalam menentukan para pembantunya–yang setingkat menteri pada sistem saat ini–adalah berdasarkan kepentingan dan kebutuhan rakyat. Hal tersebut yang menjadi tanggung jawab negara dan diserahkan kepada ahli dari bidang tersebut bukan kepada orang yang memiliki jasa politik terhadap pemimpin terpilih. 

Sebab, dalam Islam jabatan adalah sebuah amanah bukan kontrak politik yang dibangun berdasarkan untung dan rugi. Sehingga untuk menjamin dampak terbaik dan kesejahteraan rakyat terpenuhi dan terwujudnya sosok para pemimpin yang amanah. Tidak ada jalan lain selain menerapkan kembali aturan Islam secara kafah di bawah naungan institusi Khilafah. 

Wallahualam bissawab.[]

Post a Comment

أحدث أقدم