Oleh : Isma Adwa Khaira
Mahasiswi, Pendidik, and Member Of AMK

Dear my musrifah...
Ini hanya seuntai kata yang terangkai saat teringat dengan guru yang senantiasa membimbing dan membinaku untuk senantiasa terikat dengan hukum Allah.

Dulu, aku dapati bahwa aku begitu cuek dan individualis hingga mengabaikan apapun yang terucap darinya. Menjadikannya hanya sebagai angin lalu yang tidak cocok sama sekali dengan kepribadianku.

Dulu, kudapati bahwa kapitalisme begitu mengakar kuat dalam pikir. Beliau yang mengajarkanku tentang peduli terhadap sesama. Belajar tentang apa itu keikhlasan. Tapi aku yang sekuler selalu berpikir 'mengapa harus peduli pada oranglain? Sementara oranglain tidak peduli dengan kita? Mengapa harus menyulitkan diri sendiri? Atau mengapa harus berubah? Aku merasa sudah dizona nyaman'.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai mendapatkan sedikit demi sedikit pemahaman tentang pentingnya menuntut ilmu Islam kaffah. Aku selalu merasa bahwa shalatku sudah cukup untuk menghantarkanku pada syurga. Namun, ternyata aku salah besar.

Dewasa ini, aku mulai belajar berada diposisinya. Berusaha memahami kesusahannya dalam membina. Mencoba melangkah di atas jejak yang ia tinggalkan di depanku sambil terus menggenggam tangan dan mengawasi langkah.

Inikah rasanya? 

Menjadi pembimbing, kakak, guru, keluarga, ibu, teman dan lain sebagainya. Dan baru ku mengerti hari ini. Betapa berat tugas yang ia emban. Ah, aku merasa begitu bersalah.

Dear my musrifah...
Terimakasih mungkin tidak akan cukup untuk membalas apapun yang kau berikan kepadaku. Waktu, tenaga dan harta yang telah tercurah untukku sementara diri ini masih begitu nakal menguji kesabaran dan keikhlasanmu.

Dear my musrifah...
Maaf atas ketidakpatuhan yang memberatkanmu untuk membimbingku. Engkau begitu bangga ketika darisahmu mengalami peningkatan dan sedih ketika mereka melanggar hukum syara'.

Kecintaan dan kebenciannya karena kebaikan dan kemaksiatan yang dilakukan. Jalan dakwah begitu terjal dan mendaki. Jika hanya orang biasa maka tidak akan pernah sampai pada titik akhir pendakian. Karena mereka yang berjuang dalam pendakian ini begitu istimewa laksana mutiara di dasar samudera. 

Mereka adalah para pilihan yang terbaik di antara pilihan yang baik. Mereka mengemban amanah yang begitu tinggi dan menjalaninya dengan begitu sabar dan ikhlas. Bukan dunia yang menjadi poros dalam kehidupan mereka. Tapi akhirat lah yang menjadi poros dan tujuan utama dalam kehidupan.

Apapun mereka korbankan demi berjayanya Islam sebagai pengatur alam semesta. Dimana bukan untung rugi yang mereka pikirkan namun halal dan haram. Marah mereka karena kemaksiatan darisah. Cinta mereka karena ketaatan kita.

Syukur itu tidak akan senantiasa putus terucap atas limpahan kasih Allah dengan hadirnya mereka. Mereka penjelas di antara keminimalan ilmu kami terhadap hukum Islam.

Teruntuk semua musrifah...
Sukron, jazakumullahu khairan katsira atas segalanya. Semoga Allah yang membalas semua waktu yang telah terlewati dalam membina kami. Semoga Allah terus mengeratkan genggaman kita dalam melewati jalan dakwah kaffah yang terjal ini. Aamiin.

Wallahu a'lam bisshawwab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama