Oleh : Leihana
IRT dan Pemerhati Keluarga


Mengakhiri tahun 2020 dan mengawali tahun 2021 halaman berita tanah air, diisi seputar evaluasi perekonomian tahun yang berlalu dan target pertumbuhan ekonomi setahun ke depan. Sudah seperti drama saja angka pertumbuhan ekonomi ini diutak-atik ibarat permainan belaka. Sepihak merevisi angka pertumbuhan ekonomi setahun ke belakang dari kisaran minus 1.7- hingga minus 0.6% menjadi kisaran minus 1.7% hingga 2, 20%.

Dilansir oleh TEMPO.CO, "Menteri Keuangan Sri Mulyani memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2020 berkisar minus 1,7 persen hingga minus 2,2 persen. Perkiraan ini jauh lebih rendah dari proyeksi sebelumnya sebesar minus 1,7 persen hingga di level positif 0,6 persen." 

Tentu drama ini disutradarai oleh pemerintah sendiri yang diwakili oleh menteri perekonomiannya. Hal ini  kemudian didukung dengan skenario IMF yang memberi pujian selangit atas prestasi penurunan angka pertumbuhan ekonomi di masa pandemi sebagai angka yang wajar dan bahkan dianggap prestasi yang baik. 

Apa pun dalihnya soal angka pertumbuhan ekonomi ini yang pasti masyarakat secara langsung sudah merasakan kondisi saat ini memang sudah mengalami resesi parah. Kesulitan ekonomi di berbagai bidang, terutama di tingkat menengah ke bawah. Banyak usaha lumpuh dan investasi runtuh. Meski sejalan dengan data menyebutkan pertumbuhan ekonomi turun hingga minus 2.20% namun data ini tidak sejalan persis dengan yang dirasakan langsung masyarakat.

Jika harus dibandingkan dengan krisis moneter tahun 1998 dimana Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi minus 13.13%, tapi masyarakat merasakan dampak krisis saat ini lebih dahsyat kesulitannya. Jika tahun 1998 masyarakat banyak dikagetkan dengan adanya inflasi nilai mata uang yang anjlok, harga-harga kebutuhan tiba-tiba meroket tapi masyarakat dapat bertahan dengan baik karena sumber pendapatan mereka masih berjalan lancar.

Berbeda dengan krisis saat ini akibat pandemi panjang. Bidang usaha masyarakat  lumpuh total seperti halnya bidang pariwisata yang sebelumnya dielu-elukan pemerintah sebagai ujung tombak perekonomian negeri. Seharusnya menurut perhitungan angka yang digulirkan pemerintah dan IMF tahun ini semestinya krisis tidak separah tahun 1998 faktanya masyarakat jauh lebih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup saat ini.
 
Belum lagi utak-atik angka pertumbuhan ekonomi ini juga dinarasikan hingga proyeksi tahun 2021 yang membius rakyat dengan harapan palsu. Berbagai pihak (Menkeu, ADB dan IMF ) menarasikan optimisme dengan meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia. Yakni mereka memproyeksikan pertumbuhan ekonomi bisa meningkat hingga 4.4-4.7% di tahun 2021. Prospeknya positif. Membangun pemulihan ekonomi pada paruh kedua tahun 2020, Produk Domestik Bruto (PDB) riil diproyeksikan meningkat sebesar 4,8% pada tahun 2021 dan 6% pada tahun 2022, dipimpin oleh langkah-langkah dukungan kebijakan yang kuat, termasuk rencana distribusi vaksin COVID-19 serta peningkatan ekonomi global dan kondisi keuangan." dalam International Monetary Fund (IMF) yang dipimpin oleh Thomas Helbling. (cnbcindonesia.com) 

Namun, mengingat angka pertumbuhan ekonomi tahun 2020  saja dikoreksi karena kebijakan yang berjalan, nyatanya terbukti tidak efektif menurunkan angka penyebaran virus dan penghentian kasus. Maka bukan tidak mungkin proyeksi angka pertumbuhan ekonomi tahun 2021 ini jadi harapan kosong belaka. Hal ini  karena  penanganan pandemi di Indonesia belum terlihat akan tuntas di tahun 2021. 

Rakyat membutuhkan solusi bukan ilusi,  tentu solusi ini bermula dari kebijakan tepat dan benar untuk penanganan wabah, selanjutnya dampak sektor ekonomi bisa dipulihkan. Solusi tidak bisa diciptakan dari ilusi skenario utak atik angka pertumbuhan ekonomi. Namun, harus berupa tindakan nyata menyelesaikan secara tuntas akar masalah perekonomian negeri.  Memang bukan hanya karena pandemi itu sendiri, melainkan diakibatkan oleh penerapan sistem ekonomi kapitalisme-liberal.

Sehingga baik penanganan pandemi maupun kebijakan ekonomi lainnya hanya berpihak pada kepentingan para kapitalis (pemilik modal). Salah satu contohnya RUU Cipta Kerja yang dipuji habis-habisan oleh IMF bisa memulihkan ekonomi Indonesia. Padahal sebenarnya jika dicermati hanya menguntungkan pihak pengusaha saja. 

Solusi pasti ditawarkan oleh sistem Islam kafah,yang memiliki aturan paripurna dalam penanggulangan bencana seperti pandemi selain kebijakan lockdown jaminan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat menjadi penentu stsbilnya ekonomi di tengah situasi pandemi. 

Sistem ini tidak bisa diterapkan sebagian-sebagian karena sistem lockdown yang diajarkan nabi dan para khalifah setelahnya perlu ditopang oleh ekonomi yang kuat, sistem sosial yang bertakwa dan sanksi hukum tidak tegas. 
Paket komplit solusi karut marut negeri ini bisa diterapkan hanya dalam institusi khusus bernama khilafah. Pastikan pilih solusi pasti bukan ilusi mati. 

Wallahu a'lam bishshawab.

1 تعليقات

  1. Solusi pasti untuk mengatasi krisis dsn wabah pandemi ini hanya sistem islam kaffah. Ysng mampu mengatasai masalah dari akarnya.

    ردحذف

إرسال تعليق

أحدث أقدم