Oleh : RAI Adiatmadja
Founder Komunitas Menulis Buku


Defisitnya keuangan di negeri ini sudah parah dari sejak pandemi corona terjadi. Bukan hanya sekadar kesalahan manajemen uang negara yang berantakan, ditunjang dengan banyaknya kebijakan yang tidak tepat sasaran, juga perilaku para pejabat yang dekat dengan tradisi korupsi membutakan hati nurani. Alhasil, pemerintah semakin membabi buta mengerahkan daya mencari peluang di setiap  bidang, hal terpenting semua bernilai uang. 
Presiden Jokowi meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) pada Senin, 25 Januari 2021 yang berlangsung di Istana Negara. Jokowi mengatakan bahwa uang wakaf bisa dimanfaatkan di bidang ekonomi dan sosial, tak sekadar dalam tujuan ibadah. Ia berharap upaya itu bisa mengurangi ketimpangan sosial terutama kemiskinan yang terjadi di masyarakat. (KOMPAS.COM, 30/1/21).

Potensi wakaf yang tercatat secara lingkup nasional senilai Rp 217 triliun jika dipersentasekan yakni sebesar 3,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, belum adanya optimalisasi terkait pemanfaatan instrumen wakaf. Hal tersebut bernada sama dengan yang diucapkan Presiden Jokowi tentang penggunaan dana wakaf sebagai salah satu cara mengentaskan kemiskinan. (REPUBLIKA.CO.ID, 24/10/20).

Tentu saja hal tersebut menyebabkan gelombang kontradiksi dari berbagai pihak. Bagaimana tidak, saat syariat Islam diguncang agar tidak berpengaruh besar, tetapi dana umat Islam yang tentunya terkait dengat syariat disasar? Umat diharuskan menggalang dana, tetapi para koruptor tetap dipelihara. 

Kritik cukup keras disampaikan oleh pakar ekonomi Indonesia, Rizal Ramli. Ia berkomentar tentang dana wakaf yang bernilai Rp 597 miliar bisa digunakan untuk infrastruktur. Menurutnya, tentu pernyataan Menkeu Sri Mulyani bertentangan dengan fakta yang dihadapi umat Islam, ketika isu islamofobia diembuskan, mengapa justru dana umat diincar dan digunakan. (Pikiran Rakyat Tasikmalaya.com, 27/1/21).

Sebuah kewajaran ketika masyarakat  marah dan memberikan respons keras. Selama ini pemerintah memberikan banyak ancaman melewati kriminalisasi, diskriminasi, radikalisasi. Umat Islam dibayang-bayangi ancaman menakutkan di negeri yang mayoritas muslim, kemudian dirayu dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan pemerintah. Syariat yang memberi peluang dana diatur dan diterima sedemikian rupa, sedangkan yang tidak sesuai bagi penguasa tentu ditinggalkan bahkan dibuang tanpa harga.

Dana wakaf bukanlah hal pertama yang dibidik, sebelumnya ada dana haji yang sudah dimanfaatkan, di antaranya membiayai beberapa proyek pembangunan. Penguasa semakin menelisik potensialnya dana yang dialirkan oleh umat Islam. Bahkan ketika bencana datang, umat digiring untuk menggalang dana yang bisa dialokasikan untuk para korban. Pengalihan konsekuensi dari penguasa–yang seharusnya merawat serta mengelola negeri dan rakyat–ke masyarakat agar mereka berlomba-lomba berbuat kebaikan dan berperilaku dermawan.

Kecenderungan pemerintah tak bisa dibantah, masyarakat sudah semakin terbuka dengan penguasa yang serakah. Syariat Islam dicecar agar umat bubar, tetapi dananya diincar agar kas negara tidak semakin ambyar. Tentu semua semakin terasa bertolak belakang dan melahirkan reaksi negatif yang kian menjalar.

Sedemikian rupa pemerintah berdalih dalam menghadapi reaksi tersebut dengan mengatakan bahwa dana umat tidak akan masuk kas negara. Namun, tentu kita tahu dana tersebut akan masuk ke bank-bank penerima setoran.
 
Menurut Sekjen MUI, Amirsyah Tambunan yang sekaligus sebagai Wakil Ketua Majelis Wakaf dan Kehartabendaan (MWK) dari PP Muhammadiyah. Menurutnya dana wakaf dikelola oleh para nazir (pengelola wakaf). Biasanya akan diinvestasikan oleh para nazir pada berbaga instrumen onvestasi seperti deposito syariah atau sukuk dan imbalan dari hasil deposito tersebut bisa digunakan untuk berbagai kegiatan sosial. (REPUBLIKA.CO.ID, 26 /1/21).

Jika berkata investasi dan instrumen investasi, tentu saja berhubungan dengan bank. Saat ini Indonesia sudah membenahi Bank Syariah Mandiri sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKSPWU). Saat ini sudah berganti nama menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) gabungan dari tiga bank syariah yakni BRI Syariah, Mandiri Syariah, dan BNI Syariah, melebur menjadi satu. Investasi tersebut bisa dipakai oleh negara untuk dana proyek pembangunan infrastruktur. Jelas sekali menjadi bualan semata ketika pemerintah mengatakan tidak mebidik dana umat Islam, semuanya bisa dengan mudah dianalisis sekalipun oleh kaum awam.

Bagaimana dengan sistem Islam kafah dalam mengelola dana umat? Jawabannya, kita tahu bahwa Islam memiliki karakteristik sistem ekonomi yang unik dan khas. Tentu saja berbeda dengan jalur perekonomian yang diemban sistem kapitalisme dan komunisme. Hal yang teramat disayangkan, tidak semua umat paham akan hebatnya sistem perekonomian Islam, menjadi kurang familier karena tidak diterapkan dalam sebuah institusi. 

Dalam Islam, kepemilikan diklasifikasikan menjadi tiga kategori, menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, yakni; kepemilikan pribadi yang berarti harta boleh dimiliki seseorang dan dia berhak mengelolanya dengan baik, kepemilikan umum artinya harta yang dimiliki bersama oleh kaum muslim, sedangkan kepemilikan negara artinya harta yang diizinkan syariat untuk dimiliki dan dikelola negara.

Pembiayaan yang seharusnya dipakai oleh negara diambil dari dua klasifikasi, yaitu; harta umum dan milik negara. Untuk harta milik umum dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada umat sebagai wasilah menguatkan kemaslahatan dalam bidang perekonomian, seperti hutan, tambang, perairan darat dan laut, juga padang rumput. Sudah bisa dipastikan jika pengelolaan diatur oleh negara dengan baik dan sesuai aturan Allah, tentu negara akan memiliki dana yang besar untuk biaya mengentaskan kemiskinan, proyek pembangunan, jaminan kesehatan, pendidikan yang tanpa biaya untuk umat.

Indonesia memiliki kekayaan alam yang teramat berlimpah, seharusnya untuk menggali sarana menyejahterakan rakyat tidak perlu susah, tidak usah ada utang luar negeri, apalagi mengambil dana umat seperti wakaf dan umrah.

Bagaimana sistem Islam kafah mengentaskan permasalahan kas negara, yang tidak mustahil bisa kosong karena kondisi bencana atau peristiwa darurat lainnya? Tentu saja jawabannya bukanlah berhutang, tetapi ada dharibah yang bersifat kondisional, tidak seperti mekanisme pajak modern. Dharibah pun hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya. Berbeda dengan kewajiban pajak yang tidak melihat status sosial atau agama.

Saat kondisi darurat, Islam tidak membuka ruang untuk utang, atau menjerat dengan pajak, apalagi membidik dana umat untuk jalur ibadah. Namun, memberikan fasilitas yang tanpa biaya dalam bidang kesehatan, pendidikan, juga keamanan. 

Jelas sekali keunggulan Islam dalam mengentaskan setiap problematika, tentunya tidak merugikan berbagai pihak baik umat ataupun negara. 

Wallahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

أحدث أقدم