Oleh : Indi Lestari


Membahas perihal perempuan tidak akan pernah habis untuk dikupas, begitu banyak permasalahan yang harus dihadapi perempuan, dimana kekerasan, pelecehan seksual, pendidikan maupun kesehatan yang rendah, eksploitasi yang menyebabkan kemuliaan perempuan tergadaikan dan masih banyak lagi, terjadi berulang-ulang dan semakin meningkat tiap tahunnya. Terbukti dari catatan tahunan (Catahu) 2021 yang dikeluarkan Komnas Perempuan mencatat ada 299.911 kasus yang terjadi pada perempuan.

Penderitaan pun kian menjadi ketika aturan manusia yang dilandasi hawa nafsu berkuasa, merasa agama tidak perlu untuk mengatur kehidupan, terutama agama Islam memang didaulat sebagai pihak yang paling dominan dalam mewarnai tata nilai yang berlaku di masyarakat. Misal, dimana perempuan tidak bisa bebas berekspresi, harus menutup auratnya yang dianggap melanggar hak asasi, adanya kewajiban meminta izin pada suami, keharusan adanya mahram saat safar lebih dari sehari, dilarangnya poliandri saat dibolehkannya poligami.

Alhasil bagai pahlawan di siang bolong, munculah para pejuang feminisme, gerakan yang bertujuan untuk menuntut hak perempuan karena adanya ketimpangan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. 

Gerakan ini gencar hadir di negeri-negeri muslim meyakini bahwa persoalan pelik yang menimpa perempuan adalah akibat dari dominasi peran laki-laki di sektor publik. Kebijakan yang timpang dan cenderung mendiskreditkan perempuan, menjadikan perjuangan perempuan untuk duduk sejajar di kursi pemerintahan menjadi keharusan. Dengan harapan kebijakan yang lahir akan berpihak pada perempuan.

Namun sayang, feminisme yang menganggap masuknya perempuan ke ranah publik adalah solusi, justru menuai banyak masalah. Jika dipandang dalam satu sisi kaum perempuan memang memiliki power, tapi di sisi lain, syndrome tuan putri tak bisa dielakan. Pengaplikasian fitrah keperempuanan tetap harus terpenuhi, sehingga ego keperempuanan sama sekali tak menemukan alasannya lagi untuk ditonjolkan, bagaimana pun perempuan butuh dilindungi.

Pada dasarnya, laki-laki dan perempuan sudah diciptakan dengan potensinya masing-masing, Kaum perempuan dengan sifat lemah lembut dan tabiatnya ingin dilindungi. Sementara kaum lelaki cenderung tegas dan memiliki karakter sebagai pelindung. Potensi keduanya berjalan alami, melekat sejak Allah menciptakan laki-laki dan perempuan. Jadi, potensi yang ada pada lelaki itu sama sekali tidak diciptakan untuk menindas kaum perempuan.

Tidak tepat jika dikatakan potensi fisik yang ada pada kaum lelaki menjadi sebab tunggal ketertindasan perempuan. Solusinya jelas bukan dengan menyerukan kaum perempuan terjun ke ranah publik semata. 
Demokrasi kapitalismelah yang menjadikan perempuan kehilangan hak-haknya, dengan feminisme yang merenggut fitrah perempuan yang telah Allah Swt. sertakan dalam penciptaannya.

Kesalahan besar jika Islam dituding sebagai sumber dari permasalahan. Islam justru sangat memuliakan perempuan dengan tugas pokoknya menjadi ibu sekaligus pengatur rumah tangga. Peran optimal yang sesuai dengan fitrahnya telah menjadikan perempuan sebagai pihak yang juga turut andil dalam terwujudnya peradaban yang gemilang.

Dari rahim mereka terlahir orang-orang hebat, yang keberadaannya bermanfaat untuk umat, tersebab peran perempuan yang sesuai dengan fitrahnya. 

Islam telah mengatur segalanya dengan terperinci, mulai dari jaminan terhadap kehormatan perempuan dengan kewajiban menutup auratnya. Perempuan harus menjaga pandangannya, tidak tabarruj/berhias berlebihan, dilarang berkhalwat berdua-duaan dengan yang bukan makhramnya. 

Belum lagi Jaminan kesejahteraan, bagaimana syariat tidak membebankan perempuan dalam menghidupi dirinya sendiri. perempuan tidak akan disibukkan dengan bekerja mencari nafkah karena ketika perempuan harus bekerja, semata-mata bukan untuk menafkahi dirinya, apalagi untuk keluarganya. Namun, kiprah perempuan di publik dipersembahkan untuk kemaslahatan umat.

Jaminan memperoleh pendidikan, tentu dalam Islam perempuan juga mempunyai hak yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan tinggi, apalagi perempuan yang sebagaimana menjadi seorang ibu adalah madrasatul ula bagi anak-anak mereka.

Ketika berpolitik pun, seluruh aktivitas politik perempuan ditujukan untuk kemaslahatan umat bukan untuk memperjuangkan kesetaraan seperti apa yang dilakukan para aktivis kesetaraan gender.

Dan saat perempuan berada di ruang publik, Islam memuliakan perempuan dengan menjamin keamanannya, salah satunya di bidang peradilan. Ada sanksi bagi siapa pun yang melecehkan atau mencemarkan nama baik seorang perempuan tanpa bukti.

Inilah bukti bagaimana Islam memuliakan perempuan, begitu lengkapnya penjagaan Islam terhadap kehormatan perempuan. Sungguh, penderitaan perempuan hari ini dan rusaknya generasi adalah buah dari diterapkannya sistem kufur demokrasi kapitalisme yang berasaskan sekularisme. 

Wallahu'alam bishshawwab.

Post a Comment

أحدث أقدم