Oleh : Adisa Fauziah
Anggota Akademi Menulis Kreatif 5


Rasulullah saw. bersabda: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya; bagaimana maksud amanat disia-siakan? Nabi menjawab; “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Bukhari-6015) 

Pupus sudah harapan para calon jamaah haji tahun 2021 ketika pemerintah resmi menetapkan pembatalan keberangkatannya tahun ini, melalui Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 660/2021. Tak heran jika keputusan ini memunculkan rasa sedih bagi jamaah dan menuai kontroversi di tengah masyarakat. Isu miring dan spekulasi atas keputusan pemerintah pun terus bergulir.  Mulai dari pengelolaan dana haji, minim lobi dan diplomasi,  tagihan utang yang belum terbayar ke Arab Saudi hingga Indonesia tidak diberi kuota haji, lalu terburu-buru memutuskan pembatalan keberangkatan dan terkini adalah isu bahwa pemerintah bersembunyi di balik pandemi.

Pengumuman resmi pembatalan keberangkatan haji 1442 H/2021 M yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama RI berikut diterbitkannya Keputusan Menteri Agama No. 660/2021 melalui konferensi pers secara virtual (Kamis, 3/6/2021). Maraknya pro-kontra dan isu miring yang disampaikan kepada pemerintah akibat pembatalan haji 2021 juga mengundang reaksi dari instansi dan pejabat terkait. 

Isu yang bergulir terkait dana haji 2021 (dipakai untuk pembangunan infrastruktur) ditepis Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendi. Ia mengatakan bahwa dana haji aman sesuai penjelasan yang diperolehnya dari Ketua Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Anggito Abimanyu. Muhadjir meyakinkan bahwa BPKH merupakan badan independen dan profesional yang bisa mempertanggungjawabkan pengelolaan dana haji secara objektif. (Detik.com, 5/6/2021)

Demikian pula isu terkait pembatalan haji akibat minimnya lobi dibantah oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Rumadi Ahmad yang mengatakan bahwa pihaknya masih menjalin hubungan baik dengan Arab Saudi dan pembatalan haji bukan karena kuat lemahnya lobi yang dilakukan Indonesia terhadap Arab Saudi.

Ada pula Isu yang berkembang di tengah masyarakat terkait pembatalan pemberangkatan haji karena uang ongkos naik haji (ONH) dipinjam sementara oleh pemerintah untuk infrastruktur dan diduga karena pemerintah Indonesia mempunyai utang kepada Arab Saudi berupa utang pemondokan, utang katering, transportasi, dan lainnya. Namun semua itu lagi-lagi ditampik oleh Kemenag dan DPR RI bahwa informasi tersebut bohong atau hoaks. (Bisnis.com, 3/6/2021)

Alasan dikeluarkannya keputusan pembatalan keberangkatan haji terdapat dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 660/2021. Diantaranya sebagai berikut: Pertama, melindungi kesehatan, keselamatan, dan keamanan jemaah haji oleh pandemi Covid-19 yang saat ini muncul varian baru di seluruh dunia dan dianggap membahayakan.  Kedua, pemerintah Arab Saudi belum membuka akses layanan penyelenggaraan ibadah haji 1442 H/2021 M dan pemerintah Indonesia membutuhkan ketersediaan waktu yang cukup untuk melakukan persiapan pelayanan bagi jamaah haji.

Mirisnya lagi, pembatalan pemberangkatan haji mendapat dukungan dari Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto dalam rapat kerja sama persidangan kelima tahun sidang 2020/2021 pada tanggal (2/6/2021). Pihak DPR menyatakan menghormati keputusan pemerintah yang akan diambil terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/2021 M. Seolah terkesan yang menjadi wakil rakyat justru menjadi juru bicara (jubir) pemerintah tanpa sedikit pun memikirkan nasib calon jamaah hajinya sendiri.

Seharusnya tugas DPR merupakan para wakil yang menjadi penyambung lidah masyarakat, menampung aspirasi masyarakat dan menindaklanjuti, untuk kemudian dipertanyakan kepada pemerintah. Apabila dipandang perlu diadakan rapat dengar pendapat (RDP), membentuk pansus (panitia khusus) untuk mengaudit dana haji. Artinya, DPR tidak boleh tinggal diam manakala rakyat sedang mengalami kesulitan dan kesedihan.

Seharusnya ada sedikit perhatian ketika umat Islam yang selalu mengharapkan berkesempatan bisa menjadi “tamu Allah” jauh-jauh hari mengumpulkan uang untuk ditabung agar bisa menunaikan rukun Islam yang kelima yakni ibadah haji. Namun, gagal berangkat dan tertunda hingga dua tahun berturut-turut dengan alasan yang tidak masuk akal. Mereka pun hanya mampu menahan rindu mendalam yang tersimpan dalam lubuk hati paling dalam terhadap Rabbnya.

Memfasilitasi Kegiatan Beragama adalah Bagian dari Peran Negara

Institusi pemerintahan yang bertanggung jawab atas kegiatan agama warganya sebagaimana amanat yang terkandung dalam UUD'45 pasal 29 ayat 2 dan UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah adalah negara.

Terdapat dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 menjelaskan bahwa ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang Islam yang mampu, baik secara fisik, spiritual, sosial maupun finansial dan sekali seumur hidup. Dan tugas negara-lah memberikan jaminan agar ibadah haji terlaksana secara aman dan nyaman sebagaimana maksud dari pasal 29 (2) UUD 1945.

Harusnya, aturan di atas menjadi pedoman penyelenggaraan haji agar bisa terlaksana tanpa harus muncul polemik di tengah masyarakat. Mau tidak mau negara dituntut mengoptimalkan upayanya terhadap aktivitas ibadah umat Islam. Apabila terjadi masalah hingga kewajiban ini tidak tertunaikan, masyarakat berhak meminta klarifikasi dan transparansi. Tak salah jika publik terdapat spekulasi yang muncul ketika pemerintah membatalkan keberangkatan haji secara tiba-tiba.

Kewajiban negara pula meluruskan duduk persoalannya secara benar bukan sekedar menampik atau membantah tentang keraguan riayah yang dilakukan penguasa terhadap  rakyat. Tak ada kebohongan atau mencoba menyembunyikan fakta. Karena, masyarakat saat ini hampir semuanya melek teknologi. Masyarakat sangat mudah mengakses informasi dan menelusuri jejak digital perpolitikan dalam maupun luar negeri.

Masyarakat pun tak salah jika amanah jabatan dewasa ini diragukan. Masalahnya, kapitalisme yang saat ini diadopsi hampir seluruh dunia berikut penguasanya, tidak memiliki apalagi melaksanakan tanggung jawab atas terpenuhinya hak umat secara maksimal. Penguasa dalam kapitalis hanya mengedepankan keuntungan materi, bukan kepercayaan umat. 

Pandangan Islam terhadap Urusan Haji

Apabila terjadi penundaan sementara itu merupakan sikap individu atau perorangan, maka secara syar'i hukumnya boleh dan tidak masalah. Meskipun haji hukumnya wajib, tetapi menurut pendapat yang rajih (kuat) kewajiban ini bukan kewajiban segera (wajib 'ala al faur), maksudnya kewajiban yang dapat ditunda (wajib 'ala at tarakhi). Kebolehan menunda haji adalah sunah. Sebab, haji diwajibkan tahun ke-6 Hijriah. Sedangkan Rasulullah saw. baru melaksanakan ibadah haji bersama para sahabat dan para istri beliau pada tahun ke-10 Hijriah. Jadi,  dalilnya menunda ibadah haji hukumnya boleh, khusus untuk individu (perorangan).

Berkaitan dengan itu, peran pemimpin dalam sistem pemerintahan Islam mampu menempatkan hak dan kewajiban individu, masyarakat, serta negara secara proposional sesuai arahan syariat. Ia bertanggung jawab atas apapun yang dibutuhkan rakyatnya. Rasulullah saw. pernah bersabda:

"Imam itu adalah pemimpin. Ia bertanggung jawab atas orang yang menjadi tanggungannya (rakyat)." (HR. al-Bukhari)

Dalam hal ini, penguasa akan menyiapkan segala keperluan kaum muslim yang hendak berhaji berupa sarana dan prasarana pendukung seperti transportasi darat, laut dan udara. Salah satu contoh yaitu pada masa Khalifah Sultan Abdul Hamid II, beliau membangun transportasi massal dari Istanbul hingga Madinah yang diperuntukkan mengangkut jamaah haji.

Hal serupa dilakukan pula masa Khilafah Abbasiyyah. Khalifah Harun ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak sampai ke Hijaz (Makkah-Madinah), menyediakan logistik dan dana zakat bagi jamaah yang kehabisan bekal.

Penguasa Islam sangat luar biasa memberikan perhatiannya dalam masalah ibadah haji. Seluruh warga negaranya yang muslim bisa melaksanakan ibadah haji tanpa prosedur rumit seperti ala kapitalisme saat ini. Dimana dalam aturan haji kapitalisme, diharuskan melakukan setor ongkos naik haji (ONH), menunggu kuota, membuat pasport, visa dan lain sebagainya karena kondisi wilayah negeri muslim sekarang ini tersekat nasionalisme. Setelah memenuhi persyaratan dibatalkan pula pemberangkatannya. Sungguh zalim!

Dengan demikian, penerapan Islam secara kafah di bawah naungan khilafah, adalah hal yang sangat penting dan urgen, karena semua permasalahan umat termasuk masalah pemberangkatan haji akan tersolusikan. Khilafah menjadikan landasan dalam penerapan hukum bermasyarakat dan bernegaranya adalah akidah Islam. Serta menjadi pijakan semua umat Islam di dalam bersikap dan berbuat, tidak terkecuali penguasa.  Akidah ini pula dapat mendorong lahirnya ketundukan, ketaatan, dan rasa takut hanya kepada Allah Swt. Jangan tunda lagi! Saatnya kembali kepada sistem Islam yakni khilafah ala minhajjin nubuwwah.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama