Oleh : Hasni Surahman
 Mahasiswi 


Tahun 1442H/2021M, menjadi tahun kedua pembatalan ibadah haji seperti tahun 2020.
Menag Yaqut mengatakan salah satu alasan pemerintah tak memberangkatkan ibadah haji karena pandemi Covid-19 yang belum terkendali di sejumlah negara, termasuk Saudi, sehingga dapat mengancam keselamatan jemaah. (CNN Indonesia 03/06/2021)

Alasan yang kedua  karena Kerajaan Arab Saudi hingga kini belum mengundang pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani nota kesepahaman tentang persiapan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2021. (KOMPAS.Com 03/06/2021)
 
Jika kita merujuk pada UUD 1945, kebebasan memeluk agama dan berkeyakinan merupakan hak dasar warga negara Indonesia yang di lindungi.  Hak memeluk agama dan berkeyakinan merupakan HAM yang bersifat hakiki dan universal, melekat pada diri setiap manusia sejak Ia dilahirkan. Artinya bahwa sejatinya negara wajib menjamin dan memfasilitasi hak warga negara dengan kenyakinan agama  yang dianut, termasuk keberangkatan jemaah haji ini.

Indonesia sebagai negara mayoritas muslim terbesar yang sudah diakui dunia, sangat disayangkan jika tak kunjung diberangkatkan untuk melakukan ibadah haji kesekian kalinya. Alasan Menag mengenai faktor pandemi Covid 19, pun tak logis. Pemerintah sendiri yang membuka ruang bagi para wisatawan luar keluar masuk negeri ini, yang  jelas dari merekalah membawa penularan klaster-klaster baru covid19. Seperti terselengaranya pemilu tahun kemarin, kerumunan di mal, pasar dan pusat perbelanjaan lainya tak dipersoalkan pihak pemerintah.

Alasan yang kedua yang dikatakan Menag belum adanya konfirmasi dari pihak arab saudi  mengenai kuota haji untuk Indonesia.
Stekmen Menag ini dibantah oleh pihak Kedubes Arab Saudi yang menyatakan Indonesia sendiri juga masuk daftar penerima kuota haji seperti negeri tetangga kita Malaysia.

Artinya bahwa memang alasan Menang dari poin pertama hingga kedua sangat bertolak belakang dengan fakta yang ada, situasi ini menggambarkan negara sangat tidak mampu memfasilitasi keyakinan agama yang dianut masyarakatnya.

Pemimpin saat ini haruslah banyak-banyak menengok sejarah sistem Pemerintahan Islam (Khilafah). Jangan alergi dulu, sebab istilah dengan pengaturan sistemnya telah menjadi kiblat dan contoh peradaban sepanjang massa.

Termasuk juga dengan bagaimana sistem Islam yang menjadikan pemimpin sebagai pelayan negara ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jamaah haji dan umrah), Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut dan udara masing-masing dengan konsekuensi biaya yang  berbeda. 

Di zaman Sultan ‘Abdul Hamid II,  Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus hingga Madinah untuk mengangkut jamaah haji. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah ‘Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.

Artinya bahwa dalam sistem Islam (Khilafah), segala upaya dilaksanakan semaksimal mungkin guna terlaksanya kewajiban haji bagi masyarakat. Khalifah mengerakan segala uslub dalam menyingkirkan hambatan-hambatan dalam proses keberangkatan jamaah haji. Masya Allah Tabarakallah, kita optimis semoga sistem yang sangat luar biasa ini kembali menaungi kita lagi .

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

أحدث أقدم