Oleh : Lia Septianti 
Ibu Rumah Tangga


"Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya." (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688)

Artis cantik berusia 31 tahun, NR bersama AB, suaminya yang konglomerat, menjadi sorotan berbagai media massa beberapa hari terakhir ini. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan narkoba pada 7 Juli 2021. Setelah penetapan mereka sebagai tersangka, melalui penasihat hukumnya, Wa Ode Zainab, permintaan rehabilitasi mereka ajukan. Wa Ode mengutip Pasal 54 Undang-Undang RI tentang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 dan mengungkapkan bahwa NR dan AB bisa dikategorikan sebagai korban. "Bahwa justru rehabilitasi wajib diberikan kepada korban. Ingat ya, ini korban, harus diberikan pengobatan medis. Sehingga mereka nanti bisa kembali ke masyarakat, sehingga nanti ada rehabilitasi sosial," kata Wa Ode. (merdeka.com, 12/7/2021)

Pertunjukan ketidakadilan hukum berulang dipertontonkan di negeri ini. Ketika orang lemah yang bersalah, keadilan harus tegas. Sebut saja Kakek Samirin yang divonis hukuman 2 bulan penjara karena memungut sisa getah karet seharga 17 ribu di Perkebunan PT Bridgestone SRE Dolok Maringir, Januari 2020 silam. (newsdetik.com, 16/1/2020) 

Nenek Minah yang divonis 1,5 tahun karena mencuri tiga buah kakao yang harganya tidak lebih dari 10 ribu rupiah, atau AAL, seorang pelajar SMK di Sulawesi Tengah yang terancam hukuman lima tahun penjara karena pencurian sepasang sandal butut.(kompas.com, 6/1/2012)

Sedang jika orang berkuasa atau berdana yang berada di kursi pesakitan, maka segala pertimbangan harus dijadikan pendukung peringanan hukuman bahkan sampai penghapusan hukuman. Pada kompas.com, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqqodas, pertengahan November 2011 mengakui bahwa hukuman untuk koruptor memang rendah. Pada sumber yang sama, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengakui kalau hukum tajam ke bawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas.

Dalam sistem kapitalisme, hukum dibuat demi kepentingan individu dan kelompok yang berkuasa. Mereka, kerabat mereka juga para pendukungnya jadi memiliki kekebalan hukum. Mereka bisa berbuat semaunya, seperti mangkir dari pengadilan dengan alasan sakit yang dibuat-buat atau mengajukan keringanan hukuman dengan suatu alasan, yang alasan itu tidak bisa dipakai oleh kalangan bawah. 

Dalam sistem Islam, sistem dari penguasa semesta yang Maha Adil, semua manusia memiliki kedudukan yang sama. Tidak memandang miskin atau kaya. Tidak mempertimbangkan rakyat atau penguasa. Sejarah telah membawa bukti yang banyak akan keadilan hukum dalam sistem Islam. 

Telah sampai pada kita, kisah sengketa Shahabat Ali bin Abi Thalib r.a. dengan seorang Nasrani perihal baju besi beliau, yang akhirnya hakim memutuskan bahwa baju besi tersebut adalah milik orang Nasrani tersebut, lobi Bani Makzum perihal wanita dari kaumnya yang mencuri, agar diringankan hukumannya yang dijawab Rasulullah saw dengan pernyataan, “Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya”, atau kisah putra Khalifah Umar bin Khattab yang dihukum cambuk setelah tertangkap basah meminum khamr dan membuat keributan. Amr bin Ash r.a, gubernur Mesir pada saat itu, melaksanakan hukuman cambuk di rumahnya sendiri untuk menghindari hukuman putra khalifah tersebut ditonton publik. Ketika kabar itu sampai ke telinga Khalifah Umar r.a, beliau marah besar dan memerintahkan agar putranya dipulangkan ke Madinah dan mengulang hukuman cambuk tersebut di Madinah.

Demikianlah, berharap keadilan dalam sistem kapitalisme bak pungguk merindukan bulan, sementara dalam Islam, jaminan keadilan hukum adalah suatu kepastian. Allah Swt berfirman,
 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْتَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orangtua dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) orang yang kaya ataupun miskin, maka Allah lah yang lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (fakta) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha teliti terhadap segala sesuatu yang kamu kerjakan." (Q.S An-Nisa: 135).

Penguasa sistem Islam yaitu khalifah menjadi manusia pertama dan terdepan dalam menjaga keadilan hukum. Jika khalifah atau jajarannya sendiri yang melakukan ketidakadilan, maka sistem Islam memiliki mekanisme pengaduan kezaliman melalui mahkamah mazalim. Meskipun pengangkatan mahkamah mazalim ini ada di tangan khalifah, khalifah tidak memiliiki hak dalam  pemberhentiannya ketika mahkamah sedang memproses pengaduan ketidakadilan khalifah.
Wallahu a'lam bishshawab. 

Post a Comment

أحدث أقدم