Oleh : Yanti
Ibu Rumah Tangga


Kementerian Keuangan buka suara perihal polemik wacana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sejumlah kebutuhan masyarakat, termasuk di antaranya sembako dan sekolah.

Rencana kebijakan ini bakal tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur   dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Rencana pengenaan PPN terhadap sembako tersebut akan diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU.
Dalam draf aturan tersebut, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Dengan penghapusan itu berarti barang itu akan dikenakan PPN. (CNN Indonesia)

Kebijakan pemerintah yang akan menarik pajak pada barang kebutuhan pokok dan sekolah tentu saja memunculkan kegaduhan di tengah masyarakat, bagaimana tidak selama pandemi masyarakat sudah  mengalami  banyak  sekali kesulitan  hidup, di PHK secara sepihak dari tempat kerjanya akibat tidak  normalnya kondisi  Perusahaan di masa pandemi, atau  yang pedagang barang  non sembako sepi pembeli karena masyarakat memang lebih mengutamakan pembelian pada barang pokok saja, itu pun tak  semua dapat terpenuhi secara maksimal. Biasanya hanya kebutuhan pada barang yang harganya sesuai kondisi keuangan keluarga, hingga jauh dari kehidupan 4 sehat 5 sempurna. 

Harusnya pemerintah memahami kondisi masyarakat hari ini, bukan menambah depresi masyarakat dengan rencana memberi PPN terhadap jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, hingga jasa asuransi. 

Teruntuk kebutuhan pokok dan pendidikan, tak berpajak saja banyak anak negeri yang cerdas tapi hanya bisa menelan ludah karena tak dapat bersekolah setingkat universitas,  jika diberlakukan kebijakan PPN atas sekolah tentu bisa dibayangkan  banyak anak negeri yang putus sekolah ditingkat SMA, kedepan akan memberikan peluang besar terhadap masalah generasi  muda semisal narkoba, tawuran, pergaulan bebas yang akan menambah rumit persoalan yang dialami orang tua bahkan umat secara keseluruhan. Bukankah setiap individu merupakan makhluk sosial yang jika rusak tentu berpengaruh dengan kehidupan yang lain? 

Sebelumnya dengan alasan pandemi pemerintah Indonesia banyak membuat kebijakan hutang luar negeri, namun hingga detik ini pemulihan ekonomi tak nampak semakin membaik meski pemerintah banyak mengucurkan dana BLT, harusnya ini menjadi pertanyaan besar bagi pemerintah bahwa ada yang  salah dengan kebijakan yang mereka ambil. Bukan hanya fokus menambah utang, karena tak semua  dana turun ke masyarakat dan banyak yang nyangkut di atas alias dikorupsi, kalau utang dan bunganya menumpuk rakyatlah yang menjadi korban dengan membebankan pajak di setiap  sektor dan itu pun sampai detik ini tidak cukup untuk membayar bunganya yang semakin membengkak. 

Sungguh saat ini kita berada dalam sistem kehidupan yang rumit, ibarat pepatah maju kena mundur pun kena. 

Memang dalam cuitan di akun @FaktaKeuangan, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari menjelaskan bahwa draft tersebut merupakan wacana ke depan,  tidak menjadi fokus kebijakan hari ini, artinya  tidak ada jaminan  kedepannya  kebijakan itu tidak diberlakukan. Tidak semestinya kebijakan zalim ini ada walaupun dengan alasan menambah pendapatan negara dalam mengatasi pandemi.

Sistem kapitalisme yang diterapkan oleh penguasa hari ini menjadikan pajak dan utang sebagai  tulang punggung ekonomi. Tak memberikan harapan kehidupan yang lebih baik malah justru lebih buruk. Dari hari ke hari umat dikagetkan dengan berbagai kebijakan pemerintah yang terus saja membebani rakyat, sebelumnya ada kenaikan BBM secara diam-diam, terus kenaikan tarif listrik, kebijakan impor beras di tengah hasil beras negeri ini yang surplus, yang terbaru sembako dan pendidikan mau dikenakan pajak juga. Sementara ada Tax Amnesti  untuk barang mewah, lantas dimana letak keadilan? Ini bukti nyata sistem kapitalisme merupakan sistem rusak yang dipaksa diberlakukan atas negeri ini karena Indonesia termasuk negara berkembang yang bergantung hidup pada Barat dengan kata lain jauh dari berdaulat (tidak mandiri). 

Sebagai seorang muslim  harusnya menjadikan Islam sebagai  peraturan hidup, sebab Islam datang dari Zat yang Maha menciptakan, yang  berhak mengatur manusia tidak hanya dalam hal beribadah namun juga bagaimana negara mengatur perekonomiannya, salah satunya perihal pemasukan pendapatan negara tanpa harus memberatkan rakyat. Dalam sistem Islam  tidak menempatkan pajak sebagai sumber pendapatan negara.

Adapun sumber pendapatan utama negara itu berasal dari kepemilikan umum (hutan, laut, tambang dll) yang dikelola dengan maksimal untuk kepentingan rakyat. 

Dalam APBN Khilafah (APBN-K), sumber pendapat tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: (1) Fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara.

Pajak dipungut ketika harta di baitul mall kosong tapi ada kebutuhan yang mendesak semisal  ada kebutuhan karena negara terkena wabah,untuk jihad, membeli peralatan perang dll, hingga butuh untuk segera diselesaikan tetapi tidak dibebankan pada seluruh masyarakat hanya diambil pada orang kaya saja,( yang  sudah dapat memenuhi kebutuhan pokoknya ) waktunya pun temporal tidak terus menerus, jika kebutuhan sudah terpenuhi maka penarikan pajak pun dihentikan.

Begitulah Islam  sudah membuat tatanan yang begitu bagus namun pada faktanya tidak diterapkan, jika  saja syariat islam diterapkan tentu rahmatan lil 'alamin akan nyata terwujud dan para kapitalis yang  rakus tidak akan leluasa merampok kekayaan negeri  Indonesia  tercinta ini.

Post a Comment

أحدث أقدم