Oleh : Aisyah Ummu Naya
Ibu Rumah Tangga


Perempuan saat ini seolah-olah dipaksakan untuk mempunyai kemampuan dan pekerjaan yang sama dengan laki-laki baik di bidang ekonomi, pendidikan,  maupun politik. Perempuan digadang-gadang sebagai kekuatan bangsa jika mampu ikut berpartisipasi dalam segala bidang sebagaimana laki-laki. Seperti yang dikutip dari laman Patra Indonesia.com Jakarta. Pada tanggal 14 Agustus 2021 Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga meresmikan dan membuka acara Kowani Fair Online 2021. Kegiatan ini bertujuan untuk membangkitkan para pelaku usaha khususnya perempuan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam mengembangkan dan memperluas pasar usahanya melalui akses digitalisasi guna mendukung pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19.

“Potensi perempuan dalam pembangunan nasional sudah tidak diragukan lagi. Selain jumlahnya menempati setengah dari populasi Indonesia, perempuan juga turut berpartisipasi dalam perekonomian bangsa, salah satunya melalui UMKM. Mengingat dari 64 juta total UMKM di Indonesia, lebih dari 60%nya dimiliki dan dikelola oleh perempuan. Perempuan juga menguasai 3 sektor usaha yang sangat diminati masyarakat yaitu fashion, kriya, dan kuliner,” ungkap Menteri Bintang dalam acara Kowani Fair Online 2021 yang mengangkat tema ‘Mendorong Digitalisasi UMKM untuk Pemulihan Ekonomi Nasional di Masa Pandemi.’

Menteri Bintang menambahkan perempuan merupakan garda terdepan dalam menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19. Berbagai data menunjukkan bahwa mendorong partisipasi aktif perempuan di bidang ekonomi akan mampu menaikkan pendapatan negara secara signifikan. 

Dengan adanya program ini dianggap sebagai solusi pencapaian produktivitas negara karena didalamnya ada keterlibatan perempuan, khususnya dalam bidang ekonomi. Maka dari itu perempuan didorong untuk terus aktif berpartisipasi  di sektor publik dan berdaya guna dengan bekerja baik di dalam rumah maupun di luar rumah,  sehingga perempuan dijadikan sebagai objek ekonomi.  Sedangkan perempuan yang tidak bekerja dianggap sebagai beban bagi keluarga, masyarakat, dan negara. Juga dianggap sebagai  akar dari kemiskinan. 

Begitulah nasib perempuan hidup di dalam sistem sekuler kapitalis neoliberal. Dengan dalih memberdayakan inilah yang justru beban perempuan menjadi bertambah berat. Perempuan mempunyai peran ganda,  yaitu sebagai pencetak generasi cemerlang sekaligus sebagai pekerja pencari nafkah. Hal ini merupakan eksploitasi terhadap kaum perempuan,  namun tidak disadari oleh kebanyakan perempuan itu sendiri. Karena pemberdayaan perempuan ini dibungkus dengan sangat cantik, manis dan eksklusif namun sejatinya menghancurkan bahkan mematikan. 

Jika melihat penyelesaian masalah kemiskinan dengan jargon memberdayakan perempuan untuk memulihkan ekonomi, apakah kemiskinan terselesaikan? Bukankah pengarusutamaan pemberdayaan perempuan justru menghasilkan masalah baru, berupa tidak berfungsinya peran keibuan, anak terlantar, hingga terjerumus dalam berbagai masalah. Terdapat klaim saat ini bahwa pemberdayaan perempuan adalah dengan bekerja. Perempuan bisa dinilai maju, terhormat, aman dan patut dihargai adalah bila dia dapat bekerja dan menghasilkan materi. Sebaliknya, bila perempuan tergantung kepada suami secara finansial maka tidak membuat dirinya berharga dan terhormat.  

Itulah klaim kapitalis terhadap perempuan yang diaruskan secara global. Maka dengan ini  mereka telah membebani diri  menjadi pencari nafkah sekaligus manajer rumah tangga.  Kapitalisme terus menyerang pondasi utama masyarakat dengan mengacaukan  peran keibuan dan mengorbankan tugas penting mereka sebagai pengasuh dan pendidik anak-anak.

Berbeda halnya dengan negara yang menjalankan sistem Islam. Dalam Islam, perempuan tidak dieksploitasi dan tidak dijadikan sebagai objek ekonomi.  Ada dua peran utama seorang perempuan yaitu  sebagai Ummu Warabbatul Bait  (Ibu dan pengurus rumah tangga) dan Ummu Ajyal yang siap mencetak generasi unggul, berkepribadian Islam, dan generasi peradaban yang cemerlang.  Di samping itu,  perempuan juga wajib berperan di masyarakat dengan melakukan aktivitas amar ma'ruf nahi munkar.  

Perempuan di dalam Islam tidak dibebankan mencari nafkah, karena kewajiban mencari nafkah dibebankan pada suami.  Jika suaminya tidak mampu maka mencari nafkah dibebankan kepada ahli waris,  jika ahli waris tidak ada atau belum mampu maka nafkahnya dibebankan kepada negara. Islam sangat menghormati peran dan tugas seorang perempuan.  Karena di tangan perempuanlah akan tercipta generasi peradaban yang cemerlang.  

Dalam Islam perempuan boleh bekerja, namun pekerjaannya ini diatur jangan sampai melalaikan tugas utamanya yaitu Ummu Warabbatul Bait dan Ummu Ajyal, serta dalam pekerjaannya itu tidak boleh  menampakkan aurat. Perempuan boleh bekerja dalam bidang pendidikan, kesehatan, administrasi, bahkan dalam bidang politik, yakni politik Islam. 
Agama Islam yang diturunkan Allah ini membawa keadilan bagi manusia,  baik laki-laki maupun perempuan sesuai tugas dan peran masing-masing.  Sebagaimana Firman Allah Q.S An-Nahl ayat 97 : 

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."

Begitulah keadilan dan kesejahteraan perempuan dalam Islam di bawah naungan sistem yang menerapkan Islam. Masihkah kita ragu dengan agama rahmatan lil 'alamin ini? 
Wallahu'alam bishshawwab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama