Oleh : Rosmita


Beberapa waktu lalu viral di media sosial, penghapusan mural yang berisi kritik sosial oleh aparat. Mural pertama adalah mural wajah yang menyerupai Presiden Joko Widodo dengan mata ditutupi dengan tulisan 404: Not Found di Tangerang. Mural kedua adalah mural bertuliskan 'Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit' di Pasuruan. Tak cukup hanya dengan menghapus, aparat Kepolisian pun tengah memburu pelukis mural tersebut. 

Hal ini menuai kritik dari berbagai pihak, salah satunya datang dari Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun. Dia menilai bahwa tindakan aparat menghapus mural kritik sosial itu dalam perspektif demokrasi adalah bentuk baru represi dan pembungkaman yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. 

Apa itu mural? 
Ubed menjelaskan, mural merupakan ekspresi jiwa, perasaan, aspirasi, atau kritik simbolis melalui melukis di atas dinding, tembok atau permukaan luas, dan biasanya bersifat permanen.  (CNN.indonesia, 14/8/2021) 

Indonesia adalah negara penganut sistem demokrasi liberal dengan 4 asasnya, yaitu bebas  berpendapat, bebas bertingkah laku, bebas beragama, dan bebas dalam hal kepemilikan. Hal ini tertulis dalam Pasal 28 UUD 1945 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia (HAM). 

Sebagai negara penganut demokrasi, seharusnya rakyat Indonesia bebas mengeluarkan pendapat dan menyampaikan kritik  terhadap pemerintah karena itu bagian dari hak asasi manusia. Namun, faktanya tidak semua orang boleh bersuara mengkritisi kebijakan pemerintah. 

Demokrasi hanya memberi ruang kebebasan berpendapat dan mengkritik bila tidak mengganggu kelangsungan kursi penguasa dan tidak mengancam eksistensi ideologi. Namun, bila mengganggu kenyamanan kursi penguasa apalagi sampai mengguncang eksistensi ideologi, maka pengkritik akan dikriminalisasi. 

Inilah standar ganda yang diterapkan oleh pemerintah penyebab hipokrisi demokrasi. Di satu sisi negeri ini adalah negeri penganut demokrasi, tetapi di sisi lain negeri ini adalah negeri yang anti kritik. 

Anggota Komisi lll DPR RI, Taufik Basari, mengungkapkan bahwa budaya anti kritik di tubuh pemerintahan saat ini menjadi sesuatu yang kerap terjadi. Ia menilai bahwa beberapa aturan represif terhadap pihak yang kritis terhadap pemerintah masih berlaku dan bahkan ditafsirkan dengan cara tertentu oleh pihak penguasa sehingga membungkam kritisisme yang terjadi di ranah publik. 

"Seolah-olah kritik itu sesuatu yang harus dilawan dan dihabisi padahal kita hidup dalam negara demokrasi." (Gatra.com, 9/7/2021) 

Indonesia menjadi negara urutan ke 124 dari 180 negara yang paling ketat membungkam para pengkritik pemerintahannya. Apalagi dengan adanya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan virtual police semakin memberangus nalar kritis masyarakat.


Kritik Dalam Sistem Islam

Negara yang menerapkan sistem Islam bukanlah negara yang anti kritik, sehingga tidak akan mengeluarkan kebijakan represif untuk membungkam suara rakyat. Bahkan aktivitas muhasabah kepada penguasa adalah bagian dari syariat Islam. 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad, Rasulullah saw. bersabda :
"Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw. seraya bertanya, "Jihad apa yang paling utama?" Rasulullah saw. menjawab, "Kalimat hak (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang zalim." 

Dengan demikian, pemimpin di dalam Islam bukanlah pemimpin yang anti kritik. Ketika ia berbuat salah, ia akan lapang dada menerima kritik yang disampaikan kepadanya sebagai koreksi untuk memperbaiki diri. Sebagaimana Khalifah Umar bin Khattab yang lapang dada menerima kritik dari seorang wanita di depan umum saat ia menetapkan batasan mahar bagi wanita. Bahkan beliau mengakui kesalahannya dengan berkata, "Wanita ini benar, Umar salah."

Pemimpin seperti inilah yang dirindukan oleh umat saat ini, pemimpin yang bertakwa, amanah, dan rendah hati. Namun, sejatinya pemimpin yang mulia hanya akan lahir dari sistem Islam. Sistem yang diturunkan oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a'lam bishshawwab.

Post a Comment

أحدث أقدم