Oleh: Darni Salamah 
Aktivis Muslimah Sukabumi


Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) kembali berulah. Kini mereka yang mengklaim sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) melakukan kekerasan terhadap nakes di Papua. Hal tersebut tentu merupakan tindakan terorisme dan separatis dan kriminal. Hingga detik ini pemerintah masih belum sanggup melakukan tindakan hukum terhadap KKB yang sudah terbentuk sejak tahun 1963 itu sudah jelas mengancam keamanan negeri. Sunggguh berbeda dengan pelaku tindakan radikalisme yang sigap mendapat hukuman yang tegas. Padahal, KKB berkembang secara pesat dan sering kali melakukan tindakan separatis yang merugikan negara.

Aksi brutal yang dilakukan KKB, melakukan aksi penembakan pada sejumlah warga sipil tidak hanya sekali dua kali, berdasarkan data Polda Papua, sepanjang 2020 lalu, KKB telah melakukan kejahatan sebanyak 46 kasus (kompas.tv, 15/9/2020). 

Pada 2015, KKB menyerang anggota Brimob. Satu orang tewas dalam insiden itu. Mereka juga merampas senjata laras panjang milik Brimob. Pada 2017, mereka kembali meneror warga di kawasan Kampung Banti, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua. Mereka melakukan perampasan hingga penembakan. Pada 2020, KKB semakin beringas. Mereka secara intens melakukan penembakan terhadap anggota TNI dan warga sipil. Mereka juga melakukan pembakaran kios milik warga, sejumlah alat berat, dan kantor desa setempat. Berbagai ancaman dan penganiayaan sering kali dialami warga akibat aksi teror KKB.

Dikutip melalui beritasatu.com (19/09/21) baru-baru ini terjadi, KKB melakukan tindak kekerasan kepada 9 nakes di Papua. Tindakan keji yang dilakukan oleh KKB tersebut sungguh tak manusiawi dengan membakar puskesmas di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua dan menggiring para nakes wanita ke tepi jurang, dilecehkan hingga ditendang ke dalam jurang yang curam. Dalam hal ini, KKB tidak hanya melakukan pelanggaran serius tetapi juga menorehkan luka dan trauma kepada para nakes yang menjadi korban. Hal tersebut juga tidak bisa ditolerir, mengingat puluhan tahun KKB eksis dalam pembantaian dan kekerasan di Papua.

Lantas mengapa pemerintah alot melakukan tindakan kepada KKB yang sudah jelas melakukan pembantaian dan mengganggu jalannya pemerintahan di Papua?
Hal ini berbanding terbalik dengan kasus terorisme yang berbau agama, pemerintah lebih sigap melakukan tindakan secara cepat. Jika memang berniat menumpas KKB secara tegas dan terukur, pemerintah harus lebih serius. Sebab, tindakan KKB selama ini bukan hanya menembak warga atau aparat tetapi  masyarakat pun  menjadi korban. 

Bila menengok ke belakang, menurut buku  Papua Road Map yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2009, akar masalah Papua meliputi: peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia, tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua, proses integrasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang belum tuntas. Persoalan Papua memang demikian kompleks. Terjadi ironi kesejahteraan yang parah. Bumi Papua diserahkan pada asing dan dikeruk habis-habisan, sementara rakyat Papua tetap berada dalam kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), 15/2/2021, Papua merupakan provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia. Tingkat kemiskinan di Papua mencapai 26,8%. 

Pengamat Intelijen, Stanislaus Riyanto, menyatakan bahwa situasi Papua diperkeruh dengan propaganda pihak asing, yaitu state actor dan non-state actor (LSM dan NGO). Keterlibatan asing di antaranya adalah berupa dukungan untuk mendorong isu Papua di forum PBB, bantuan suaka politik, dan dana serta logistik. Banyak advokasi kelompok pro kemerdekaan Papua di berbagai negara yang turut menyuarakan Gerakan Papua Merdeka dengan mengangkat isu-isu pelanggaran HAM ke dunia internasional. (gatra.com, 24/9/2019).

Negara-negara asing seperti Amerika, Inggris, Australia, dan Belanda memberikan dukungan pada upaya internasionalisasi isu Papua.  OPM telah membuka kantor perwakilan di Oxford Inggris, pada tanggal 28 April 2013. Pada pembukaan tersebut diwakili banyak tokoh, diantaranya pembukaan ini dihadiri oleh Walikota Oxford Mohammaed Niaz Abbasi, anggota Parlemen Inggris, Andrew Smith, dan mantan Wali Kota Oxford, Elise Benjamin.

Hal tersebut rupanya menjadi satu dari sekian banyak factor yag menyebabkan terbentuknya KKB. Sayangnya sampai detik ini pemerintah belum mampu memecahkan masalah dan memberi jaminan kemanan bagi rakyat Papua. Tentu terorisme, kekerasan dan pembantaian lahir dari sistem kapitalis yang tidak memberikan keamanan dan keadilan penuh. 

Hal tersebut berbanding terbalik dengan sistem Islam yang memberikan jaminan secara utuh terhadap kemanan, kedamaian dan ketentraman dalam bermasyarakat. 

Islam adalah agama yang universal menjadi solusi. Dalam sistem Islam,  menetapkan sanksi tegas bagi siapa saja yang melakukan tindakan makar terhadap negara. Al-Muhâmî al-‘Alim Syaikh ‘Abdurrahman al-Mâliki, dalam kitabnya Nidzâm al-‘Uqûbât, dijelaskan sanksi bagi mereka menjelaskan sanksi bagi mereka para pembuat makar. Sanksi had ahl al-baghy adalah diperangi, sebagai pelajaran (qitâl ta’dîb) bagi mereka, bukan diperangi untuk dihabisi (qitâl harb). (al-Melek Nidzâm al-‘Uqûbât, hal. 79). Jika mereka adalah nonmuslim (ahli dzimmah), maka mereka akan diperangi untuk dihabisi (qitâl harb). 

Hukum memerangi mereka ini pun statusnya sama dengan jihad fi sabilillah, karena kelompok yang diperangi adalah orang-orang kafir, meski asalnya adalah ahli dzimmah. Karena tindakan mereka, dengan sendirinya, mereka telah kehilangan dzimmahnya dari kaum muslim (negara khilafah).  Islam juga menetapkan berbagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya tindakan separatis dan terorisme.
Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

أحدث أقدم