Oleh: Kusmiyati


Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur kembali menjadi perbincangan. Melalui surat presiden RUU IKN, pembangunan megaproyek tersebut tampaknya terus berlanjut. RUU IKN terdiri atas 34 pasal dan 9 bab yang berisi visi ibu kota negara, pengorganisasian, penggunaan lahan, hingga pembiayaan.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, persiapan pemindahan ibu kota tetap berlanjut meski terhambat pandemi Covid-19.Tak menyurutkan langkah pemerintah membangun proyek infrastruktur yang menelan biaya Rp466,98 triliun.Banyak pihak meminta agar pemerintah menunda rencana pemindahan IKN. Ahli Tata Kota Nirwono Yoga menyarankan kepada presiden untuk menunda rencana pembangunan IKN baru. 

Menurutnya, jika pemerintah tetap ngotot untuk melanjutkan rencana tersebut di tengah situasi pandemi Covid-19 yang belum selesai, jelas akan melukai hati rakyat. (VOA Indonesia, 25/8/2021) 
Mengapa pemerintah bersikukuh melanjutkan proyek IKN, sementara kondisi ekonomi dan keuangan negara masih tertatih-tatih terhantam pandemi? Padahal, kita ketahui bersama, upaya pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi banyak memakan biaya yang sangat besar. Terlebih, negeri ini terlilit utang yang terus meningkat.  Jika tak mampu, janganlah memaksakan diri. Kehendak dan ambisi yang dipaksakan akan rentan memunculkan berbagai masalah. 

Pemerintah menyiapkan empat skema pembiayaan untuk membangun IKN yang berasal dari empat sumber yaitu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan swasta murni. 

Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas, Rudy S. Prawiradinata pada 2 September lalu mengatakan pembangunan IKN tidak akan semata-mata mengandalkan APBN. Pembangunan IKN membuka peluang investasi besar bagi siapa pun. Berkaitan dengan investasi, pastinya para kapitalis yang paling bergembira dengan hal ini. 
Jika tidak dengan APBN, skema pembiayaan dengan menggandeng swasta menjadi pembenaran. Cengkeraman swasta pada negeri ini makin besar. Beban utang juga bisa bertambah. Inilah akibatnya ketika pembiayaan negara salah fokus. 

Pemerintah tidak bisa menilai masalah mana yang prioritas. Mestinya, pemerintah berfokus pada pemulihan kesehatan dan ekonomi rakyat. Jangan sampai proyek IKN menjadi bancakan baru bagi kapitalis, pada saat yang sama malah menomorsekiankan pemenuhan kebutuhan rakyatnya.
Indonesia begitu ngos-ngosan dalam membiayai negara. 

Padahal, negeri ini memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah. Kaya kok banyak utangnya? Semua ini terjadi karena penerapan kapitalisme neoliberal. Sistem ekonomi kapitalisme membenarkan terjadinya penguasaan harta kekayaan rakyat menjadi milik individu, swasta, atau asing.

Sistem politik demokrasi juga menjadi biang kerok bagi negeri ini. Atas nama kebebasan kepemilikan, penguasa memberi jalan bagi swasta atau asing untuk memperjual belikan kekayaan negara. Penguasa juga kerap melegalkan UU demi melancarkan kepentingan korporasi/asing. Jika UU yang sudah ada tak sesuai dengan kepentingan mereka, bisa diubah dengan usulan RUU atau revisi UU yang ada agar sejalan dengan kepentingan mereka. 

Untuk apa membangun ibu kota baru jika pada akhirnya negara tidak bisa mandiri dalam hal pembiayaan. Buat apa juga ada ibu kota baru jika bukan untuk kemaslahatan rakyat.
Ketergantungan pada swasta tidak akan menjadikan negeri ini mandiri dan berdaulat. 

Menggantungkan pengelolaan negara kepada swasta hanya akan membuat negeri ini mudah tereksploitasi, baik secara politik maupun ekonomi. Jika demikian, kondisi ini tidak ada bedanya dengan penjajahan. Ini sangat berbahaya.Terjarah SDA, terbajak potensinya, dan terkuasai aset dan pengelolaannya.

Dalam menyikapi proyek-proyek seperti IKN.  Harusnya negara  memberlakukan kebijakan yang  urgen. Semua pembangunan infrastruktur berlangsung untuk memenuhi kebutuhan serta mempermudah rakyat dalam menikmatinya. Negara akan berfokus pada pengurusan kemaslahatan yang lebih penting, seperti penanganan wabah, pemulihan sistem kesehatan, pemberian bantuan ekonomi kepada rakyat, serta pendistribusian kebutuhan pokok secara adil dan merata.

Infrastruktur adalah fasilitas umum yang dibutuhkan oleh semua orang,  dalam sistem Islam termasuk dalam kategori marâfiq al-jamâ’ah, seperti air bersih, listrik, dan sejenisnya. Begitu juga termasuk fasilitas umum yang tidak mungkin individu dapat memonopolinya, seperti jalan raya, laut, udara, dan sejenisnya. 

Semuanya ini merupakan bagian dari infrastruktur sebagai kebutuhan seluruh manusia dan negara wajib menyediakannya. Karena ini merupakan fasilitas umum, maka penggunaannya pun gratis, tanpa pungutan biaya.

Dalam pembiayaan infrastruktur, negara dapat memproteksi beberapa harta milik umum seperti minyak, gas, dan tambang. Pengeluarannya bisa khusus untuk membiayai kebutuhan infrastruktur. Rasulullah saw. pernah memproteksi tanah an-naqi’ menjadi tempat menggembala kuda. Negara juga dapat menarik dharibah (pajak) untuk pembiayaan infrastruktur. Strategi ini hanya boleh terjadi ketika kas Baitulmal benar-benar kosong. Itu pun hanya untuk membiayai sarana dan prasarana vital, dan hanya mengambil dari kaum muslim, laki-laki, dan mampu, selainnya tidak. 

Mengenai pinjaman atau utang luar negeri, syariat tidak membenarkan hal itu. Selain mengandung riba yang jelas haram, utang luar negeri merupakan ancaman bagi negeri Islam. 

Penguasa dalam sistem kapitalisme tidak akan pernah bisa bekerja untuk kepentingan rakyat. Mereka terpilih hanya untuk memuluskan jalan bagi kepentingan oligarki kekuasaan. Kalaulah ada kebijakan yang berpihak kepada rakyat, sifatnya setengah hati, tidak totalitas melayani rakyat. Dalam sistem politik demokrasi, negara serasa milik segelintir orang. Gurita oligarki akan selalu terbentuk selama ada kepentingan dan keinginan meraih kekuasaan.

Padahal, dalam Islam, rakyatlah pemilik sejati kekuasaan. Adapun penguasa adalah pemegang amanat untuk menjalankan urusan-urusan rakyat berdasarkan syariat Islam. Kepemimpinan pada hakikatnya adalah melayani. 

Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpinnya. Karena itu, seorang pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan visi misi pelayanan untuk korporasi, swasta, atau asing. 
Wallahu a'lam bishshawab. 

Post a Comment

أحدث أقدم