Oleh Rita Rosita
IRT 

Selama pandemi rakyat sudah sangat susah, banyak yang kesulitan secara ekonomi, untuk berbagai keperluan rakyat berkali-kali harus melakukan tes kesehatan yang tidak gratis, rakyat harus membayar bahkan dengan harga yang sangat mahal.

Di awal pandemi layanan tes PCR mencapai jutaan rupiah, kini setelah banyak diprotes harga nya turun sampai kisaran ratusan ribu rupiah, itupun masih dianggap mahal. Terakhir tanggal 27 Oktober lalu pemerintah menurunkan harga menjadi Rp 275ribu - Rp 300ribu, ketika lonjakan angka positif covid-19 pada Juli 2021. Harga pemeriksaan PCR saat itu berada pada harga Rp900ribu per tes yang mengakibatkan tidak seluruh masyarakat dapat mengakses pemeriksaan tersebut. 

Perubahan tarif ini tidak lepas dari kritik keras masyarakat dan para pengamat kebijakan pemerintah yang mewajibkan tes itu sebagai syarat perjalanan jarak jauh yang menggunakan angkutan pesawat, dari kritikan terkemuka lantaran selain harga tes PCR masih di atas rata-rata kemampuan warga dan kebijakan terasa tidak adil karena syarat ini hanya diberlakukan untuk penumpang pesawat, tidak untuk roda transportasi lainnya, seperti bus dan kereta. Padahal waktu tempuh jalur udara jauh lebih cepat daripada jalur laut dan darat. Pemerintah tidak menerapkan harga tes PCR dengan undang-undang kedaruratan kesehatan, pemerintah justru menurunkan harga secara perlahan dengan condong untuk kepentingan relaksasi bisnis.

Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan penurunan harga tes PCR oleh pemerintah tidak mencerminkan atas transparansi dan akuntabilitas.

Senada dengan penelitian ICW, pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai kebijakan yang berubah-ubah menimbulkan tanda tanya bahwa kebijakan yang ada bukanlah untuk kepentingan publik, tetapi bisnis, cuman, untung ataupun popularitas sebagian pihak yang berkuasa. Berdasarkan hasil penelusuran dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir tercatat setidaknya lebih dari Rp 23 triliun uag berputar dalam bisnis tersebut.

Dalam sistem kapitalisme bukan hal yang aneh lagi jika setiap kebijakan hari ini pasti berorientasi pada keuntungan bagi para pemilik modal besar. Namun hegemoni Para kapitalis makin kuat saat mereka berperan sebagai penguasa sekaligus pengusaha di negeri ini. 

Jika pemerintah berorientasi kepada publik, harusnya mereka menurunkan harga ketika gelombang kedua melanda sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatan nya. Terlebih lagi tes PCR pada masa pandemi ini terkategori hajat hidup orang banyak. Jika demikian seharusnya negara mengaturnya (termasuk tarif) bahkan menyediakan gratis untuk rakyat yang membutuhkannya. 

Dalam UUD1945 pasal 33 ayat 2 termaktub bahwa cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai negara hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Nyatanya pemerintah sendiri yang menyalahi UUD'45 tersebut. Negara baru mulai mengatur tarif PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak berlandaskan asas kesehatan masyarakat, melainkan pemulihan ekonomi.

Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kewajiban negara ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw: Pemimpin negara adalah pengurus rakyat yang dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus. (HR. Al Bukhari)

Salah satu tanggungjawab pemimpin negara adalah menyediakan layanan kesehatannya dan pengobatan bagi rakyat secara gratis, sepanjang sejarahnya Islam juga membangun banyak rumah sakit yang berkualitas untuk melayani rakyat secara gratis. 

Jaminan kesehatan dalam Islam memiliki empat sifat, pertama,  Universal yaitu tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua, bebas biaya alias gratis, rakyat tidak boleh dikenakan pungutan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Ketiga, seluruh rakyat bisa mengakses layanan kesehatan dengan mudah. Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon seperti JKN atau BPJS. 

Negara menanggung semua biaya pengobatan warganya, karena itu haram membisniskan layanan kesehatan apalagi dilakukan oleh para pejabat negara dengan memanfaatkan jabatannya. Islam melarang keras pemimpin atau pejabat negara menipu rakyat untuk kepentingan bisnis mereka. Seharusnya pejabat negara menjadi pelayan rakyat, bukan malah mengeksploitasi mereka demi kepentingan pribadi. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama