Oleh Ummu Syakira
Muslimah Peduli Negeri


Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membuka The 58th International Association Of Women Police (IAWP) Training Conference di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT), Minggu (7/11/2021). Indonesia menjadi negara pertama di Asia yang menjadi tuan rumah kegiatan tersebut sejak 1958.

Dalam sambutannya, Sigit membahas soal kesetaraan gender yang dimana, terdapat stereotip bahwa institusi Kepolisian hanya dianggap sebagai pekerjaan bagi kaum pria. Namun, Sigit menekankan saat ini, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) telah memberikan ruang kepada para Polisi Wanita (Polwan) untuk mendapatkan hak kesetaraan gender.

Menyadari peran strategis wanita di Kepolisian, Sigit menegaskan bahwa saat ini, Polri telah berkomitmen untuk menciptakan institusi Kepolisian yang inklusif bagi semua golongan termasuk perempuan. Dalam hal ini, perubahan kultur berbasis gender di internal kepolisian akan memiliki dampak terhadap sistem penegakan hukum pada umumnya. (iNews.id, 7/11/2021)

Konferensi Asosiasi Polwan Internasional akan berlangsung hingga 11 November 2021. Program penting dari konferensi ini adalah Training Sessions dimana terdapat 6 keynote meliputi Mendagri, Under-Secretary-General for Peace Operations dan 4 diantaranya adalah inspiring female leader dari tanah air seperti Menkeu, Menlu, Wamenparekraf, dan Wakapolda Kalimantan Tengah.

Terdapat 65 pembicara yang akan berbagi keahlian, pengetahuan, pengalaman, dan best practice. Tema utama yang di angkat dalam konferensi adalah "Women at the center stage of policing". Ada lima subtema lagi yang menjadi turunan yakni: Women, Peace, and Security; Women and Leadership; Police Women and Their; Challenges; The Role of Women in Policing; Science, Technology, and Policing; dan, Current Issues on Transnational Crimes. (cnnindonesia.com, 8/11/2021)

Konferensi ini mengekspos “keberhasilan” Indonesia dalam mendudukkan Polwan dalam pencapaian target kesetaraan gender. Salah satu ukurannya adalah posisi tinggi dalam hierarki Polri dan posisi berisiko tinggi.

Sungguh hal ini merupakan bencana bagi polwan, karena bagaimanapun polwan adalah wanita yang memiliki kekhasan peran dalam posisinya bersama keluarga. Tentunya ia adalah seorang istri di hadapan suami, ibu bagi anak-anaknya, dan juga anak perempuan yang butuh perlindungan, karena peran sentralnya ini tetap tak tergantikan. Maka sungguh hal yang tidak wajar, jika justru karena kedudukan jabatan duniawi tertingginya dalam polwan akan membawa high risk bagi dirinya, tentu hati nuraninya sebagai wanita akan berontak.

Seperti kisah seorang polwan berpangkat bripda dan andalan tim reserse narkoba, yang mengaku tak jarang sebagai perempuan juga kerap merasa takut jika aksi penyamarannya ketahuan dan keselamatannya terancam. Terlebih lawannya bukan orang biasa yang bisa saja membunuhnya dengan mudah. (tribunnews.com, 11/2/2020).

Ini menegaskan bahwa pembangunan berbasis kesetaraan gender menempatkan perempuan pada risiko tinggi. Padahal semestinya, wanita terlindungi dan tidak berada pada posisi pekerjaan yang membahayakan nyawa. Apalagi terkait pertahanan dan keamanan negara yang seharusnya merupakan tugas para pria dalam membela agama dan negara. Anehnya, posisi yang membahayakan itu justru diklaim sebagai posisi membanggakan, bentuk emansipasi, terhormat, dan memuliakan wanita.

Kemuliaan Perempuan dalam Islam

Bandingkan dengan  kedudukan perempuan dalam Islam yang wajib  dilindungi, dijauhkan dari kerawanan dan dijaga kehormatannya. Ini berlaku baik dalam hubungan perempuan itu dengan dirinya sendiri, perempuan dengan keluarga, perempuan dengan masyarakat umum serta perempuan dalam lingkungan negara. Dalam hubungan perempuan dengan dirinya sendiri, Islam menjaganya dengan syariat menutup aurat secara sempurna dengan mengenakan jilbab (QS Al Ahzab: 59) dan kerudung (QS An Nuur: 31). Dengan perintah Allah Swt. dalam Al-Qur’an ini perempuan terjaga kecantikan dan kehormatannya, serta terlindungi dari berbagai fitnah.

Dalam hubungannya dengan keluarga, perempuan menempati posisi yang mulia sebagai al ‘umm wa rabbatul bait yaitu sebagai ibu dan manajer rumah tangga. Pahala perempuan mengalir di dalam rumah tangganya mulai dia bangun sampai tidur kembali saat mengatur seluruh kebutuhan keluarganya.

Dalam hubungannya dengan masyarakat umum, Islam menjaganya dengan mengatur pergaulannya, menjauhi khalwat (berdua-duaan dengan non mahram) dan ikhtilat (bercampur baur dengan non mahram) kecuali untuk keperluan mendesak seperti keperluan ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

Selain itu, pada masa pemerintahan Islam, ada seorang muslimah yang pakaiannya disingkap dengan sengaja oleh seorang Yahudi. Muslimah ini langsung berteriak dan seorang laki-laki muslim yang berada di dekatnya menolongnya dan membunuh Yahudi tersebut. Laki-laki muslim ini akhirnya dibunuh oleh orang-orang Yahudi Bani Qainuqa. Berita ini sampai kepada Rasulullah saw., dan segera beliau bersama pasukan kaum muslim berangkat menuju tempat Bani Qainuqa dan mengepung mereka. Akhirnya Bani Qainuqa menyerah setelah dikepung selama 15 hari. Allah Swt. memasukkan rasa gentar ke dalam hati orang-orang Yahudi ini. Hampir saja semua kaum laki-laki Bani Qainuqa ini dihukum mati oleh Rasulullaah Saw. Namun keputusan itu berubah ketika Abdullah bin Ubay memohon kepada Rasulullah saw. untuk memaafkan mereka. Akhirnya Yahudi Bani Qainuqa diusir dari Madinah.

Pada saat yang sama perempuan tidak dipandang lemah dan tidak berdaya karena penempatan posisi tersebut. Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin menempatkan semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan berada dalam posisi yang sama mulianya dan tidak ada yang direndahkan. Sebagaimana dalam firman Allah Swt.:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadi kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al Hujurat: 13)

Jadi yang menyebabkan laki-laki dan perempuan mulia di hadapan Allah bukanlah kedudukan dan jabatannya, melainkan kadar ketakwaannya.

Oleh karena itu, Islam memandang bahwa menjadi polwan adalah posisi ekstra bagi wanita yang harus sejalan dengan fitrahnya. Sebagai seorang muslimah, polwan harus menjadi pelopor dalam berperan sesuai syariat Islam dan menolak pembangunan berbasis kesetaraan gender. Berkomitmen serta berkontribusi nyata dalam perubahan dan kebangkitan hakiki dengan Islam. Wallahu a'lam.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama