Oleh. Leihana 
Ibu Pemerhati Umat


Pemerintah adalah panutan rakyatnya yang harus memberi contoh sikap dan keputusan yang pantas diteladani rakyatnya. Namun, penguasa saat ini bersikap lunak  dengan beralasan toleransi beragama yakni dengan memberikan contoh terdepan dalam bertoleransi  kebablasan. Tidak peduli agama yang dianut pegawai pemerintahan departemen agama. Kemenag mengimbau agar setiap satuan kerja di departemen agama ini memasang spanduk ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru. Staf Khusus Menteri Agama (Stafsus Menag) Bidang Toleransi, Terorisme, Radikalisme, dan Pesantren Nuruzzaman, mengakui bahwa Kemenag Sulsel tidak mencabut edaran spanduk ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru setelah adanya tuntutan terhadap Kemenag Sulsel untuk mencabut edaran spanduk tersebut. Nuruzzaman beralasan bahwa Kemenag adalah lembaga vertikal yang tidak mewakili satu agama saja. (Republika.co.id, 18/12/2021).

Padahal Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS Bukhori Yusuf menilai polemik tentang boleh tidaknya umat Islam mengucapkan Selamat Hari Natal pada umat Kristiani, Bukhori merespons bahwa perihal itu tidak boleh dipaksakan, untuk harus mengucapkan atau tidak.  Bahkan Bukhori Yusuf menilai bahwa tidak ada korelasi orang yang mengucapkan Selamat Natal dianggap moderat sedangkan yang tidak mengucapkan disebut radikal. (fajar.co.id, 19/12/2021).

Mengikuti arahan Kemenag MUI juga mulai berubah arah, jika pada fatwa MUI 7 Maret 1981 yang telah mengharamkan mengucapkan Selamat Natal pada umat Kristiani kini Ketua  MUI bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Muhammad Cholil Nafis mengungkapkan bahwa mengucapkan Selamat Natal kepada umat Kristiani diperbolehkan sepanjang umat Islam tidak mengikuti perayaan Natal tersebut. (Fajar.co.id, 17/12/2021).

Edaran spanduk ucapan Natal bagi semua jajaran kemenag Sulsel menuai protes masyarakat tetapi dianggap harus tetap dilanjutkan untuk menegaskan sikap pemerintah terhadap isu ucapan Natal. Bahkan MUI dan parpol Islam pun tampak mendukung kebijakan ini dengan menyatakan tidak ada larangan tegas dari syariat utk mengucapkan Selamat Natal hanya dilarang mengikuti perayaannya saja. Hal ini menunjukkan sikap pemerintah yang menuntut toleransi kebablasan dan mempertaruhkan akidah umat Islam dengan topeng moderasi beragama. Serta bagi yang berpendapat mengharamkan mengucapkan Selamat Natal dicap sebagai muslim radikal yang menjadi bibit teroris.

Hal Ini juga menegaskan makin masifnya kebijakan sekuler dan membuktikan bahwa program moderasi beragama nyata mendorong muslim meremehkan urusan prinsip agama bahkan yang berkaitan dengan akidah. Pelabelan muslim moderat dan radikal adalah sikap intoleran terhadap pemikiran Islam sendiri. Jika umat Islam dituntut untuk bertoleransi tanpa batas tetapi pemerintah sendiri tidak bertoleransi pada pemahaman Islam yang melarang umatnya mengucapkan Selamat Hari Natal yang merupakan bentuk pengakuan bahwa Isa adalah putra Allah. Sedangkan dalam akidah jelas dan tegas bahwa Isa hanyalah Nabi dan Rasul Allah, sedangkan Allah tidak beranak dan diperanakan.

Dalam Islam juga mengenal toleransi yang sebagaimana mestinya, toleransi menurut bahasa berasal dari bahasa Yunani yaitu tolerare artinya menahan diri atau sabar, maknanya toleransi berarti menghormati dan tidak mencampuri urusan keyakinan orang lain yang memiliki keyakinan berbeda. Bukan justru memaksakan pemahaman untuk mengucapkan Selamat Natal pada umat Kristiani sementara pemahaman Islam yang benar adalah tidak boleh mengucapkan Selamat Natal pada umat Kristiani karena dapat merusak akidah umat Islam sendiri. 

Dalam Islam batas toleransi adalah tidak mencampuri urusan agama lain sebagaimana termaktub dalam Al-Qur'an surat Al-Kafirun ayat keenam, "Untukmu agamamu, dan bagiku agamaku."

Sementara negara dalam Islam tetap melindungi hak-hak setiap umat beragama tidak melarang perayaan agama lain dan melindungi umat agama lain untuk dapat melakukan peribadatan. dan dalam hukum peradilan Islam bahkan warga negara daulah Islam baik itu yang muslim mau pun kafir sama kedudukannya di mata hukum peradilan Islam. Ali bin Abu Thalib pernah kalah dalam persidangan yang dituntut oleh seorang Yahudi yang menuntut baju besinya, karena kurangnya bukti dan saksi yang dimiliki Ali, padahal Ali kala itu telah menjadi khalifah kepala negara khilafah di masanya. Untuk mewujudkan perdamaian dan tidak saling menstigma umat Islam dan memaksanya dengan pemahaman moderasi beragama yang berbahaya ini. Umat Islam harus bersatu memperjuangkan penerapan syariat Islam kafah di bawah naungan khilafah.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama