Oleh. Kusmiyati


Dalam hitungan waktu, pergantian tahun masehi tidak bisa kita hindari. Secara alami pergantian tahun  cuma diwarnai gerakan kalender berganti. Pergantian tahun selalu diwarnai dengan perayaan di banyak tempat di seluruh dunia. Momen yang selalu ditunggu untuk merengkuh kebersamaan dengan orang-orang terdekat. Jauh-jauh hari agendanya sudah disiapkan. Ada yang touring ke tempat wisata untuk menghabiskan malam pergantian tahun. Ada juga yang bikin acara di hotel, cafe, atau studio TV sambil menikmati konser musik musisi idola. 

Tahun lalu , saat pandemi corona masih merajalela,  perayaan tahun baru bisa diredam. Demi memutus mata rantai penularan wabah covid-19. Tapi kini, setelah kondisinya kembali membaik perayaan pun kembali dilakukan. 

Kita dapat jumpai atau bahkan ajakan untuk ikut tahun baruan. Meski hanya di sekitar lingkungan rumah atau sekedar jalan-jalan malam pergantian tahun. Keliatannya sepele, ngumpul bareng, bakar jagung, tiup terompet, tidak terlalu hingar bingar pesta pora yang meriah. 

Meski begitu, tetep kita harus hati-hati. Bisa jadi yang dianggap sepele itu justru menunjukkan ‘kebahagiaan’ dan persetujuan kita dalam merayakan tahun baruan. Ini urusannya akidah dan keimanan .

Sebagai umat muslim kita harus punya sikap yang tegas terkait perayaan tahun baru masehi, beberapa hal yang perlu dipahami:

Pertama, perayaan tahun baru bukan budaya Islam. Kalau kita telusuri sejarahnya, perayaan tahun baru masehi jelas-jelas bukan budaya Islam. Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Seiring perkembangan jaman, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka.

Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).

Kedua, perayaan tahun baru rawan kemaksiatan. Dari awal, perayaan tahun baru masehi lahir dari pola hidup masyarakat barat yang steril dari aturan agama. Apalagi aturan Islam.Kemaksiatan merajalela,mulai dari fastabiqul aurat alias berlomba-lomba memamerkan aurat dan daya tarik seksual, campur baur laki perempuan yang bebas tanpa batas yang berujung pada seks bebas, peredaran narkoba dan minuman keras dll.

Ketiga, pestaphoria berarti pesta yang berlebih-lebihan. Lebih sering, lebih heboh, dan tentu saja lebih bervariasi bentuknya. Yang penting menjanjikan kesenangan, kemeriahan, dan hura-hura. Sehingga banyak acara yang disusupi gaya hidup pestaphoria. 

Pestaphoria yang lekat dengan kesenangan dan hura-hura adalah cerminan gaya hidup hedonis yang makin digandrungi . Gaya hidup ini menggiring untuk memuja kesenangan dunia dan menjauhi penderitaaan untuk meraih kebahagiaan. Tiga alasan di atas cukup bagi kita untuk bersikap tegas mengatakan, tolak perayaan malam tahun baru masehi!

Momen pergantian tahun masehi dijadikan sebagai salah satu perayaan suci orang-orang kristen. Itulah sebabnya mengapa kalau ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu atau yang biasa mereka tulis dengan Merry Christmas and Happy New Year (selamat hari natal dan tahun baru).

Terlebih lagi, merayakan tahun baru berarti sama saja meniru-niru tradisi orang kafir alias tasyabuh bil kuffar. Jika umat Kristiani menggunakan lonceng untuk memanggil jama’ahnya ketika beribadah, orang Yahudi menggunakan terompet sementara orang Majusi menggunakan api, maka pada jam 00:00 WIB malam tahun baru semua model tersebut hadir dalam satu waktu. Lonceng berbunyi, terompet berbunyi, kembang api pun dinyalakan. Komplit tasyabuhnya!

Padahal, jelas-jelas kalau kita meniru perilaku orang kafir, status keislaman kita bisa tergadai. Rasulullah saw. mengingatkan para sahabatnya agar mereka menyelisihi Yahudi dan Nasrani dalam segala hal, beliau bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Daud). 

Jadi,  kita yang harus memiliki komitmen menjaga kemuliaan dan kehormatan diri sebagai seorang muslim. Allah swt berfirman: "Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya." (QS. Al-Furqan : 72)

Tak ada lagi perayaan malam tahun baru dalam kamus hidup kita sebagai muslim. Tidak ada lagi gaya hidup hedonis yang merusak masa depan kita di dunia dan akhirat. Tak ada lagi pesta pora, hura-hura, foya-foya dalam keseharian kita. Sebaliknya, kita banyak bersyukur atas setiap nikmat yang Allah berikan. Keimanan, kesehatan, dan kesempatan menimba ilmu setiap waktu. Mari jadikan diri kita bagian dari taat syariat.
Wallahu a'lam bishshawab. 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama