Oleh Pulung Jayanti
Aktivis Muslimah Peradaban


Tahun lalu BMKG telah memprediksikan bahwa puncak musim hujan 2021/2022 di sebagian besar wilayah Zona Musim (ZOM) diprakirakan terjadi pada bulan Januari dan Februari 2022 sebanyak 244 ZOM (71,3%). (Bmkg.go.id)

Musim penghujan tiba, momen ini selalu diidentikkan dengan bencana banjir. Hujan dan banjir nyatanya kata yang tidak bisa dipisahkan. Terbukti nyata setiap tahunnya ketika musim hujan datang, sebagian besar wilayah di Indonesia mengalami kebanjiran. Salah satunya di beberapa desa di Pasuruan, Jawa Timur. 

Banjir di Pasuruan semakin parah. Di Desa Kedawung Kulon, Kecamatan Grati, ketinggian air setinggi leher orang dewasa. Banjir di Desa Kedawung Kulon paling parah di Dusun Kebrukan. Dusun ini sudah terendam banjir sejak tiga hari lalu dan semakin parah karena luapan sungai akibat hujan lebat sejak siang. Rumah-rumah terendam. (17/1/22, detiknews.com)

Desa Kedawung Kulon merupakan salah satu desa langganan banjir saat sungai meluap. Banjir desa ini lama surut karena letaknya yang rendah. Bahkan Dusun Kebrukan sudah terendam banjir sejak tiga hari lalu.

Perlu ditelusuri lebih dalam lagi mengapa setiap tahun selalu terkena banjir, seakan-akan tidak ada penanggulangan dan penyelesaian masalah hingga tuntas, hingga di desa tersebut tidak menjadi daerah langganan banjir. Jangan menjadikan daerah yang rendah dan curah hujan yang tinggi selalu dikambing hitamkan, seolah-olah hanya itu yang menjadi penyebab utama bencana banjir.

Masih di lansir dalam laman berita detiknews.com, Berdasarkan data sementara yang dihimpun detikcom, banjir terparah terjadi di Desa Plososari dan Desa Kedawung Kulon. Banjir di Desa Plososari berasal dari air hujan yang melimpas ke perkampungan karena hutan sudah gundul. Air yang masuk ke permukiman mencapai 60 - 70 cm.

Faktor lainnya yang mengakibatkan banjir yakni meluapnya debit sungai hingga menyebabkan tanggul jebol. Sebelumnya sudah ditangani sementara dengan ditutup sandbag. Namun, sandbag tidak bisa menahan derasnya air sungai akibat hujan yang turun.

Bencana banjir ini akan selalu menjadi masalah langganan yang belum terselesaikan di Indonesia umumnya dan khususnya beberapa desa di Pasuruan ini. Lagi-lagi yang menjadi tokoh utama penyebabnya adalah curah hujan tinggi.

Namun, tentu kita tidak boleh lupa, semuanya tidak lepas dari faktor manusia. Bukan hanya budaya nyampah, tetapi banyak aktivitas manusia yang mengakibatkan terjadinya degradasi daya dukung lingkungan, baik di daerah dataran tinggi, dataran rendah, maupun di daerah pantai.

Diakui atau tidak, arus deforestasi dan alih fungsi lahan akibat pembangunan yang jor-joran di Indonesia terutama kawasan penyangga air terbilang sangat tinggi. Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan deforestasi di Indonesia mengalami peningkatan dari sebelumnya 1,1 juta hektare (ha) per tahun pada periode 2009—2013 menjadi 1,47 juta ha per tahun periode 2013—2017.

Sementara itu deforestasi dan degradasi lahan di kawasan Gunung Arjuno terus berlangsung selama 20 tahun terakhir. Krisis lingkungan sudah dirasakan masyarakat sekitar.

Gunung Arjuno merupakan daerah tangkapan air dan hulu dari sungai Brantas. Gunung setinggi 3.339 meter ini memiliki arti penting bagi hampir 2 juta warga Kabupaten dan Kota Pasuruan. Atau secara umum mampu memenuhi kebutuhan air bagi 43 persen masyarakat Jawa Timur. 

Gunung Arjuno sebagai kantong resapan air utama berangsur-angsur kehilangan fungsinya hingga ketersediaan air pun berkurang. Dampaknya, keberlanjutan sumber daya air terancam karena tingginya penggunaan air, sementara pasokan terbarukannya sangat rendah.(Detik.com)

Selain itu Daerah Aliran Sungai (DAS) Rejoso yang memainkan peran penting bagi keberlangsungan hidup  masyarakat di lebih 10 kecamatan di Pasuruan bagian timur seperti kecamatan Kecamatan Tosari, Puspo, Pasrepan, Lumbang, Grati, Gondangwetan, Winongan, Rejoso, Lekok dan Nguling. 

Namun, berbagai permasalahan melingkupi DAS Rejoso seperti maraknya alih fungsi lahan di bagian hulu untuk pertanian dan pemukiman, praktik pertanian yang tidak ramah lingkungan, tingginya tingkat erosi, eksploitasi sumberdaya air yang ekstensif—baik air permukaan maupun air bawah tanah (ground water)—pertumbuhan penduduk yang tinggi di bagian hilir, tingginya tingkat pencemaran sumber air maupun sungai serta adanya bencana banjir tahunan yang melanda daerah hilir.(rejosokita.org)

Sudah seharusnya pemerintah pusat, provinsi, kabupaten-kota dan pihak-pihak terkait bersinegri untuk menyelesaikan permasalahan. Selama ini, rakyatlah yang cenderung disalahkan. Misalnya, terkait budaya buruk membuang sampah dan ketidakdisiplinan dalam menjaga wilayah bantaran sungai. Juga adanya aktivitas lain menyangkut kawasan hutan dan penyangga air, seperti membuat pemukiman, atau pembukaan ladang berorientasi subsisten bukan bisnis.

Akan tetapi, pemerintah tampaknya lupa, pemegang kebijakan dan problem solver justru ada pada mereka. Sudah Semestinya pemerintah di semua levelnya lebih serius mengevaluasi mengapa bencana seperti ini berulang terjadi sekaligus mencari solusinya secara mengakar, bukan fokus pada cabang apalagi selalu mencari kambing hitam.

Hutan gundul dimana-mana semakin berkurangnya lahan resapan air dan pencemaran sungai yang berakibat sering meluap ketika musim hujan tiba merupakan permasalahan yang seharusnya bisa dicegah dan ditindak dengan cepat agar banjir tidak terus terulang.

Menilik pada penyebabnya, jelas bahwa bencana banjir dan sejenisnya adalah bencana yang sebagian faktor resikonya bisa dikendalikan manusia. Dalam hal ini, kebijakan penguasa terkait pemanfaatan lahan dan perencanaan pembangunan sangat dipengaruhi oleh sistem yang digunakan.

Selama paradigma yang melatari berbagai kebijakan disetir oleh sistem sekuler kapitalistik, maka akan sulit sekali menyelesaikan masalah ini hingga ke akar. Hal ini dikarenakan semua kebijakan itu hanya memiliki dimensi duniawi saja, yakni semata berorientasi keuntungan bagi penguasa yang biasa berkolaborasi dengan pengusaha.

Hal seperti ini tentu sangat bertentangan dengan Islam. Dalam Islam, alam, manusia, dan kehidupan dipandang sebagai satu kesatuan. Satu sama lain saling berkaitan, tidak bisa dipisahkan.

Karenanya wajar jika Islam memerintahkan manusia untuk menjaga dan mengelola alam dengan sebaik-baiknya. Bahkan Islam menjadikan penjagaan dan pengelolaan alam ini sebagai salah satu tujuan penciptaan. Artinya melekatkan tugas menjaga alam ini dengan tugasnya sebagai hamba Allah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Tentang hal ini Allah SWT berfirman, 

 ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ 

“Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum: 41)  

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ “

 “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS al-A’raaf: 56)

Dalam aspek preventif, Islam akan menetapkan kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan, pemanfaatan SDA untuk kemaslahatan umat manusia, serta politik ekonomi berbasis syariat Islam. Khilafah memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam mencegah bencana, pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, serta pengaturan memelihara kebersihan lingkungan.

Khilafah akan menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai cagar alam, hutan lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh ada yang memanfaatkannya kecuali seizin negara; menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan dan memelihara lingkungan dari kerusakan; serta mendorong kaum muslimin menghidupkan tanah mati (ihyaa’ al-mawaat) sehingga bisa menjadi buffer lingkungan yang kokoh. Khilafah juga akan memberlakukan sistem sanksi yang tegas bagi siapa pun yang mencemari dan berupaya merusak lingkungan. Dalam aspek kuratif, jika terjadi bencana, Khilafah akan melakukan langkah berikut: (1) melakukan evakuasi korban secepatnya; (2) membuka akses jalan dan komunikasi dengan para korban; (3) memblokade atau mengalihkan material bencana (seperti banjir, lahar, dan lain-lain) ke tempat-tempat yang tidak manusia huni, atau menyalurkannya kepada saluran-saluran yang sudah siap sebelumnya; (4) mempersiapkan lokasi-lokasi pengungsian, pembentukan dapur umum dan posko kesehatan, serta pembukaan akses-akses jalan maupun komunikasi untuk memudahkan tim SAR untuk berkomunikasi dan mengevakuasi korban yang masih terjebak bencana.

Adapun dari aspek rehabilitatif, Khilafah akan melakukan recovery, yaitu manajemen pascabencana, seperti memberikan pelayanan terbaik kepada para korban selama berada di pengungsian; memulihkan psikis mereka agar senantiasa bersabar, tidak stres atau depresi atas cobaan yang menghampiri; memenuhi kebutuhan vital mereka, yaitu makanan, pakaian, obat-obatan, tempat istirahat yang layak, dan layanan kesehatan lainnya; serta memberi nasihat dan tausiah untuk menguatkan akidah dan nafsiyah para korban. (Muslimahnews.com)

Oleh karenanya, inilah saatnya kita kembali ke jalan Allah, sebelum datang teguran Allah yang lebih dahsyat dari bencana banjir dan sejenisnya. Yakni dengan segera menerapkan syariat Islam kaffah dalam naungan Khilafah yang akan menjauhkan manusia dari bencana di dunia dan di akhirat. 
Wallaahu a’lam bishshawwab. 

1 تعليقات

  1. Betul,sistem sekuler kapitalis TDK akan bisa menyelesaikan masalah banjir, solusinya hanya ada pada Islam..

    ردحذف

إرسال تعليق

أحدث أقدم