Oleh Ummu Hilya Aulia 
Aktivis Dakwah Muslimah


Hujan deras dengan intensitas tinggi kembali mengguyur Pasuruan. Seolah menjadi agenda tahunan, bahkan hampir setiap musim hujan sejumlah wilayah di daerah Pasuruan menjadi langganan banjir.

Tercatat sedikitnya ada 13 desa di tiga kecamatan wilayah timur Kabupaten Pasuruan yang terdampak banjir. Diantaranya Kecamatan Grati, Winongan dan Rejoso. Banjir terparah di Desa Kedawung Kulon, Kecamatan Grati mencapai 1,5 meter. Banjir juga menggenangi jalur pantura Jalan Raya Ngopak. (detik.com, 18/1/2022)

Penanganan banjir di wilayah ini terkesan sangat lambat, karena seolah sudah rutin setiap tahun terjadi. Seharusnya dilakukan penanganan yang komprehensif, baik dari segi tanggap darurat terhadap korban bencana hingga mengembalikan fungsi resapan hutan serta sungai yang selama ini digunakan aliran kalau terjadi banjir.

Hal ini dialami oleh warga Desa Kedawung Kulon, yang merupakan salah satu desa langganan banjir saat sungai meluap. Banjir di desa ini lama surut karena letaknya yang rendah. Menurut seorang relawan, Bayu Arifianto, Dusun Kebrukan sudah terendam banjir sejak tiga hari lalu. Akibat luapan sungai hari ini, banjir semakin parah. Sehingga sepertinya warga butuh dapur umum. Sementara banjir terparah juga dialami desa Plososari, yang berasal dari air hujan yang melimpas dari hulu ke perkampungan mencapai, karena hutan sudah gundul dan banyak tambang. (detik.com, 17/1/2022)

Pasuruan merupakan salah satu wilayah di Jawa Timur yang lokasinya cukup strategis sehingga menjadi prospek ekonomi yang besar di kawasan tapal kuda, baik dari sumber daya alam maupun industri. Mengingat wilayah ini merupakan jalur distribusi barang dari Jawa-Bali, sehingga menarik minat para investor melirik segala potensi alam dan ekonomi yang ada di wilayah Pasuruan.

Selain itu, Pasuruan juga termasuk daerah cekungan yang dikelilingi hutan. Namun ternyata tingkat kerusakan hutan yang menjadi penopang untuk resapan air, terbilang parah, yang disebabkan eksploitasi tanpa batas.

Kerusakan hutan ini memicu terjadinya bencana. Baik bencana kekeringan pada musim kemarau, karena berkurangnya debit mata air terutama daerah,Lumbang,Jeladri, Umbulan dan sekitarnya. Maupun banjir saat musim hujan tiba karena minimnya daya resapan dari daerah hulu.

Ditambah lagi Daerah Aliran Sungai (DAS) Rejoso yang merupakan kawasan hilir, sering dijadikan alasan penyebab bencana alam seperti mengalami penurunan debit air, rendahnya aktivitas konservasi lahan kritis, pencemaran sungai, penambangan batu dan pasir, pendangkalan sungai, distribusi air yang tidak merata, tumpang tindih kebijakan provinsi dan kabupaten serta aktivitas budidaya pertanian yang tidak pro konservasi.

Akar Persoalan Bencana

Penyebab banjir maupun kekeringan terjadi karena kombinasi faktor alam dan manusia. Faktor alam adalah curah hujan yang sangat ekstrem. Sedangkan faktor manusia, yakni hal yang muncul akibat alih fungsi lahan hutan menjadi pertanian dan permukiman, serta ekploitasi berlebihan sumber daya alam, termasuk sumber mata air yang ada di sejumlah wilayah seperti Mata Air Umbulan, tanpa adanya penanganan konservasi serius terhadap aspek penjagaan dan kelestarian lingkungan.

Sejauh ini solusi pemerintah dalam mengatasi berbagai bencana masuk banjir juga belum menyentuh pada akar persoalan, melainkan hanya menitikberatkan pada upaya penanggulangan atau mitigasi semata. Kalaupun ada itu tidak akan bisa menyelesaikan masalah.

Sejatinya akar persoalan yang terjadi disebabkan penerapan sistem demokrasi kapitalis. Telah membuka peluang besar bagi berkembangnya perilaku eksploitif dan destruktif di tengah-tengah masyarakat, hanya memprioritaskan pada profit semata. Walaupun sejumlah aturan AMDAL telah dibuat, namun hal ini tidak menjadi perhatian utama bagi mereka.

Dalam sistem ini negara menjadi alat legitimasi munculnya kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam. Yang justru hanya memenuhi syahwat para pemilik modal. Sekalipun dampaknya akan merusak alam lingkungan dan kemanusiaan. 
Sebagaimana dalam firman Allah:

“Dan bila dikatakan kepada mereka, "Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi," Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan tetapi mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al-Baqarah: 11)

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan  manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar.” (QS. Ar-Rum: 41)

Terbukti sistem kapitalisme yang memberikan hak kepemilikan atas kekayaan alam sebebas-bebasnya kepada para pemilik modal maupun korporat. Seperti halnya air dan hutan, jenis kekayaan alam yang seharusnya diperuntukkan untuk rakyat dan dikelola dengan baik oleh negara, justru mudah dikuasai oleh para kapitalis. Hal inilah yang membuat ketidakberdayaan negara dalam mengurus dan menjaga umat.

Strategi Jitu Atasi Bencana

Berbeda halnya dengan sistem Islam yakni Khilafah. Di dalam sistem ini, negara akan menjaga serta melestarikan segala kekayaan yang ada di bumi, apalagi kekayaan itu adalah kekayaan milik Umum. Sebagaimana dalam hadist Rasulullah:

"Kaum muslimin bersekutu dalam tiga hal yakni air,padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Paradigma pelayanan ini yang menjadikan landasan bagi para penguasa dalam sistem Khilafah dalam melayani rajyatnya. Di tangan negaralah yang akan mengelola harta milik umum ini. Hasil pengelolaan hutan maupun sumber air akan dimasukkan dalam kas negara atau Baitulmal pos kepemilikan umum dan didistribusikan sesuai kemaslahatan rakyat.

Di dalam Islam, negara tidak diperbolehkan atau haram untuk menyerahkan kepada individu atau korporasi baik untuk pembukaan tambang, alih fungsi lahan maupun infrastruktur lainnya. Namun negara tidak melarang jika individu memanfaatkan hutan secara langsung dan secara terbatas. Seperti pengambilan ranting-ranting kayu atau penebangan pohon dalam skala terbatas atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.

Negara akan menetapkan kebijakan jika pemanfaatan hutan untuk pembukaan permukiman atau kawasan baru harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah resapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah, dan topografinya. Dengan kebijakan ini negara mampu mencegah kemungkinan terjadinya banjir atau genangan.

Bertobat dan Kembali Kepada Syariah Islam Kafah

Hal terpenting dalam  menyikapi bencana hanya dengan muhasabah dan bertobat. Tidak hanya pada konteks individu tetapi juga masyarakat maupun negara. Caranya dengan mencampakkan sistem demokrasi sekuler kapitalisik dan kembali pada sistem kehidupan Islam, yang menjadikan ketaatan dan perintah Allah dan Rasulullah sebagai landasan.

Penerapan Islam secara Kafah akan mencegah munculnya perilaku eksploitatif dan destruktif. Sebab misi dan penciptaan manusia adalah sebagai seorang hamba dan khalifah yang akan senantiasa terjaga dengan adanya syariat Islam yang turun sebagai rahmat.

Para penguasa juga terjaga dari pengurusan yang menimbulkan mudarat. Serta membatasi berbagai kewenangan negara dalam ranah mengurusi umat dengan segala apa yang diamanahkannya.

Rasulullah Saw. bersabda: "Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.” (HR Muslim)

Paradigma kepemimpinan semacam inilah yang ada di sistem Islam dalam naungan Khilafah. Waallahu a'lam Bissawab. 

Post a Comment

أحدث أقدم