Oleh. Suaibatul Islamiyah 
Aktivis Dakwah Muslimah


Sudah jatuh tertimpa tangga. Kini nasib rakyat kembali menjadi tumbal kebijakan baru pemerintah. Sikap pemerintah tak ubahnya seperti parasit yang menempel, sehingga rakyat sulit bergerak. Apalagi di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang masih merebak dan perekonomian rakyat yang semakin sekarat, pemerintah menetapkan kebijakan baru yakni Permenaker No 2 tahun 2022 yang mengatur Jaminan Hari Tua (JHT) baru dapat dicairkan setelah pekerja berusia 56 tahun.

Anggota Komisi IX DPR RI, Alifudin, mengkritisi kebijakan baru Pemerintah yaitu Permenaker No 2 tahun 2022 yang mengatur Jaminan Hari Tua (JHT) baru dapat dicairkan setelah pekerja berusia 56 tahun. Ia menilai kebijakan tersebut menyakiti hati rakyat khususnya para buruh, dan menolak keras keputusan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah ini.

“Peraturan ini menambah penderitaan rakyat dan menyakiti hati rakyat, karena peraturan tersebut mempersulit buruh. Sebab, jika seorang buruh yang mengundurkan diri atau di PHK membutuhkan uang JHT. Tapi ia harus menunggu sampai berusia 56 tahun,” kata Alifudin dalam pernyataannya dikutip Kumparan, Minggu (13/2).

Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menilai keputusan Menteri Ketenagakerjaan bahwa Jaminan Hari Tua (JHT) baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun, sama sekali tidak memudahkan masyarakat.

Padahal dana JHT adalah bagian dari harta pekerja yang diharapkan menjadi penopang saat ada kondisi tak diharapkan seperti berhenti bekerja karena faktor-faktor di luar ketentuan. Pada saat yang sama pekerja dan rakyat secara umum tidak mendapatkan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar dari negara.

Demokrasi Kapitalis Parasit Kaum Pekerja

Inilah bukti keburukan sistem kapitalisme yang mengeksploitasi kaum pekerja untuk menikmati keuntungan, keringat mereka saat muda dan abai menjamin kebutuhan mereka saat membutuhkan. Alhasil kebijakan ini tidak lepas dari akal-akalan para pemilik kepentingan. Peraturan hanya berlaku bagi siapa pun yang berkuasa untuk mengutak-atik hukum sesuai kehendaknya, bahkan sesuai arahan para pemilik kepentingan. Putusan mahkamah Konstitusi (MK) misalnya, hanya sebatas menuntut revisi undang-undang bukan membatalkan atau menghapus kebijakan yang sejatinya menzalimi hak rakyat. Walaupun ada pemberlakuan revisi itu tetap akan menimbulkan kontroversi.

Hal ini menunjukkan kepada masyarakat bahwa sistem demokrasi kapitalis atau hukum buatan manusia ini lemah, sarat kepentingan, standarisasi hukum berubah-ubah dan gagal memberi solusi setiap persoalan kehidupan masyarakat.

Berbagai produk hukum sistem demokrasi kapitalis akan selalu membawa dampak buruk, baik bagi kehidupan maupun kesejahteraan masyarakat. Sebab sistem demokrasi maupun turunannya sudah cacat sejak lahir, sehingga ukurannya pun akan sama.

Kapitalisme menjadikan pekerja hanya sebatas faktor produksi. Pekerja atau buruh tidak dipandang sebagai manusia yang membutuhkan kesejahteraan dalam hidupnya, upah hanya sebatas ongkos yang perusahaan keluarkan untuk menggerakkan manusia dalam bekerja.

Penetapan upah berdasarkan kebutuhan hidup minimum, yang sekedar hanya bisa hidup layak secara fisik dalam satu bulan. Padahal pada saat yang sama kebutuhan rakyat terus berlanjut, namun negara seolah lepas tangan. Negara hanya membatasi perannya sebagai regulator dan menyerahkan pengurusan hajat publik termasuk buruh kepada pihak swasta. Kemudian negara memindahkan beban jaminan sejahtera buruh kepada pengusaha, bukan menjadi tanggung jawab negara.

Kesejahteraan buruh hanya menjadi mimpi selama sistem pengupahan yang diterapkan bukanlah sistem yang adil. Lantas masihkah kita betah bertahan di sistem yang tidak manusiawi ini?

Khilafah Menjamin Kesejahteraan

Tidak selayaknya masyarakat berharap pada demokrasi kapitalis sekuler yang gagal mewujudkan keadilan untuk semua. Berbeda dengan sistem Islam yakni Khilafah, yang senantiasa berpihak kepada masyarakat dan bertindak semata-mata demi kemaslahatan semua.

Dalam Khilafah, setiap kebijakan yang dikeluarkan berdasarkan ajaran Islam yakni keimanan kepada Allah Swt. sebagai zat yang mengatur, Maha Adil, Maha Tahu, dan Maha Sempurna. Sehingga seluruh hukum Islam bersifat pasti dan dipastikan jauh dari kepentingan pihak mana pun termasuk para penguasa maupun pengusaha. Apalagi terkait upah dan jaminan kesejahteraan masyarakat.

Penetapan upah berdasarkan besarnya manfaat atau jasa yang diberikan pekerja. Sedangkan kebutuhan dasar rakyat (sandang, papan dan pangan) menjadi tanggung jawab negara bukan majikan atau perusahaan. Kebutuhan tersebut harus dinikmati setiap individu rakyat. Sehingga standar pengupahan dan jaminan bekerja dalam Islam merupakan sistem yang adil karena memperhatikan hak dan kewajiban pekerja (ajir) maupun pemberi bekerja (musta'dzir).

Penguasa dalam Khilafah berfungsi sebagai pelaksana syariat Islam. Sementara rakyat bukan semata-mata sebagai objek penerapan hukum, tetapi juga bertindak sebagai penjaga hukum. Jika penguasa (khalifah) menyalahi hukum bahkan mengabaikan rakyat, maka rakyat bisa mengadukan perkara tersebut kepada Mahkamah Madzalim.

Khilafah akan menyelesaikan tindakan penyimpangan atas pemenuhan kewajiban oleh negara kepada setiap orang yang hidup di bawah kekuasaan negara, baik yang dilakukan oleh khalifah, maupun pejabat-pejabat lain termasuk para pegawai. Penerapan hukum Islam secara sempurna dipastikan akan membawa rahmat dan keadilan.

Demikianlah khilafah dalam menjamin kesejahteraan bagi kaum pekerja dan masyarakat. Dan kesejahteraan ini telah terwujud sepanjang masa peradaban Islam. Sudah saatnya kita sebagai hamba yang lemah kembali kepada fitrah, yakni kembali kepada penerapan Islam secara kafah dalam bingkai khilafah demi mewujudkan tegaknya Islam rahmatan lil alamin. 
Wallahu a'lam bissawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama