Oleh. Cincin Abu
Praktisi Pendidikan


Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menandatangani surat edaran pada 4 Februari 2022 mengenai pengaturan ibadah. 

"Mengatur jarak antarjemaah paling dekat 1 (satu) meter dengan memberikan tanda khusus pada lantai,  halaman, atau kursi." Demikian bunyi poin ke enam dalam surat edaran tersebut (CNNIndonesia, 4/02/2022).

Isi dari poin-poin Surat Edaran (SE) ini menjadikan umat Islam khususnya merasa tersudutkan , karena adanya arah kebijakan yang dominan soal pembatasan ibadah bagi muslim.

Adanya pengetatan prokes memang sudah menjadikan keharusan disaat angka covid-19 varian omicron meningkat, tetapi bukan berarti yang harus dijadikan topik pembatasan adalah dalam soal peribadatan. Hal ini  karena  merupakan hak setiap warga menjalankan peribadatannya. Sementara disisi lain,  pemerintah seolah melonggarkan aturan prokes kerumunan di tempat-tempat umum,  yang justru sesungguhnya disanalah tempat menyebarnya virus. Seperti di pusat-pusat perbelanjaan, dimana tidak sedikit orang mengabaikan prokes. 

Adapun masjid,  merupakan tempat ibadah dimana yang boleh berada di dalamnya hanyalah orang-orang yang sudah dipastikan bersih dari hadas (kotoran), sehingga tingkatan penyebaran dan penularan virus justru seharusnya minim terjadi. 

Terbukti,  kebijakan yang tengah massif disosialisasikan ini alih-alih membuat rakyat taat prokes,  kesalahan penanganan seperti ini justru akan mendorong pelanggaran prokes. Karena banyak yang memandang kebijakan soal covid hanya untuk menghalangi muslim dalam menjalankan ibadahnya. 

Dari sini juga menjadi bukti bahwa sistem kapitalisme tidak memberi ruang kenyamanan dalam beribadah bagi umat Islam. Mereka (Barat) sadar bahwa Islam dinilai akan menghalangi kepentingan mereka. Keinginan mereka tiada lain adalah mengeruk keuntungan dari negeri muslim dakam kondisi apa pun.

Adapun Islam, telah jelas memberikan solusi penanganan virus ini dengan melakukan tindakan preventif dan kuratif yang terarah. 

Tindakan preventif dilakukan penguasa dengan mencegah orang agar tidak sakit, yakni penguasa memastikan rakyatnya secara per individu terpenuhi nutrisi dan gizinya secara seimbang, sehingga ia memiliki imunitas yang baik, tubuh yang kuat dan siap untuk menjalankan ibadah.

Sehingga dapat dipastikan bahwa yang mengikuti shalat berjamaah di masjid, hanyalah orang-orang yang sehat. 

Disamping itu, edukasi terkait kesehatan dan hal-hal yang berhubungan dengan tindakan pencegahan baik secara mental maupun akal akan terus dilakukan. Seperti menciptakan kondisi dan lingkungan agar tidak mudah stress. Termasuk salah satunya dengan menjamin keberlangsungan hidup rakyatnya. Sehingga rakyat tidak merasa khawatir dan takut yang berlebih disaat masa sulit ini. Misal terpenuhinya pangan,  sandang dan papan.

Selain itu, negara pun secara otomatis akan menghentikan aktivitas atau menutup berbagai macam akses yang bisa menyebabkan virus mudah masuk ke tempat lain. Misal lockdown atau isolasi yang bisa dipertanggungjawabkan. 

Sebagaimana hadist Rasulullah saw, "jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kamu memasukinya. Tapi jika wabah terjadi di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR. Bukhari) 

Tindakan kuratif dilakukan dengan cara memisahkan orang yang sedang sakit dengan orang yang sehat. 

Orang yang sudah terjangkit virus akan dipantau ketat perkembangan kesehatannya oleh tenaga medis dan dimonitori penguasa agar Si Sakit dipastikan beristirahat secara layak dan tidak melakukan aktivitas di ruang publik (termasuk masjid), sampai ia betul-betul dinyatakan sembuh dan sehat. Sehingga ia bisa menjalankan ibadah di masjid kembali.

Jika kebijakan ini dilakukan sedini mungkin, tentu pandemi akan mudah berakhir. Dan kehidupan baru setelah pandemi akan berlangsung sebagaimana indahnya di musim semi. 
Wallaahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

أحدث أقدم