Oleh. Yuli Ummu Raihan
Member AMK dan Pemerhati Masalah Publik


Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Karena sebuah potongan ceramah seorang penceramah yang juga publik figur menjadi bahan pembicaraan netizen di dunia maya. Penceramah wanita berinisial OSD tersebut dituduh menormalkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), karena menceritakan sebuah kisah seorang istri yang dipukul oleh suaminya dan menutupi hal ini karena mengganggap ini aib suami yang harus ditutupi. 

Buntutnya tidak hanya OSD yang dianggap menormalkan tindakan KDRT, tapi Islam. Islam dituduh sebagai agama yang seolah-olah membolehkan dan melanggengkan KDRT.

Benarkah Islam menormalkan KDRT?

Sebenarnya kisah yang disampaikan OSD sudah masyhur di masyarakat. Bagaimana akhlak seorang istri ketika terjadi permasalahan di dalam rumah tangganya. Hanya saja penggambaran pemukulan oleh suami terhadap istrinya itu kurang tepat. Islam tidak pernah membenarkan tindakan kekerasan kepada siapa pun, apalagi kepada istri, sosok yang seharusnya dihujani kasih sayang dan perhatian. Islam juga melarang melakukan kekerasan fisik, apalagi memukul wajah.

Kisah ini mirip dengan kisah sepasang suami istri yang ditulis dalam terjemahan kitab Az-zaujan fi khaimah as-saa'dah maharat wa masa'il atau Suami Istri dalam Rumah Mungil Penuh Bahagia karya Abdurahman bin Abdullah Al-Qar'awi hal 24. Di kitab ini tidak ada redaksi yang menyebut pemukulan wajah. Suami istri itu berselisih dan istrinya menangis. Di saat yang sama keluarga istri datang berkunjung dan melihat situasi ini. Ketika ditanya si istri mengatakan ia menangis karena rindu pada keluarganya. Suami yang  mendengar jawaban istri terharu dan menjadi semakin sayang dan memuliakan istrinya.

Ibrah dari kisah ini adalah bahwa urusan atau masalah keluarga harus diselesaikan di balik kamar, atau di dalam rumah, jangan mudah mengumbarnya ke orang lain sekali pun kerabat sendiri.

Ada banyak hikmah dalam pengaturan Islam terkait semua ini. Di antaranya untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan  pasangan. Agar permasalahan tidak semakin berlarut karena campur tangan pihak ketiga, keempat dan seterusnya. Suami istri harus menjalin komunikasi yang baik agar permasalahan yang ada dapat terselesaikan.

Ketika permasalahan belum juga menemui titik terang, maka Islam menganjurkan agar didatangkan pihak ketiga dari kedua belah pihak. Bisa juga seseorang yang dihormati yang akan menjadi penengah di antara mereka.

Ketika semua usaha tidak berhasil, Islam memberi pilihan kepada suami atau istri untuk membatalkan pernikahan  demi kebaikan bersama. Suami boleh mentalak istrinya setelah ia tidak lagi bisa dinasehati, memisahkan tempat tidur, dan memberikan ta'dib (pendidikan). Ta'dib di sini adalah pukulan ringan yang tidak menyakitkan dan dalam rangka mendidik. Hal ini boleh dilakukan ketika istri nusyuz atau membangkang. 

Ajaran Islam yang sempurna ini disudutkan dan terus menjadi sasaran pihak-pihak yang tidak menyukai Islam.
Isu normalisasi KDRT ini sangat memojokkan Islam dan membuat isu HAM dan kesetaraan kembali digaungkan.

Islam seolah membiarkan tindakan KDRT. Perempuan dalam Islam dianggap makhluk lemah dan tidak berharga. Imbasnya umat Islam dibuat ragu, menjadi takut  (islamofobia) untuk mempelajari agamanya, dan semakin jauh dari aturan Islam.

Semua ini terjadi karena umat Islam hari ini belum  memahami ajaran Islam dengan baik. Adanya ide sekularisme juga memperburuk kondisi saat ini. Agama dipisahkan dari kehidupan. Seharusnya umat Islam menggali lebih dalam kenapa KDRT semakin banyak terjadi. Apa faktor pemicunya, dan bagaimana Islam menyelesaikannya.

Semua itu akan kita dapatkan penjelasannya ketika kita mau memahami ajaran Islam secara kafah dan menerapkannya. Wallahu a'lam bishshawaab.

Post a Comment

أحدث أقدم