Oleh. Fira Ummu Abdullaah 
Praktisi Pendidikan


Beberapa pekan lalu, medsos viral kasus korban begal Amiq Sinta warga Lombok yang terpaksa melakukan perlawanan terhadap dua orang yang akan membegalnya. Dia melaporkan kasus pembegalan tersebut kepada aparat kepolisian,   sayangnya justru dia divonis sebagai tersangka pembunuhan dua orang begal tersebut. 

Namun,  karena adanya ketidakadilan tersebut akhirnya menuai protes di kalangan masyarakat dan khususnya menjadi viral di kalangan netizen. Kapolda NTB pun angkat bicara turut menjelaskan penyetopan kasus tersebut setelah dilakukannya gelar perkara oleh jajaran Polda NTB dan melibatkan pakar hukum. 

"Hasil gelar perkara disimpulkan peristiwa tersebut merupakan perbuatan pembelaan terpaksa sehingga tidak ditemukan adanya unsur perbuatan melawan hukum baik secara formil maupun materiil," kata Djoko dalam jumpa pers yang disiarkan di akun Instagramnya. (Detiknews.com, 16/4/2022)

Jika kita telusuri, adanya penyetopan kasus ini pasca protes masyarakat. Seharusnya sedari awal penimbangan kasus ini sampai dijatuhi hukuman/sanksi tertentu berdasarkan pengamatan mendalam terhadap kasus tersebut.  Tidak lantas menjatuhkan vonis baru kemudian menimbang ulang hukuman tersebut. Tentu ini menunjukkan ketidakadilan, ketidakbijaksanaan, dan adanya ketidakprofesionalan dalam bekerja. 

Di samping itu, sebagai korban yang sudah berusaha jujur melaporkan perkara tersebut kepada pihak yang berwajib, seharusnya mendapatkan apresiasi dan dukungan. Dikarenakan fakta kasus tersebut terjadi di saat kondisi korban yang cukup genting. Sang korban (AS) tengah dalam perjalanan mengantarkan bekal makanan dan minuman untuk ibunya. Singkatnya,  korban sedang dalam rangka menjalankan ketaatannya sebagai seorang anak kepada orang tuanya. Tentu dari sini pun sudah menunjukkan sikap yang mulia. Belum lagi keberaniaannya dalam membela diri dan melaporkan kasus yang dialaminya tersebut. Tentu perbuatan semacam ini harusnya secara layak mendapatkan apresiasi. Bukan malah dipenjarakan dahulu, gelar perkara kemudian. Itu pun jika ada letupan-lerupan protes dari masyarakat dan netizen. Jika tidak, mungkin saja korban AS terus mendekam di penjara entah sampai kapan. 

Begitulah sistem sanksi yang ada dalam sistem demokrasi-kapitalisme,  tidak menyelesaikan masalah dan atau perkara, tetapi justru malah membuka peluang-peluang 'kegaduhan' lainnya. 

Tentu hal serupa tak akan terjadi dalam sistem yang menerapkan aturan murni dari Sang Pencipta (Allah). Semua kasus tindak pidana akan ditelusuri oleh para qadhi (hakim) yang betul-betul mumpuni secara keilmuan dan cerdas dalam menetapkan keputusan. Sehingga tak ada istilah salah tangkap,  salah memberikan keputusan hukum ataupun vonis.

Wahbah Zuhaili dalam ``al-fiqh al-islamiy wa adillatuhu`` mengungkapkan, seperti yang diriwayatkan Imam Bukhari, beberapa orang dari suku Ukul datang menghadap Rasulullah Saw. di Madinah. Di hadapan Nabi,  mereka berpura-pura ingin memeluk agama Islam. Mereka lantas mengeluh kepada Rasulullah Saw.  bahwa cuaca di Madinah tidak cocok bagi mereka, sehingga menyebabkan kesehatan mereka terganggu.

Singkat kisah,  Nabi pun mengizinkan mereka tinggal di luar Madinah dan mengizinkan mereka meminum susu-susu unta milik negara saat itu.  Namun, ironinya unta-unta itu malah dibawa kabur dan para penggembalanya dibunuh oleh mereka. Berita itu pun sampai ke Rasulullah saw.  Lantas Rasulullah saw. mengutus para sahabat untuk mencungkil mata para penyamun (begal) tersebut dengan besi panas dan memotong tangan-tangan mereka secara silang dan dijemur di tengah terik matahari sampai mereka meregang nyawa.

Inilah hukuman yang pantas bagi mereka karena telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Sehingga kasus ini pun menjadi sebab turunnya (asbabun nuzul) wahyu Allah Swt. Surat al-Maidah ayat 33. "Sesungguhnya hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan melakukan pengacauan di muka bumi, mereka harus dibunuh atau disalib, atau tangan dan kaki mereka dipotong saling silang, atau dibuang jauh. Demikian itu adalah kehinaan bagi mereka di dunia. Dan di akhirat kelak mereka akan mendapatkan siksa yang berat." (QS. Al-Maidah: 33)

Demikianlah sistem Islam menyelesaikan kasus penyamun (pembegalan). Tentu jika hukum ini diterapkan dalam sistem yang utuh akan menjadi efek jera bagi siapa pun yang memiliki niat jahat untuk merampok atau membegal harta orang lain yang memang bukan miliknya. Apalah lagi sampai menghilangkan nyawa seseorang. Maka hukuman setimpal pun berlaku baginya. 

Pernah ada seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah saw.  "Wahai Rasulullah bagaimana jika ada orang merebut hartaku?  Jangan kamu berikan. Bagaimana jika ia menyerangku?  Balaslah menyerangnya.  Bagaimana jika ia berhasil membunuhku?  Berarti kamu mati syahid. Bagaimana jika aku yang membunuhnya? Dia berada di neraka." (HR. Muslim No.1914)

Semoga apa yang dilakukan AS menjadi contoh figur keberanian dalam mempertahankan kebenaran dan tentunya peran kehadiran negara yang menerapkan syariat Islam dalam bingkai khilafah sebagai pemberi keputusan yang adil dan penjamin keamanan setiap individu rakyatnya segera terwujud.
Wallahu a'lam bissawwab.

Post a Comment

أحدث أقدم