Oleh. Hermin Setyoningsih
Praktisi Kesehatan


Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Zumhana menyebut Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menghentikan sedikitnya 1.070 perkara dengan menggunakan pendekatan restorative justice.

Restorative justice itu diterapkan terhadap perkara tindak pidana yang sifatnya ringan, sesuai Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative. (Detiknews/23 Mei 2022)

Menurut Fadil, dalam menggunakan pendekatan restoratif justice ada tiga poin penting yang mesti diperhatikan. Pertama, keadilan restoratif mesti memperkuat kohesi sosial antar anggota masyarakat.

Kedua, memotivasi kejaksaan untuk terlibat dalam tujuan keadilan, yaitu pemulihan, bagi mereka yang membutuhkannya. Ketiga, penerapan proses keadilan restoratif akan mendorong pelaku untuk merenungkan perilaku yang salah dan kerugian yang ditimbulkannya termasuk bagaimana ia harus merehabilitasi dirinya.

Fakta ini membuktikan bahwa system hukum dan peradilan sekuler : 1) Gagal menghapus kriminalitas massal dan konflik di tengah masyarakat, 2) Tidak mamiliki sumber sanksi yang jelas sehingga banyak kasus perubahan sanksi/hukuman karena beratnya beban negara menanggung biaya penjara/tahanan dengan istilah restorasi keadilan, 3) Bisa menjadi celah bagi pelaku kejahatan berat untuk mendapatkan hukuman ringan.

Semua ini karena hukum peradilan sekuler buatan manusia yang lemah dan senantiasa mengedepankan asas manfaat sebagai bagian dari ciri khasnya. Lantas bagaimana mungkin akan mampu mengayomi dan melindungi masyarakat dari aksi kriminalitas? Padahal keamanan merupakan hal yang vital dibutuhkan.

Maka wajar jika imbasnya perampasan harta benda menjadi berita keseharian, pembunuhan hanya karena hal sepele sering terjadi seolah nyawa merupakan barang tak berharga. Itu hanya sebagian kecil imbas ketidak adilan sistem hukum sekuler yang diterapkan negeri kita saat ini.

Belum lagi problem tebang pilih dalam mengadili suatu perkara, sehingga nampak bahwa hukum di negeri ini ibarat mata pisau tajam kebawah, namun tumpul ke atas. Saat yang menjadi obyek hukum adalah rakyat jelata hukum seolah bertindak cepat dan tegas dalam memberi sanksi.

Namun saat pejabat yang melakukan aksi kriminalitas, maka hukum diperingan dengan berbagai alasan semacam karena berprestasi atau berakhlak baik. Miris banget! Sebagai contoh misalnya kasus korupsi mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang hanya dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda 200 Juta rupiah.

Ratu Atut telah melakukan suap kepada mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar sebesar 1 Miliar Rupiah untuk memenangkan gugatan yang diajukan pasangan Amir Hamzah dan Kasmin. Bandingkan dengan kasus seorang nenek yang mencuri singkong karena kelaparan dengan ini dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara.

Rasanya sangat tidak adil melihat kedua kasus ini. Seorang koruptor yang merugikan Negara sebesar 1 Miliar rupiah hanya dihukum 4 tahun penjara sedangkan seorang nenek yang mencuri singkong karena kelaparan dihukum 2,5 tahun.

Sungguh sangat berbeda dengan peradilan dalam sistem islam yang sangat jelas, tegas tanpa pandang bulu. Karena hukum yang diterapkan adalah hukum terbaik di segala zaman dan masa. Itulah hukum Allah Swt. (syariat Islam).

Allah Swt. berfirman dalam Quran Surat al-Maidah ayat 50 yang artinya, apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?. Syekh Wahbah az-Zuhaili menerangkan, ayat ini bermakna bahwa tak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah Swt.

Juga tak ada satu hukum pun yang lebih baik daripada hukum-Nya (Az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, 6/224). Dengan demikian keadilan merupakan sifat yang melekat pada Islam itu. Allah Swt berfirman dalam Qur'an surat An’am ayat 11 : artinya telah sempurnalah kalimat Tuhanmu Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Dengan demikian keadilan dan Islam adalah satu kesatuan.

Tidak aneh jika para ulama mendefinisikan keadilan (al-‘adl) sebagai sesuatu yang tak mungkin terpisah dari Islam. Menurut Imam Ibnu Taimiyah, keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunah (kullu ma dalla ‘alayhi al-Kitab wa as-Sunnah). Baik dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah as-Syar’iyyah, hlm. 15).

Keadilan hanya mungkin terjadi saat Islam ditegakkan. Islam hanya mungkin tegak dengan kekuasaan. Karena itu dalam Islam, kekuasaan tentu amat penting, tidak lain untuk menegakkan Islam. Berikutnya demi menegakkan keadilan sekaligus menolak kezaliman.

Semua ini diperkuat dengan penerapan sistem hukum Islam yang menjamin tegaknya seluruh aturan. Karena dalam Islam, setiap penyimpangan terhadap syariat sekecil apa pun dipandang sebagai jarimah (kejahatan) yang akan dicegah dengan menerapkan sanksi yang tegas dan efek jera.

Bahkan menjadi tebusan dosa di akhirat. Hukum Islam tidak mengenal situasi politik kekuasaan, juga tidak ada urusan dengan kepentingan individu, kelompok, atau golongan. Di mata Islam, semua orang sama. Jika terbukti bersalah, siapa pun dia pasti akan diadili menurut ketetapan syariat Islam.

Keadilan hukum Islam sudah terbukti dalam penerapannya. Inilah sejumlah keunggulan sistem Islam dibanding hukum sekuler (menjauhkan agama dari kehidupan). Pertama, dari aspek kaidah hukum, hukum Islam bersandar pada aturan Allah Swt.

Hak otoritas dalam membuat hukum hanya milik Allah Swt. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah Al-An’am: 57, “…..Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.

”Kedua, pada aspek penegak hukumnya, Islam akan membekali setiap warga dengan ketakwaan di segala aspek kehidupan, yakni dengan rasa takut yang besar kepada Allah Swt. Bahwa setiap amal perbuatan akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Penerapan sistem Islam secara kafah akan membentuk masyarakat Islam yang khas.

Dengan begitu, dapat meminimalisasi segala maksiat karena dorongan iman dan takwa setiap individunya. Negara wajib mewujudkan suasana iman dengan penegakan supremasi hukum yang tegas bagi setiap pelaku maksiat. Cukuplah seorang Syuraih menjadi role model bagi para penegak hukum di negeri ini.

Ia seorang hakim yang adil. Meski penanganan kasusnya berkaitan dengan penguasa saat itu, ia tetap menegakkan hukum sesuai pandangan syariat Islam. Keteladanan ini lahir dari sistem Islam yang terterapkan kala itu, yaitu tegaknya negara Khilafah.

Ketiga, fasilitas merupakan sarana dalam proses penegakan hukum. Khilafah memfasilitasi layanan pengaduan, pelayanan, dan perlindungan bagi setiap warga yang merasa terancam nyawa, harta, dan haknya. Islam mengenal tiga bentuk peradilan, yaitu Qadhi Khushumat (menyelesaikan masalah sengketa baik muamalah atau uqubat)

Qadhi Hisbah (menyelesaikan pelanggaran yang membahayakan hak masyarakat) dan Qadhi Mazhalim (menghilangkan kezaliman negara terhadap orang yang di bawah wilayah kekuasaannya). Meski ada pembagian tugas dan fungsi, semua hukum yang dijalankan satu, yaitu hukum Islam saja.

Keadilan dan rasa aman akan dapat terealisasi hanya dengan penegakan hukum Islam. Dengan begitu, tingkat kepatuhan rakyat kepada hukum akan berjalan secara optimal. Semua orang di negara Khilafah memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Maka jika menginginkan keadilan hakiki, saatnya umat islam bahu membahu menegakkan Khilafah, sebuah sistem pemerintah yang berdasarkan syariat Islam bagi seluruh penduduk bumi, karena Islam rahmatan lil alaamiin.

Wallahu a'lam bissawab.

Post a Comment

أحدث أقدم