Oleh Rosmita
Pemerhati Kebijakan Publik


Saat ini DPR tengah menggodok RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). Di antara isinya membahas tentang cuti melahirkan selama enam bulan bagi Ibu yang bekerja. Alasannya untuk mengurangi depresi pasca melahirkan yang dapat memicu kasus kekerasan Ibu terhadap bayinya. Selain membahas tentang cuti, RUU KIA juga mengatur mekanisme pembayaran gaji bagi Ibu yang cuti melahirkan. Yaitu Ibu mendapatkan gaji 100% pada tiga bulan pertama dan 75% pada tiga bulan berikutnya. Hal ini tercantum dalam Pasal 4 dan 5. RUU KIA sudah disepakati oleh Badan Legislasi (Baleg) dan disetujui oleh tujuh Fraksi di DPR. (Detik.com, 19/6/2022) 

Benarkah RUU KIA bisa membuat ibu dan anak sejahtera? Karena faktanya RUU KIA justru menimbulkan dilema bak buah simalakama. Alih-alih membela kepentingan perempuan, RUU ini malah mendiskriminasi perempuan. Sebab RUU KIA tidak hanya mengatur soal cuti, tapi juga mengatur soal gaji. Pertanyaannya, apakah perusahaan bersedia memberikan cuti selama enam bulan kepada Ibu yang bekerja dengan tetap membayar gaji mereka 100% pada tiga bulan pertama dan 75% pada bulan selanjutnya? 

Seperti kita ketahui bahwa semboyan para Kapitalis adalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Dengan mekanisme cuti dan gaji bagi pekerja perempuan yang melahirkan yang diatur oleh RUU KIA akan dianggap merugikan bagi perusahaan. Sehingga bila RUU ini disahkan bisa jadi akan ada pendiskriminasian terhadap pekerja perempuan. 

Perusahaan akan lebih mengutamakan pekerja laki-laki dibanding perempuan. Kalaupun menerima pekerja perempuan pasti perusahaan akan memilih perempuan yang masih single dan memberikan syarat bahwa pekerja perempuan tidak boleh menikah selama terikat kontrak kerja dengan perusahaan. Karena perusahaan tidak mau merugi dengan memberikan cuti yang panjang bagi perempuan yang melahirkan dan tetap membayar gaji mereka. 

Jika sudah begini, siapa yang dirugikan tentu pekerja perempuan. Bukannya sejahtera malah makin susah. Dengan demikian RUU KIA tidak bisa menjamin kesejahteraan bagi Ibu dan anak. 

Selama sistem kapitalisme diterapkan perempuan akan selalu dijadikan komoditi bisnis. Bila menguntungkan akan dipakai dan bila merugikan akan ditinggalkan. RUU KIA laksana fatamorgana yang seolah memberi kesejukan di tengah gersangnya gurun pasir, padahal sama sekali tidak dapat menghilangkan dahaga. Bukan ini yang dibutuhkan oleh Ibu dan anak. 

Sistem Islam Menjamin Kesejahteraan Ibu dan Anak

Tidak seperti sistem Kapitalisme yang mengubah fungsi perempuan dari tulang rusuk menjadi tulang punggung. Sehingga perempuan kehilangan perannya sebagai ummun wa robbatul bait sekaligus madrasatul ula bagi anak-anaknya. Sistem Islam memberdayakan perempuan tanpa harus meninggalkan fitrahnya sebagai ibu dan istri.

Kesejahteraan ibu dan anak dalam Islam terjamin karena adanya jaminan nafkah dari suami/ayah/wali mereka. Apabila suami/ayah/wali mereka meninggal atau tidak mampu memberi nafkah, maka kewajiban memberi nafkah akan dialihkan kepada negara. Sehingga seorang perempuan tidak perlu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Dengan adanya jaminan nafkah seorang ibu akan totalitas dalam menjalankan tugasnya mendidik generasi. Maka tidak heran bila dalam peradaban Islam lahirlah generasi-generasi yang cemerlang. Yang tidak hanya mumpuni dalam hal ilmu agama, tetapi juga handal dalam bidang sains dan teknologi. Selain jaminan nafkah, ada juga jaminan yang diberikan kepada seluruh warga daulah yaitu jaminan keamanan, kesehatan dan pendidikan. Maka satu-satunya jalan bila ingin ibu dan anak sejahtera adalah dengan menerapkan sistem Islam. Wallahu'alam bissawab. []

Post a Comment

أحدث أقدم