Oleh. Nadia


Beberapa pekan lalu, Ibu kota diramaikan dengan banyaknya remaja asal pinggiran kota yang memadati kawasan Sudirman dan SCBD. Kawasan SCBD seketika berubah singkatan dari Sudirman Central Bussiness District menjadi Senayan, Citayam, Bojonggede, dan Depok akibat banyaknya remaja dari daerah tersebut yang berkumpul di kawasan Sudirman, Jakarta. Mereka berlalu-lalang dengan penampilan yang unik dan mencuri perhatian masyarakat lokal saat melihatnya. Hingga muncullah istilah CFW; Citayam Fashion Week, aksi peragaan busana di zebra cross layaknya model yang sedang berjalan di catwalk.

Hal ini tentu mengundang pro dan kontra. Di satu sisi, Gubenur Jakarta Anies Baswedan menyambut baik fenomena ini. Bahkan beliau menyebutnya sebagai ‘Demokratisasi Jalan Jenderal Sudirman’ dimana awalnya Jalan Sudirman hanya biasa dilalui sebuah kelas masyarakat, kini bisa dinikmati oleh semua kalangan bahkan dari luar Jakarta. “Jadi tidak hanya untuk kelas sosial ekonomi tengah atas, justru ini harus didemokratisasi tempat ini sehingga bisa dinikmati siapa saja,” katanya. “Asalkan pengguna harus tetap menjaga kebersihan hingga ketertiban pada area publik,” lanjutnya. (Cnbcindonesia.com, 07/07/2022)

Sedangkan pihak yang kontra menganggap bahwa gaya berpakaian dan kebiasaan remaja Citayam kurang pas dengan budaya Jakarta serta mengganggu kenyamanan masyarakat karena banyak dari remaja tersebut yang tidak kembali ke daerah asal melainkan tidur di berbagai fasilitas umum dan menyebabkan kemacetan karena mereka menggunakan zebra cross sebagai ajang fashion show yang menghasilkan kerumunan. Selain itu, dampak lingkungan menjadi kurang baik, banyaknya sampah yang berserakan, puntung rokok, bahkan tidak jarang mereka menghabiskan waktu di sana dengan mabuk-mabukan dan aktivitas lain yang menjurus kepada kemaksiatan. Nauzubillahi min dzalik. 

Fenomena tersebut menarik untuk diamati meski petugas gabungan dari kepolisian, Dinas Perhubungan, dan Satpol PP sudah melakukan pembubaran terhadap Citayam Fashion Week pada Rabu (27/7/2022).

Satu hal yang cukup meresahkan, yaitu bagaimana dampak dari fenomena ini? Akankah berdampak positif bagi kualitas generasi ke depannya dengan memberi ruang kreativitas atau justru semakin menghancurkan mereka?

Potensi generasi muda Indonesia sangat besar jika dilihat dari populasi mereka saat ini. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada tahun 2019 lalu, penduduk usia produktif masih mendominasi. Persentase laki-laki dan perempuan di usia produktif (15-64 tahun) sekitar 67,6 %. Sedangkan penduduk usia belum produktif hanya sekitar 26-27 %.(Katadata.co.id, 04/03/2022)

Hal ini merupakan peluang besar bagi mereka yang sangat mendambakan perubahan. Tentunya generasi muda akan lebih semangat dan berenergi dalam memperjuangkan apa yang menjadi impian mereka. Apapun hasil perubahannya nanti, tentu tidak lepas dari kualitas generasi muda yang ada saat ini. Apakah sudah tercermin dalam pribadi mereka akhlak terpuji? Sudahkah remaja saat ini tahu betul siapa dirinya dan tujuan hidupnya?
Sayangnya, masih banyak dari mereka yang belum menyadari hal ini. Banyak dari mereka yang masih terlena dengan popularitas, kekayaan, eksistensi, kebahagiaan semu, dan hal-hal fana lainnya yang membuatnya lupa dengan asal dan tujuan mereka tercipta; sebagai hamba Allah SWT.

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku (saja).” (Q.S. Adz-Dzaariyaat [51]: 56)

Maka, fenomena semacam ini seharusnya membuat kita kembali merenung, sudahkah kita ambil bagian dalam menyadarkan generasi muda saat ini agar kembali kepada apa yang seharusnya mereka perjuangkan? 
Oleh karena itu, saatnya kita mengembalikan peran sejati mereka sebagai khairu ummah. Generasi Muslim yang punya misi hidup mulia, muslim yang tahu jati diri, yang membawa kebaikan serta menebar manfaat untuk dunia dan akhirat.

“Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (Q.S. Ali Imran [3]: 110)

Kalau mereka saja dengan kepercayaan diri dalam berekspresi mampu merebut atensi penduduk negeri, bagaimana jika kemudian dibekali dengan Islam sebagai nafas perjalanannya? Tentu akan lebih banyak kebaikan yang tersebar. Sesuatu yang awalnya dipandang sebelah mata, bisa menjadi warna utama bagi masyarakat dan dunia. Seperti yang telah Rasulullah SAW lakukan saat mengemban risalah Islam dan menerapkannya dalam sebuah negara. Mampukah generasi saat ini mewujudkannya kembali? Mari kita buktikan dengan dakwah Islam tanpa henti. 

Wallahu a'lam bissawab. 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama