Oleh. Ummu Syakira
Muslimah peduli Negeri
Seorang pria berinisial P yang terlibat dalam kasus korupsi ini ternyata terpilih sebagai kepala desa lewat Pemilihan Kepala Desa Serentak 2022. Namanya yang mendapatkan suara tertinggi membuatnya secara de facto memenangkan jabatan sebagai kepala desa Tanjung Muara Kecamatan Pinang Raya Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu mulai periode 2022 ini.
Namun, setelah dirinya dinyatakan menang sebagai kepala desa terpilih, P langsung ditangkap dan resmi menjadi tersangka dalam kasus dana peremajaan sawit oleh Mapolda Bengkulu. P pun resmi menjadi tahanan Mapolda. Walaupun begitu, P tetap dilantik sebagai kepala desa secara daring dari dalam jeruji besi.
Camat Pinang Raya, Muhammad Irfan mengungkap bahwa pelantikan dan penetapan kades secara daring ini sudah dilakukan sesuai regulasi, sehingga secara hukum P sudah sah menjadi kepala desa Tanjung Muara Bengkulu Utara. (Suara.com, 08/07/2022)
Koruptor tetap jadi kades, inilah realitas yang terjadi di negeri kita penganut sistem demokrasi. Tak hanya level pimpinan desa, bahkan level atasnya yakni caleg pun bisa bagi mantan koruptor. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 240 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur soal persyaratan yang mesti dipenuhi untuk menjadi bakal caleg baik di tingkat DPR, DPRD provinsi, hingga DPRD kabupaten/kota.
Hanya saja, pasal tersebut tidak spesifik melarang eks napi, termasuk dari kasus korupsi, untuk kembali maju menjadi caleg. Pada ketentuan Pasal 240 ayat 1 huruf g, hanya mengatur seorang mantan napi yang hendak mendaftarkan diri, wajib mengungkapkan ke publik kalau dirinya pernah dipidana serta telah selesai menjalani hukumannya. Miris!
Demokrasi Menyuburkan Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio memiliki arti beragam yakni tindakan merusak atau menghancurkan. Corruptio juga diartikan kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Kata corruptio masuk dalam bahasa Inggris menjadi kata corruption atau dalam bahasa Belanda menjadi corruptie. Kata corruptie dalam bahasa Belanda masuk ke dalam perbendaharaan Indonesia menjadi korupsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Menurut wikipedia, korupsi adalah semua yang memiliki keterkaitan terhadap tindakan yang diancam dengan sanksi sebagaimana diatur didalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang pengubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2020.
Dari penjelasan makna korupsi, sangat jelas sekali bahwa korupsi itu merupakan perbuatan buruk, tak bermoral, dan merugikan negara, tentu kita sepakat dengan makna ini. Namun di negeri kita yang penganut demokrasi, justru melayakkan para koruptor ini untuk menjadi pejabat. Astaghfirullah!
Namun tak heran dan menjadi hal yang wajar, karena demokrasi memang menstandarkan aturan itu berdasarkan suatu kenisbian karena pelaku atau pembuat aturan kehidupannya adalah manusia yang punya sifat lemah, dan penuh diwarnai oleh kepentingan. Karenanya, koruptor atau mantan koruptor dianggap sebagai manusia biasa yang bisa punya salah sehingga layak untuk punya jabatan.
Apalagi sanksi bagi koruptor pada sistem saat ini terlihat sangat ramah. Jikalau koruptor tersebut yang pastinya punya kedudukan, dapat remisi beberapa kali. Bahkan baru-baru ini, yakni pada awal September 2022, Kemenkumham memberikan pembebasan bersyarat kepada 23 terpidana kasus korupsi yang salah satunya adalah Pinangki. Miris sekali, belum lagi fasilitas rutan mereka yang sudah menjadi rahasia umum seperti hotel. Tentu sanksi seperti ini tidak akan menjerakan sama sekali, karena mereka justru diperlakukan dengan hormat. Inilah wajah hangat demokrasi pada koruptor.
Islam Tidak Pandang Bulu
Sungguh berbeda dengan sanksi koruptor dalam Islam. Setiap pelanggaran hukum syarak, akan mendapatkan sanksi tegas tanpa pandang bulu yang bersifat jawabir (penebus) dan jawazir (pencegah). Yakni menjadi penebus dosa kelak di akhirat sehingga tidak diazab lagi oleh Allah, sekaligus menjadi pencegah bagi yang lain untuk melakukannya. Tidak pandang bulu, karena semua berlaku sama bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran hukum syarak akan diberi sanksi yang sama sesuai dengan keputusan Qadhi atau hakim dalam peradilan Islam.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan, “Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Maka Usamah pun berkata (melobi) rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688)
Hukum pidana Islam yang di berlaku negara Islam yakni Khilafah itu sendiri terbagi menjadi empat: Pertama, hukum pidana Islam yang terkategori hudud. Yakni hukum pidana yang jenis pelanggaran dan sanksinya telah ditetapkan hukum syarak. Misalkan, seorang pencuri sanksi hukumnya (pidananya) dipotong tangannya, pezina dirajam, orang yang murtad dibunuh, menuduh zina didera, hirababah (perampokan) dibunuh dan disalib jika selain merampok sekaligus membunuh pemilik harta, dan selainnya.
Kedua, jenis pidana yang terkategori jinayat. Yakni pencederaan terhadap jiwa hingga hilangnya nyawa. Yakni, hukum kisas dan diyat terkait pencederaan badan hingga timbulnya kematian.
Ketiga, jenis pidana yang terkategori takzir. Yakni kewajiban tertentu atau keharaman tertentu yang dilanggar, sementara nas syarak tidak menentukan jenis sanksinya. Contoh: orang yang melanggar kewajiban salat, membayar zakat, puasa Ramadan, larangan berdusta, larangan menyebar fitnah, larangan makan harta ghulul (korupsi), larangan mengumbar aurat, dan sebagainya.
Keempat, jenis pidana yang terkategori mukhalafat. Yakni adopsi hukum dan perundangan Khalifah yang mewajibkan atau mengharamkan rakyat melakukan perbuatan tertentu, sekaligus menentukan sanksi tertentu bagi setiap warga negara yang melanggarnya. Misalnya, Khalifah mengadopsi Qanun (UU) yang menetapkan seluruh harta milik umum (Al Milkiyatul Ammah) seperti tambang, haram dimiliki dan dikelola oleh swasta, baik pribadi, korporasi, baik swasta dalam negeri maupun asing.
Sanksi Tegas untuk Koruptor
Sedangkan koruptor akan dikenai hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Khalifah Umar pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah, yang saat itu menjadi gubernur Syam (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123).
Hukuman semacam itu dimaksudkan agar yang melihat tidak berkeinginan untuk melakukan perbuatan yang serupa. Terlaksananya hukuman tersebut agar si pelaku terhindar dari dosa korupsinya di dunia maupun di akhirat, dan ia akan terlepas dari dosa tersebut.
Selain dari sanksi tegasnya, Islam juga memiliki seperangkat aturan yang bisa mencegah terjadinya korupsi. Pertama, Khalifah akan menghitung kekayaan para pejabat, dari mulai ia menjabat hingga akhir jabatannya. Jika ia memiliki kekayaan yang tidak wajar jumlahnya maka pejabat tersebut telah korupsi. Harta dari hasil korupsi itu akan diambil oleh Khalifah dan pelakunya akan dikenai sanksi atau hukuman sesuai dengan syariat.
Kedua, larangan menerima suap dalam bentuk apapun. Hal ini berdasarkan hadis dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasul saw. bersabda: “Allah Swt. melaknat penyuap dan yang disuap.” (HR Imam Ahmad). Hadis ini dinyatakan sahih oleh syaikh Al-banani di dalam sahih At-targhib wa At-Tarhib ll/261 no.2212.
Atas dasar itulah Khalifah melarang adanya suap menyuap kepada siapa pun termasuk kepada para pejabat terutama para penegak hukum. Oleh sebab itu, Islam serta-merta merinci petunjuk pelaksanaan agar tindakan tidak terpuji tersebut dapat diberantas tuntas.
Khatimah
Inilah bukti perlawanan Islam pada koruptor, sehingga dengan sanksi tegas dan pencegahan yang sedemikian rupa, pastinya akan mampu meminimalisir terjadinya korupsi. Siapa pun dengan hati ikhlas dan akal yang waras merindukan pemberantasan korupsi tak pandang bulu. Tak ada lagi cerita koruptor itu malah bangga dan bebas mencalonkan dirinya kembali sebagai pejabat negara. Belum lagi, ini menjadi catatan kelam sistem demokrasi yang diterapkan di negeri yang mayoritas muslim ini.
Karena itu perubahan menuju ke arah Islam dan solusi Islam dalam memberantas korupsi harus segera dilaksanakan. Upaya inilah yang membutuhkan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang akan menerapkan syariat secara kafah.
Wallahualam bissawab.
إرسال تعليق