Oleh Siti Munawarotil Milah
Pelajar


Baru-baru ini publik dihebohkan dengan unggahan surat cinta yang ditulis oleh bocah laki-laki yang masih duduk di sekolah dasar (SD) kepada temannya. Jagat media sosial Twitter dihebohkan dengan curhatan seseorang Twitter yang dikirim melalui menfess (akun tempat kirim status sebagai anonim). Di dalam postingannya terdapat foto yang menampilkan curhatan seseorang (anonim), adapun isinya adalah “Adik sender (kelas 6 SD) baru cerita kalau dia dikirimi surat ini sama teman sekelasnya, Katanya dia sudah ditembak beberapa kali dan adik sender tolak terus, ada saran gak sender harus ambil tindakan apa? Terimakasih.”

Lalu di foto selanjutnya terdapat surat yang diberikan oleh teman dari adiknya pengirim menfess tersebut. Yang bikin mengejutkan adalah isi dari surat tersebut. Isinya sama sekali tidak mencerminkan anak yang masih berada di bangku Sekolah Dasar. Bahkan isi surat tersebut terdapat kata-kata yang vulgar yang tak patut di ucapkan oleh anak yang masih di bawah umur. Salah satu netizen pun mengatakan, bahwa perilaku tersebut harus dilaporkan kepada orang tua dan guru hingga tindakannya tersebut harus diusut.

Namun, sebenarnya yang terangkat ke media massa hanyalah gambaran kecil saja. Kasus demoralisasi anak sejatinya seperti fenomena gunung es. Jumlah yang tampak jauh lebih kecil dari kenyataannya. Bentuknya pun bisa sangat beragam, tetapi saling berkelindan. Seperti Kasus surat viral dan pelecehan seksual ini ternyata diawali oleh perilaku amoral lainnya. Di antaranya kebiasaan anak-anak mengonsumsi konten pornografi. Hal ini terkonfirmasi dari pengakuan para pelaku, bahwa aksi bejat yang mereka lakukan terinspirasi oleh konten pornografi yang kerap mereka tonton. Begitu pun pelaku kekerasan, rata-rata mereka adalah konsumen tayangan kekerasan di media sosial, termasuk juga dari game online.

Fakta tersebut adalah dampak buruk sistem kehidupan ini mulai dari lemahnya peran pengasuhan, rusaknya sistem pendidikan, hingga lemahnya kontrol negara atas sistem informasi. Sehingga nampak jelas menunjukkan bahwa anak-anak kita sedang dalam kondisi terancam. Anak-anak, bahkan belajar banyak hal buruk dari lingkungan, termasuk gaya hidup yang berkembang liar di media sosial. Sedangkan sekolah tidak lagi menjadi tempat menyenangkan dan tempat menguatkan nilai-nilai. Pendidikan karakter yang digadang-gadang bisa mengembalikan fitrah anak nyatanya hanya jadi wacana semata. 

Semua ini berpangkal dari kondisi negara yang karut marut dan menambah buram potret kehidupan anak. Negara seakan abai dengan berbagai kerusakan yang makin liar di media sosial. Negara bahkan tidak memandang masalah ini sebagai perkara yang harus segera diberi solusi pasti. Terbukti agama yang menjadi kunci kemuliaan justru diotak-atik dengan narasi moderasi dan deradikalisasi. Padahal Islam yang dimoderasi dan dideradikalisasi, sejatinya adalah Islam yang toleran terhadap nilai-nilai Barat yang sekuler dan mengagungkan hak asasi. 

Berbeda dengan hari ini. Bahwa sejarah peradaban Islam justru dipenuhi bukti empiris tentang karakter generasi terbaik. Anak-anak yang lahir pada era ini seakan mutiara-mutiara umat yang sukses membawa kaum muslim menjadi umat yang terbaik dan tinggi. Kepribadian mereka begitu hebat hingga layak mengemban amanah memimpin penduduk bumi. Bahkan cerita sukses mereka berlangsung sampai belasan abad . 

Oleh karena itu saatnya kita membentuk anak agar memiliki  perilaku baik dengan kepribadian islam agar kelak mereka menjadi umat yang terbaik bahkan sampai mengemban amanah memimpin penduduk bumi. []

Post a Comment

أحدث أقدم