Oleh Ummu Hilya Aulia



Sudah bukan hal yang baru ketika dunia saat ini sedang dilanda kerusakan alam serta berbagai macam masalah turunannya. Padahal jauh sebelumnya, Allah Swt. sudah mengingatkan hamba-Nya untuk senantiasa tunduk dan taat kepada aturan-Nya,

“Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha: 123-124).

”Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”(QS. Al-A'raf : 96)

Sementara, gelombang panas terjadi di sejumlah negara di dunia. Meski hal itu belum dianggap terjadi di Indonesia, namun perubahan suhu sudah dirasakan dan memberikan dampak besar bagi petani, petambak, dan lain-lain.

Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Dodo Gunawan, mengatakan bahwa gelombang panas tidak berpotensi terjadi di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan wilayah geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan yang diselingi oleh laut, dia sebagai unsur pendingin. Ibaratnya radiator, sehingga tidak dimungkinkan untuk penjalaran panas.

Pun Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Dwikorita Karnawati, mengatakan sejumlah Badan Meteorologi di sejumlah negara di kawasan Asia Selatan telah melaporkan suhu panas lebih dari 40°C. Saat ini, suhu terpanas terekam di Kumarkhali, Bangladesh dengan suhu maksimum harian sebesar 51,2°C pada Senin (17/4) lalu. Di Indonesia, suhu harian tertinggi masih berada di angka 37,2॰C di stasiun pengamatan BMKG di Ciputat pada pekan lalu. Secara umum suhu tertinggi yang tercatat di beberapa lokasi berada pada kisaran 34॰C - 36॰C hingga saat ini. (Bbc.com, 26/4/202).

Sejak lama, Sri Mulyani sudah menyoroti dampak perubahan iklim terhadap perekonomian dunia. Sri Mulyani memaparkan bahwa produksi karbondioksida (CO2) mengancam iklim. Jika produksi karbon lewat kegiatan ekonomi semakin besar, akhirnya dunia akan menghangat dan memicu global warming.

"Kalau perekonomian dan kegiatan manusia memproduksi CO2 terlalu banyak dan no body care itu disebut sebagai market failure. Nyata-nyata ini bisa membahayakan dunia, namun tidak ada yang bisa mengoreksi," kata Sri Mulyani dalam Seminar Strategi Capai Ekonomi Kuat & Berkelanjutan di Tengah Risiko akhir tahun lalu.

Di saat itulah letak APBN sebagai alokatif. APBN, kata Sri Mulyani, bisa mengoreksi tingkah laku manusia dan memasukkan risiko ancaman global melalui instrumen pajak karbon dan subsidi. Makanya Indonesia, akan berpartisipasi menurunkan CO2 sekarang 31% dan 43% dibantu internasional. Namun, itu bisa terjadi kalau kebijakan fiskal mendukung, salah satunya melalui mekanisme transisi energi. Untuk mencapainya, Sri Mulyani mengungkapkan Indonesia harus memiliki dana lebih dari Rp 3.400 triliun. (Cnbcindonesia.com, 26/4/2023)

Kapitalisme Biang Kerusakan Global

Problem gelombang panas nyata problem yang membutuhkan solusi global. Dan dunia dalam cengkeraman kapitalisme nyata belum menunjukkan upaya nyata untuk menyelesaikan persoalan global ini. Faktanya emisi karbon terus meningkat bahkan menjadi isu yang sangat menarik untuk diperbincangkan. Seluruh negara di dunia pun selalu mengangkat isu ini di setiap forum Internasional. Pasalnya, dampak dari meningkatnya emisi karbon ini dapat mengancam kelangsungan hidup manusia. Mulai dari perubahan iklim yang mengakibatkan perubahan cuaca yang tidak menentu, banjir, suhu permukaan bumi yang meningkat, hingga polusi udara merupakan beberapa dampak yang berbahaya dari hal tersebut.

Oleh karena itu, seluruh negara di dunia mulai gencar untuk menguranginya. Mereka saling bekerjasama untuk mencari solusinya. Bahkan, mereka sepakat untuk menurunkan emisi karbon secara kolektif sebesar 5,2%. Hal itu mereka sepakati dalam Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change atau bisa disebut dengan Protokol Kyoto pada Desember 1997.

Tentu, target pengurangan emisi karbon menjadi tanggung jawab yang cukup berat bagi negara-negara maju. Pasalnya, pengurangan emisi karbon tersebut sama saja mengurangi produksi ekonomi mereka. Hal itu tentu akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi negara-negara maju tersebut. Untuk itu, dalam Protokol Kyoto juga terdapat mekanisme untuk mewujudkan penurunan emisi karbon tersebut. Salah satunya dengan Clean Development Mechanism (CDM) melalui perdagangan karbon. Nyatanya perdagangan karbon sebagai Tren Penghijauan Citra Negara Maju.

Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar, di mana negara-negara maju dan negara-negara berkembang melakukan negosiasi dan pertukaran hak emisi karbon. Negara-negara maju tersebut akan membeli izin melakukan pencemaran (emission permit) kepada negara-negara berkembang. Seperti yang kita ketahui, di negara-negara berkembang masih terdapat banyak hutan yang dapat menyerap karbon.

Hutan-hutan tersebut akan dihargai berdasarkan seberapa besar kemampuannya dalam menyerap karbon. Semakin besar kemampuan hutan tersebut dalam menyerap karbon, maka semakin banyak pula uang yang didapatkan oleh negara berkembang tersebut. Mereka akan mendapatkan uang antara 5–12 US$ dari negara-negara maju untuk setiap satu ton karbon yang diserap. Hal tersebut mengakibatkan negara-negara berkembang harus menjaga kualitas hutan yang dimilikinya sebaik mungkin dan menghindari penebangan hutan dalam jumlah yang banyak, sedangkan negara-negara maju hanya membayar sejumlah uang dan menyediakan teknologi saja.

Mekanisme tersebut tentu tidak terlepas dari pola pikir kapitalis, bahwa alam bisa dimodifikasi untuk tujuan komersial semata. Hanya negara-negara berkembang yang berusaha menurunkan emisi karbon. Sementara negara-negara maju tetap membiarkan emisi karbon terus berlangsung dari kegiatan industri mereka. Bisa dibilang perdagangan karbon ini semacam lisensi bagi negara-negara maju untuk mengotori bumi.

Mereka terkesan seperti malaikat yang hadir memberikan bantuan keuangan bagi negara-negara berkembang. Padahal, sejumlah uang tersebut tidak sebanding dengan kerusakan alam yang mereka timbulkan,belum lagi eksploitasi sumber daya alam ala kapitalisme terus berlangsung tidak akan pernah bisa memberikan solusi hakiki. (Medium.com, 8/7/2020).

Selama sistem kapitalisme menggenggam dunia meski ada upaya menetralkan emisi karbon, baik melalui transisi energi, perdagangan karbon atau yang lain, tidak akan bisa menyelesaikan kasus global warming. Yang ada hanyalah menambah dampak yang berbahaya, belum lagi kebijakan pembangunan yang dilandasi kebijakan dan tegak atas prinsip kebebasan kepemilikan, utang ribawi, investasi swasta yang setali tiga uang dengan tata kelola ala kapitalis. Sehingga negara ini tidak layak mengeklaim dirinya lepas dari dikte asing atau terkungkung dalam jebakan penjajah.

Alhasil pembangunan ala kapitalisme yang menjadikan prioritas keuntungan semata, pada akhirnya keberkahannya dicabut oleh Allah Swt. seiring kerusakan lingkungan perlahan menjadi krisis iklim hingga bencana.

Butuh Khilafah

Berbeda dengan pembangunan ala Islam akan dilaksanakan seorang Khalifah dalam negara Khilafah (pelindung umat). Khilafah akan melindungi umat dari berbagai macam bahaya sebelum terjadi dampak setelah pembangunan. Khilafah merupakan pengurus umat dari segala macam kebutuhannya.

Islam sangat memperhatikan keselamatan manusia, melarang masyarakat untuk merusak lingkungan hingga berkurangnya keseimbangan alam , mampu menjadi negara adidaya serta mengajak dunia tunduk pada aturan Sang Pencipta. Islam juga melarang pengelolaan sumber daya alam atas pribadi, swasta maupun asing. Sehingga tak ada lagi yang bertindak sewenang-wenang atas pengolahan alam di muka bumi.

Syariat Allah satu-satunya yang tepat menyelesaikan problem global ini. Karena itu butuh kesadaran dan persatuan umat kembali kepada Islam kafah atau totalitas. Mengkajinya juga memperjuangkannya untuk mewujudkan syariat Islam tegak di muka bumi. Syariat Islam bisa terwujud apabila ada institusi yang menaunginya yakni sistem Khilafah 'ala minhajin-nubuwah. Dengan sistem Khilafah akan ada satu komando untuk menyelesaikan problem dari akar masalah, untuk keselamatan baik dunia maupun akhirat. Khilafah juga sistem terbaik yang sudah pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. beserta para Sahabat pada masa kegemilangan Islam dahulu. Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama