Oleh Ummu Malika
Pemerhati Masalah Sosial

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual, khususnya pada anak. Berdasarkan catatan KemenPPPA pada tahun 2022, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus. Komnas Perempuan juga mencatat ada sekitar 4.500 kasus kekerasan seksual terjadi di periode Januari-November 2022. Angka-angka itu merupakan jumlah kasus yang dilaporkan dan digugat secara hukum. Sementara, jumlah kasus yang tidak dilaporkan tidak diketahui jumlahnya bahkan bisa lebih tinggi lagi angka kasusnya.

Maraknya kekerasan seksual baik pada anak maupun wanita, merupakan efek dari beberapa hal yang saling terkait. Antara lain, buruknya pengelolaan hak akses media, buruknya sistem pendidikan, sanksi yang tidak menimbulkan efek jera, dan perbedaan definisi mengenai kekerasan seksual itu sendiri.

Yang terbaru, adalah kasus kekerasan seksual di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Dimana seorang anak perempuan berusia 15 tahun, menjadi korban pemerkosaan oleh 11 orang laki-laki. Yang kemudian oleh Kapolda Sulteng disebut bahwa kejadian itu bukan merupakan kekerasan seksual, melainkan kasus persetubuhan anak karena dilakukan atas dasar suka sama suka. Pernyataan ini tentu menjadi sorotan berbagai pihak, salah satunya oleh Maidina Rahmawati, seorang peneliti ICJR (Institute for Criminal Justice Reform).

Maidina menyayangkan pernyataan tersebut, sebab terindikasi ada tendensi untuk menurunkan derajat kejahatan tersebut sehingga ancaman pidananya mengecil.

Sanksi yang diterapkan kepada pelaku kekerasan seksual juga dinilai tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Ratna Batara Munti, Direktur dari LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum- Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) mengatakan bahwa selama ini kasus kejahatan seksual termasuk pemerkosaan dan pelecehan masih mengandalkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), untuk mendakwa pelaku kejahatan seksual terhadap perempuan.

Menurutnya, pasal-pasal yang ada dalam kedua instrumen hukum tersebut tidak kuat untuk menjerat pelaku kejahatan seksual. Persoalannya terdapat pada penjelasan pasal yang terlalu umum serta ketiadaan minimal sanksi. Sehingga dalam banyak kasus pelecehan seksual, pelaku hanya bisa dijerat dengan hukuman pidana kategori ringan bahkan lepas dari sanksi hukum. Terlebih, kasus terancam dihentikan meskipun masih berada pada tataran penyidikan.

Islam sebagi ideologi yang berdasarkan akidah, yang memancar dari padanya berbagai aturan termasuk mengatur sistem pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Islam memandang laki maupun perempuan sebagai manusia yang memiliki naluri, perasaan, akal dan kecenderungan. Dalam sistem pergaulan Islam, laki-laki maupun perempuan hanya boleh bekerja sama dalam urusan-urusan muamalah, dan pendidikan.

Islam pun memandang bahwa naluri seksual merupakan naluri alamiah bagi setiap manusia. Sehingga dalam pemenuhannya juga diatur, hanya boleh melalui pernikahan yang sah dan kepemilikan hamba sahaya.

Sementara kekerasan seksual merupakan perbuatan yang keji menurut hukum Islam. Meskipun tidak dijelaskan secara terperinci hukumannya terkait pelaku kekerasan seksual. Namun, menurut ijtima' Ulama, pelaku kekerasan seksual diberi hukuman ta'dzir. Hukuman ta’dzir bagi pelaku pelecehan seksual ini berupa hukuman jilid (hukuman pokok). Selain hukuman pokok berupa hukuman jilid (dera), pelaku jarimah ta’zir juga dapat dikenakan hukuman tambahan berupa peringatan keras dan dihadirkan dalam persidangan, dicela, dikucilkan, dinasehati, dipecat dari jabatannya dan diumumkan kesalahannya.

Hukuman seperti ini akan membuat pelaku pelecehan seksual jera dan tidak akan mengulangi kesalahannya. Sehingga angka pelecehan seksual bisa ditekan atau bahkan hilang, jika hukuman yang diterapkan sesuai syariat Islam.

Sebagai muslim, seharusnya kita meyakini bahwa Islam bukan hanya merupakan agama yang harus kita yakini akidahnya. Tetapi harus kita yakini juga bahwa aturan Islam memberikan solusi juga rasa aman bagi kita.
Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama