Oleh Ndarie Rahardjo 
Guru PAUD


Konser grup musik Coldplay asal Inggris, Rabu malam di GBK tetap berlangsung meriah, meskipun di tengah-tengah keprihatinan dunia akan nasib korban perang Palestina-Israel yang masih belum tersentuh bantuan yang berarti.

Konser ini bahkan mendapat dukungan penuh pemerintah, sebagaimana pernyataan dari Dirjen Imigrasi Silmy Karim yang mengatakan, kedatangan Coldplay ke Indonesia merupakan momentum yang tepat untuk mensosialisasikan jenis visa baru Indonesia, yakni Music and Art. 
Kebijakan pemerintah ini adalah terobosan agar Indonesia menjadi salah satu negara tujuan destinasi kegiatan Internasional yang diperhitungkan di dunia.
Untuk mendukung terobosan tersebut tak segan pemerintah memangkas perijinan dan mempermudahnya dengan persyaratan online, karena beranggapan bahwa mereka hanya kunjungan singkat, sehingga tidak berdampak pada persaingan dengan tenaga kerja lokal. 
(VIVA.co.id, 16/11/2023)

Dari konser Coldplay dan sejenisnya yang pernah dilaksanakan di negeri ini memberikan catatan barometer kondisi masyarakat tersendiri.

Pertama, masyarakat terutama generasi mudanya saat ini terjerat hedonisme, dan kebebasan berperilaku. 
Mereka rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit hanya demi tercapainya keinginan bertemu dengan idolanya, meniru apa saja yang dilakukan idolanya  tanpa kecuali. Bahkan ditemukan fakta ada yang berani melakukan apa saja demi bisa nonton konser idolanya, termasuk menukar kehormatannya dengan rupiah. Nauzubillah!

Kedua, setiap konser yang dilakukan oleh pemusik dunia tentu tidak lepas dari nilai yang mereka bawa. Coldplay adalah salah satu grup musik yang mendukung LGBT, otomatis mereka ada kepentingan untuk mensosialisasikan secara langsung maupun terselubung agar kaum melambai ini diterima di masyarakat setempat.

Ketiga, negara hanya berperan sebagai penyedia regulasi semata, tidak ada upaya pencegahan dengan memfilter terhadap kebudayaan asing yang masuk apakah baik dan buruk untuk keberlangsungan bangsa, tidak lagi menjadi pertimbangan. Terbukti dengan terbitnya visa musik & art ini seperti memberikan karpet merah atau jalan tol bagi kemaksiatan/kerusakan generasi muda. 

Pemerintah sebagai regulator hanya melihat kepentingan dan manfaat sesaat yang diukur dengan keuntungan materi yang tidak seberapa besar itupun hanya dinikmati kalangan tertentu saja dibanding dengan dampak kerusakannya, yang dirasakan khususnya oleh generasi penerus bangsa.

Jika memang dampak buruk adanya konser semacam ini begitu besar dan nyata ancamannya, mengapa justru membuka  lebar pintu masuknya, dengan diberikan kemudahan oleh negara?

Kalau kata alm.ustadz Zainudin MZ, " Yang maksiat elu, yang zina elu, yang keluar duit elu, yang dosa elu, tapi maksiat, zina itu bisa mengundang murka Allah, kalau azab Allah diturunkan maka yang kena bukan yang bermaksiat saja tapi juga yang beriman." Jadi, apakah kita akan diam saja tanpa memperingatkan?

Dalam pandangan Islam, tidak semua musik dan alat musik itu haram. Begitupun tidak semua yang berasal dari Barat itu buruk. Contohnya sains dan teknologi yang membawa kebaikan dan tidak melanggar syariat Allah, maka boleh kita mengadopsinya dan mempelajarinya. Sedangkan musik dan alatnya jika terpengaruh atau lahir dari hadlarah bukan Islam maka tidak boleh hukumnya untuk digunakan, tetapi musik dan alatnya yang tidak mengandung hadlarah, termasuk madaniah maka masih diperbolehkan asal tidak bertentangan hukum syara' dan tidak melalaikan dari perintah Allah.

Ketika individu dan masyarakatnya terikat dengan hukum Allah maka dia akan banyak menimbang sebelum mengambil tindakan apakah akan banyak melakukan yang mubah  sehingga melenakan dari yang wajib dan sunnah yang berarti sia-sia  amalnya, atau memperbanyak amal sunah dan wajib, sehingga memperoleh keberkahan.

‌Begitupun peran negara dalam pandangan Islam memiliki tugas yang sangat penting untuk melindungi  akidah masyarakat dari kerusakan termasuk melindungi dari ide-ide  asing seperti kebebasan  berfikir, kebebasan berperilaku, kebebasan beragama, sekulerisme, hedonisme, kapitalisme, juga negara wajib memberikan jaminan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Islam mensyaratkan sumber pendapatan negara bukan bersumber dari hiburan/pariwisata namun dari pengelolaan harta kepemilikan negara dan kepemilikan umum, fa'i, kharaj. Hanya dalam khilafah Islam semua syariat Allah bisa dilaksanakan dengan sempurna, tanpa kecuali.
Wallahualam bisawab. []

Post a Comment

أحدث أقدم